Kampusku.Com: Berlakunya hukum pidana menurut waktu:

Cari Makalah

Thursday, October 20, 2011

Berlakunya hukum pidana menurut waktu:


1) Asas Legalitas, terkandung dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

Hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang.

Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berisi dua hal :

1. suatu tindak pidana/delik harus dirumuskan didalam peraturan undang-undang;

hal ini berakibat bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat disebut sebagai delik dan tidak dapat dipidana; jadi sesuai asas tersebut, hukum yang tidak tertulis tidak dapat diterapkan; tetapi ada pengecualian untuk hukum pidana adat yang tidak tertulis, yang masih juga harus diperhatikan UU No. 1/Drt/1951. ada konsekuensi lain, yaitu ada pendapat bahwa dalam pidana terdapat larangan penggunaan analogi, yaitu membuat perbuatan yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang tetapi ada kemiripannya, dijadikan/dianggap sebagai tindak pidana/delik. Tentang analogi akan dibicarakan dibawah.

1. peraturan undang-undang itu harus ada sebelum tindak pidana/delik terjadi. Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat dijatuhi hukuman jika perbuatannya itu telah ada/telah disebut didalam KUHP. Jadi menurut pasal 1 ayat (1) Jika orang dituduh melakukan sesuatu kejahatan, akan tetapi kemudian terbukti, bahwa perbuatannya itu tidak terdapat dalam KUHP, maka si tersangka tadi dibebaskan dari tuduhannya tersebut, dan dia tidak dijatuhi hukuman.

Hal ini oleh anselm von feuerbach dirumuskan sbg berikut :

“Nulla poena sine lege

Nulla poena sine crimine

Nullum Crimen sine poena legali”
“Tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang,
Tidak ada hukuman, kalau tidak ada kejahatan,
Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan undang-undang.”
Dari pasal 1 ayat (1) ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. hukum pidana itu mencegah adanya penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang oleh pengadilan(hakim).
2. dapat dicapai kepastian hukum.
3. hukum pidana itu bersumber pada hukum tertulis.

2) Asas tidak berlaku Surut, ditentukan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP (pengecualian pasal 1 KUHP).
Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut (strafrecht heeftgeen terugwerkende kracht). Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Asas ini merupakan asas fundamental dalam negara hukum walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang dasar, sehingga pembentuk undang-undang tidak dengan gegabah menyimpang dari asa tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dikecualikan oleh pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Apabila ada perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai aturan yang ringan bagi tersangka.”

3) Asas larangan penggunaan analogi
Larangan penggunaan analogi, yaitu untuk membuat perbuatan yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang tetapi ada kemiripannya, dijadikan/dianggap sebagai tindak pidana/delik. Dapat pula analogi terjadi bilamana menganggap bahwa suatu peraturan hukum tertentu juga meliputi suatu hal yang nbanyak kemiripannya/kesamaannya yang telah diatur, padahal semula tidak demikian.
Analogi biasanya terjadi dalam hal-hal ada sesuatu yang pada saat pembuatan suatu peraturan hukum sesuatu yang baru itu tidak terpikirkan/tidak mungkin dikenal oleh pembuat undang-undang padsa zaman ini.contoh, pencurian aliran listrik. Aliran listrik dianalogikan sebagai barang. Analogi berkaitan erat dengan masalah penafsiran / interpelasi. Hal ini analogi berdasarkan kenyataan bahwa suatu undang-undang tertulis dan bersifat statis masih perlu ditafsirkan dalam pemberlakuannya, terutama oleh hakim pada waktu menerapkannya. Tujuan menafsirkan adlah untuk mencari arti yang sebenarnya dari putusan kehendak para pembentuk undang-undang yang menuangkan kedalam rumusan-rumusan yang tertulis dalam undang-undang.

Berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang
1) Asas Teritorialitas (pasal 2 KUHP)
Yang paling pokok dalam asas ini dalam hubungannya dg berlakunya undang-undang hukum pidana dapat pula yang diutamakan ialah batas-batas teritorial dimana undang-undang hukum pidana tersebut berlaku.tolak pangkal dari pemikiran untuk penerapan asas teritorial ialah bahwa diwilayah indonesia, hukum pidana indonesia mengikat bagi siapa saja(penduduk/bukan penduduk) . dasarnya ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam wilayahnya.
2) asas personalitas (Nasional aktif)
Dasar dari asas ini ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib sejauh mungkin mengatur sendiri warganya.
3) Asas perlindungan (Nasional Pasif)
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumny

materi referensi:

salam ikan..piiss..




I. Pendahuluan
Tindak pidana kepabeanan di Indonesia masih terbilang tinggi, baik frekwensi maupun nilai kerugian negaranya. Selama tahun 2005 dan tahun berjalan 2006, jumlah penangkapan dari hasil pengawasan di kawasan pabean masing-masing 164 dan 118 dengan kerugian negara masing-masing Rp11,6M dan Rp20,2M. Sedangkan data tangkapan dari hasil patroli laut Ditjen Bea dan Cukai untuk tahun 2005 dan tahun berjalan 2006 masing-masing 128 dan 89 kali penangkapan dengan nilai kerugian negara ditaksir Rp10,9M dan Rp4,8M. Untuk rincian dan jelasnya lihat table 1,2,3 dan 4. Dapat diduga bahwa tindak pidana kepabeanan yang tidak diketahui atau tidak tertangkap jauh lebih besar lagi.
Berdasarkan Undang-undang No.10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Keputusan Presiden No. 109 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden No.23/2004 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 302/KMK.01/2004, tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah :
• Pelayanan dan Pengawasan lalu lintas barang masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia;
• Pemungutan Penerimaan Negara berupa Bea Masuk (dan Cukai).
Fungsi pelayanan adalah tugas DJBC untuk menjamin kelancaran arus barang dan dokumen dengan efisien dan efektif, tidak ada ekonomi biaya tinggi, mendorong peningkatan perdagangan dan daya saing. Fungsi pengawasan terutama pengawasan lalu lintas barang dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dari upaya-upaya memasukkan barang yang dapat merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat, merugikan konsumen, dan membahayakan keamanan negara. Pengawasan juga mengandung makna tugas pemerintah yang dalam hal ini DJBC untuk melindungi industri dalam negeri dari masuknya barang-barang ilegal dan dumping, serta tugas untuk melancarkan ekspor Indonesia, dan mencegah ekspor ilegal baik fisik ataupun hanya dokumen. Fungsi pemungutan adalah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari Bea Masuk & PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor), serta mencegah kebocoran penerimaan negara, agar target yang sudah ditetapkan APBN tercapai.
Dengan demikian jelas betapa besar dan berat tugas dan tanggungjawab DJBC, khususnya dalam mencegah dan menindak tegas pelanggaran dan tindak pidana kepabeanan yang dapat menimbulkan kerugian negara dalam arti luas, yaitu finansial, keamanan, kesehatan, gangguan perdagangan dan industri/investasi dalam negeri, serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
II. Tindak Pidana Kepabeanan
Dilihat dari penggolongan delik pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 membagi secara jelas perumusan tindak pidana menjadi dua, yaitu pelanggaran dan Tindak Pidana (Kejahatan) Kepabeanan. Lebih spesifik lagi Tindak Pidana Kepabeanan dirinci menjadi Tindak Pidana Penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Tindak Pidana Kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103. Tindak pidana lain yang dapat disamakan dengan Tindak Pidana umum dapat dilihat dalam pasal 104 sampai dengan pasal 109.
1. Pelanggaran
Undang-Undang Kepabeanan tidak memberi batasan atau pengertian tentang pelanggaran namun dari ketentuan pada beberapa pasal yang ada telah menegaskan beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh Pengguna Jasa Kepabeanan, mulai dari Pengangkut, Importir, Eksportir, Pengusaha Gudang Berikat atau ‘barang siapa’ yang secara hukum kepabeanan diwajibkan melakukan sesuatu untuk memenuhi kewajiban pabean. Pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban kepabeanan tersebutlah yang secara umum diterima sebagai pelanggaran dengan penegasan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran kewajiban kepabeanan tersebut.
Beberapa pasal mengatur kewajiban tersebut seperti kewajiban Pengangkut yang diatur dalam pasal 7, pasal 11, pasal 90, dan pasal 92, kewajiban importir pada pasal 8 dan pasal 9, kewajiban Eksportir pada pasal 10, kewajiban Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat pada pasal 43, pasal 44 dan pasal 45, serta beberapa kewajiban Pengguna Jasa Kepabeanan lainnya.
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut pada dasarnya diatur dalam pasal 82 yang mempertegas sanksi yang wajib dibayar sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menguji kepatuhan para pengguna jasa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam menyelesaikan kewajiban pabean dan membayar kewajiban Bea Masuk dan pungutan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Pengaturan ini menganut azas yang lazim dikenal dengan strict compliance rule dimana setiap pasal mengatur secara tegas kewajiban dan sanksi yang timbul akibat ketidakpatuhan.
2. Tindak Pidana Penyelundupan
Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995 menyebutkan bahwa “barangsiapa yang mengimpor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kemudian, penjelasan pasal ini menambahkan bahwa “yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Pasal dan penjelasan ini menimbulkan perdebatan tentang pengertian penyelundupan karena telah terjadi perbedaan penafsiran yang cukup mendasar, baik oleh Pengguna Jasa maupun oleh masyarakat. Pengertian penyelundupan dalam pasal ini bersifat membatasi sehingga oleh banyak pihak dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini terjadi karena di sebahagian masyarakat telah memberikan pengertian yang sangat luas terhadap penyelundupan. Masyarakat menilai bahwa setiap pelanggaran kepabeanan merupakan tindak pidana penyelundupan, sementara dalam international best practices in customs matters secara spesifik membedakan antara penyelundupan (smuggling) dengan tindak pelanggaran lainnya yang lazim disebut sebagai Customs Fraud.
Bahkan sebagian besar anggota masyarakat telah mencampur-adukkan pengertian penyelundupan ini, tidak saja dalam bidang ekspor dan impor, bahkan kesalahan dalam pengiriman perdagangan antar pulau pun dimasukkan dalam pengertian penyelundupan.
Pembedaan pengertian antara penyelundupan dengan pelanggaran pabean lainnya ini menimbulkan pula pembedaan hukuman yang secara tegas dimana setiap kasus penyelundupan dipidana dengan pidana penjara, sementara pelanggaran kepabeanan diselesaikan dengan pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan azas strict compliance rule yang telah lazim dilaksanakan.
Dalam praktek kepabeanan internasional, pembedaan tersebut merupakan hal yang sudah baku sehingga secara tegas dalam penjelasan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai salah satu aspek yang sangat diperhatikan dalam pembentukannya.
3. Tindak Pidana Kepabeanan Lainnya
Disamping pidana pelanggaran dan penyelundupan, tindak pidana di bidang kepabeanan juga terdapat dalam pasal 103, pasal 104, pasal 105, pasal 106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.
Pasal 103 juga merupakan pasal yang mengatur Pidana Kepabeanan, dimana tindak pidana kepabeanan dalam pasal ini meliputi :
a. Menyerahkan pemberitahuan pabean dan atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis PALSU yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean.
b. Mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor,
c. Membuat, menyimpan, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan, atau
d. Menimbun, menyimpan dan sebagainya barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan.
Dari keempat jenis tindak pidana kepabeanan ini secara jelas dapat terlihat mengatur khusus pelanggaran atas kewajiban kepabeanan yang sangat berbeda dengan Pasal-pasal pelanggaran.
Butir a, misalnya, menegaskan adanya kesengajaan menyerahkan dokumen palsu yang secara umum sebenarnya juga diatur dalam pasal-pasal pemalsuan yang ada dalam hukum pidana.
Demikian juga pasal-pasal lainnya dimana secara umum sebenarnya juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) namun secara tegas diatur kembali dalam undang-undang ini sebagai penegasan bahwa Undang-undang Kepabeanan ini merupakan suatu “Lex Specialis derogate lege generalii”. Bahkan secara tegas Prof. Romli Atmasasmita SH. LLM, menyatakan bahwa undang-undang ini merupakan suatu hukum yang lebih spesifik sebagai “lex specialis” yang sistematik karena hukum kepabeanan ini telah :
a. Mengadop sendiri pasal-pasal pidana umum sebagai pasal pidana kepabeanan.
b. Mengatur sendiri hukum acaranya, walau tidak seluruhnya, sebagaimana diatur dalam pasal 112, dan
c. Menentukan sendiri kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai sebagai penyidik yang absah berdasarkan pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perlu pula dicermati bahwa UU ini sangat memperhatikan aspek kepentingan penerimaan negara sehingga jika kasus pidana kepabeanan terjadi, kendati sudah dalam taraf penuntutan, Menteri Keuangan masih dapat meminta penghentian kasus penyidikan sepanjang tersangka melunasi bea-bea yang seharusnya dibayar sesuai pasal 113.
III. Pasal-Pasal Delik Pidana Kepabeanan Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, semua ketentuan yang menyangkut masalah Ketentuan Pidana telah diatur pada Bab XIV, mulai dari pasal 102 sampai dengan pasal 111 sebagai berikut :
A. Pasal 102 menguraikan mengenai tindak pidana penyelundupan, yaitu:
“Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Pada Penjelasan Pasal 102 dijelaskan bahwa :
Undang-undang ini telah mengatur atau menetapkan tata cara atau kewajiban yang harus dipenuhi apabila seorang mengimpor atau mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang ini diancam dengan pidana berdasarkan pasal ini dengan hukuman akumulatif berupa pidana penjara dan denda.
Yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan undang-undang ini. Dengan demikian, apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan ketentuan undang-undang ini, walaupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk perbuatan yang dapat dipidanakan berdasarkan pasal ini.
B. Pada pasal 103 diuraikan mengenai Tindak Pidana Kepabenan lainnya, yaitu :
“Barangsiapa yang :
a. Menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean;
b. Mengeluarkan barang impor dari Kawasan pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor.
c. Membuat, menyetujui, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan; atau
d. Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
C. Pasal 104 juga mengatur Tindak Pidana Kepabeanan lainnya, yaitu :
“Barangsiapa yang :
a. Menyangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102;
b. Memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut undang-undang ini harus disimpan;
c. Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
d. Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut undang-undang ini,
Dipidanakan dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
D. Pada Pasal 105 juga diatur bahwa :
“Barangsiapa yang :
a. Membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut undang-undang ini;
b. Tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat Bea dan Cukai,
Dipidanakan dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
E. Pada pasal 106 diatur pula bahwa :
“Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp125.000.000.00 (seratus dua puluh lima juta rupiah)
F. Sedangkan pada pasal 107 diatur bahwa :
“Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atau kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.”
G. Pada Pasal 108 ayat (4) diatur bahwa :
“(4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.”
IV. Pasal-Pasal Delik Pidana Kepabeanan Pada Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang sampai dengan saat ini masih dalam proses pembahasan yang mendalam di DPR RI.
Yang terkait dengan masalah Tindak Pidana Kepabeanan maka substansi perubahan yang paling mendasar adalah mengenai perluasan dan penajaman delik-delik pidana di bidang kepabeanan serta pemberatan sanksi atas tindak pidana tersebut berupa pemberatan pidana penjara dan pidana denda.
Beberapa usul perubahan pasal pada Bab XIV yang terkait secara langsung dengan masalah Tindak Pidana Kepabeanan adalah sebagai berikut :
A. Pasal 102 yang memberikan penjelasan secara detail mengenai tindak pidana penyelundupan di bidang impor
Setiap orang yang :
a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (2)
b. Membongkar barang impor di luar Kawasan Pabean atau tempat lain tanpa izin Kepala Kantor Pabean
c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (3)
d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan
e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum
f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan Kewajiban Pabeannya dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat atau dari tempat lain dibawah pengawasan pabean tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini.
g. Mengangkut barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat yang tidak sampai ke Kantor Pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau
h. Dengan sengaja memberitahukan salah tentang jenis dan/atau jumlah barang impor dalam Pemberitahuan Pabean.
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).”
B. Pasal 102A yang memberikan penjelasan secara detail mengenai tindak pidana Penyelundupan di bidang Ekspor.
Setiap orang yang :
a. Mengekspor barang tanpa menyerahkan Pemberitahuan Pabean
b. Dengan sengaja memberitahukan salah tentang jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor;
c. Memuat barang ekspor di luar Kawasan Pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
d. Membongkar barang ekspor di dalam Daerah Pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean; atau
e. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 9A ayat (1);
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).
C. Pasal 102B memberikan penjelasan mengenai tindak pidana Penyelundupan yang terkait dengan pengangkutan barang tertentu didalam Daerah Pabean (pengangkutan Antar Pulau).
Setiap Orang yang mengangkut Barang Tertentu yang tidak sampai ke Kantor Pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).”
D. Pasal 103 juga dilakukan pemberatan sanksi pidana penjara dan pidana denda sebagai berikut :
Setiap orang yang :
a. Menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan.
b. Membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;
c. Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean; atau
d. Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).”
E. Ditambahkan suatu delik pidana yang baru pada pasal 103A yaitu terhadap Orang yang mengakses sistem elektronik secara tidak sah :
(1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang Kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).”
F. Pada pasal 104 juga dilakukan pemberatan sanksi pidana dan pidana denda
Setiap orang yang :
a. Mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, atau Pasal 102B;
b. Memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-Undang ini harus disimpan;
c. Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
d. Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-Undang ini;
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000.00 (tiga milyar rupiah)
A. Pada Pasal 105 secara substansi masih tetap sama, hanya dilakukan usul perubahan dalam pemberatan sanksi pidana penjara dan pidana denda :
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat Bea dan Cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).
H. Pada Pasal 107 secara substansi masih tetap, hanya dilakukan pemberatan sanksi pidana denda, yaitu pada ayat (4) :
(4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000.00 (satu setengah milyar rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.”
V. Penutup
Tindak pidana kepabeanan diyakini masih tinggi di Indonesia. Perubahan/perbaikan UU No. 10/1995 tentang Kepabeaan di harapkan dapat membantu peningkatan mutu pelaksanaan tugas dan tanggungjawab DJBC. Perbaikan ini akan berhasil sepanjang aparat di DJBC sendiri dan aparat penegak hukum lainnya juga bersungguh-sungguh membantu pelaksanaannya. Reformasi dalam bidang kepabeanan ini diharapkan akan menempatkan pelaksanaan kepabeanan di Indonesia sejajar dengan negara-negara lain yaitu lancar, bersih, murah, mudah, dan adil sesuai dengan prinsip good-governance.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan
RUU tentang Perubahan UU No. 10/1995
Sumber-sumber DJBC.

No comments:

Post a Comment