Oleh: Ifdhal Kasim
Setiap negara sudah dipastikan sangat memerlukan berfungsinya keamanan nasional (national security). Maka dalam rangka berfungsinya keamanan nasional tersebut, berkaitan dengan informasi, negara diberikan kewenangan menentukan klasifikasi mengenai informasi-informasi apa saja yang bersifat rahasia (secrecy), yang dapat membahayakan keamanan nasional apabila dibuka. Akses publik untuk mendapatkan informasi yang serupa itu dengan demikian tertutup. Pembatasan ini dibenarkan demi perlindungan terhadap keamanan nasional, namun harus diseimbangkan dengan hak atas kebebasan memperoleh informasi.
Belum lama ini pemerintah telah mengajukan RUU Rahasia Negara (RUU RN) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan RUU RN ini juga didasarkan pada alasan keamanan nasional --yang dalam bahasa RUU ini dirumuskan: “memelihara kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara”. Dengan RUU ini pemerintah mengharapkan, “akan tercipta kontrol terhadap penetapan rahasia agar tidak menimbulkan penyalahgunaan dalam menetapkan rahasia negara”. Selain, “mengurangi hal-hal yang dirahasiakan dan lebih memperkuat perlindungan terhadap hal-hal yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara”. Tetapi DPR mengembalikan RUU RN ini kepada pemerintah dengan tujuan agar diperbaiki. RUU ini kelihatannya lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dalam menentukan informasi yang rahasia (excessive secrecy by government), dan oleh karenanya mengancam akses publik terhadap informasi pemerintah.
Tulisan ini ingin membahas RUU Rahasia Negara tersebut dari sudut pandang hak asasi manusia. Pertanyaannya adalah apakah RUU Rahasia Negara ini masih memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak atas kebebasan memperoleh informasi.
I. Kebebasan Informasi
1. Hak atas Informasi
Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu pula, maka hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam Pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.
Penguatan atas hak informasi ini dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya. Norma yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok ini mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).
Penegasan atas hak atas informasi dinyatakan dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Hak ini diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Lebih lanjut pengaturan mengenai perlindungan hak ini dituangkan dalam UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP). Di dalam UU ini diatur tentang kewajiban-kewajiban badan publik, dalam melayani informasi publik sesuai dengan klasifikasinya, yaitu informasi serta merta, informasi reguler, dan informasi yang tersedia setiap saat. Misalnya, terhadap informasi yang bersifat serta merta, badan publik wajib mengumumkannya tanpa penundaan, sebab jika tidak diumumkan segera, akan mengakibatkan kerugian besar bagi kehidupan. Informasi dalam kategori ini antara lain informasi tentang bencana dan endemi suatu penyakit di daerah tertentu. Jika tidak menjalankan kewajiban, badan publik (lembaga pemerintah) dapat dikenakan sanksi. Dengan begitu, ke depan badan publik diharapkan akan jauh lebih terbuka. Keterbukaan ini akan membuka peluang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap tindakan dan kebijakan badan publik dalam penyelenggaraan negara.
Semangat keterbukaan ini memang masih terganjal oleh adanya beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang tidak mendukung keterbukaan informasi, diantaranya tidak dimasukkannya BUMN/BUMD dalam kategori badan publik dan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Namun terlepas dari sejumlah kelemahannya, UU KIP menciptakan ruang yang cukup bagi terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian ia akan mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
2. Klausula Pembatasan
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipol, Pasal 28J UUD 1945, dan Pasal 70 UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Kovenan Sipol dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.
Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum tersebut, pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Di dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 dinyatakan bahwa pembatasan hanya dapat oleh dan berdasarkan UU “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Di dalam Siracusa Principles (Prinsip-Prinsip Siracusa) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. Pasal 5 Kovenan Sipol dan Pasal 74 UU No. 39/1999 juga menyiratkan bahwa “tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan HAM, termasuk hak atas informasi, yang dilakukan negara c.q. pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM.
Salah satu alasan pembatasan hak atas informasi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-Prinsip Johannesburg), yakni: (a) Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan; (b) Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak; (c) Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah tersebut; Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi; (d) Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk, misalnya, untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial; (e) Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional; dan (f) Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi.
II. Mengamati RUU Rahasia Negara
Perlindungan hak atas informasi di Indonesia menemukan titik terang setelah pada 2008 DPR mensahkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU ini merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. UU KIP menekankan prinsip bahwa semua informasi yang dikelola pejabat publik adalah terbuka. Bahwa ada pengecualian atas beberapa jenis informasi, hal itu harus didasarkan dengan syarat dan ketentuan yang ketat dan terbatas.
Dalam pemaparan awal sudah dinyatakan, bahwa hak atas informasi hanya boleh dibatasi apabila diatur menurut hukum (UU) dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan untuk melakukan pembatasan hak harus berangkat dari pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka maka akan membahayakan keamanan nasional yang sah dan kepentingan publik yang lebih besar. Namun kebijakan itu tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai wujud pertanggungjawaban itu, maka suatu informasi rahasia harus bisa dibuka setelah jangka waktu yang tidak lagi dinilai membahayakan publik.
Pembatasan hak atas informasi itu tertuang dalam Pasal 17 UU KIP yang menyebutkan mengenai informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik, yaitu informasi yang jika dibuka akan mengganggu proses penegakan hukum, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), pertahanan dan keamanan negara, kekayaan alam Indonesia, ketahanan ekonomi nasional, hubungan luar negeri, dan rahasia pribadi. Tetapi Pasal pembatasan itu dianggap tidak cukup oleh pemerintah yang berupaya menggolkan RUU Rahasia Negara hingga hari ini. Pada bagian Menimbang RUU RN disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum memadai dan komprehensif untuk melakukan pengaturan terhadap rahasia negara.
1. Definisi Rahasia Negara
Pasal 1 ayat 1 mengartikan rahasia negara sebagai “informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan, yang apabila diketahui pihak yang tidak berhak dapat membahyakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, dan/atau ketertiban umum, yang diatur dengan atau berdasarkan Undang-Undang ini”.
Definisi rahasia negara yang dirumuskan di atas tidak mengaitkan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara dengan ’ancaman kekerasan bersenjata’. Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg dinyatakan bahwa pembatasan hak atas informasi atas alasan keamanan nasional tidak sah kecuali ”untuk melindungi keberadaan suatu negara atau integritas teritorialnya dari penggunaan atau ancaman kekerasan, atau kapasitasnya untuk bereaksi terhadap penggunaan atau ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti ancaman militer, maupun dari sumber internal seperti provokasi penggulingan pemerintah dengan cara kekerasan”.
Mengaitkan keamanan negara dengan ancaman kekerasan bersenjata penting jika mengamati pengalaman politik bangsa Indonesia pada masa lalu di mana tujuan sesungguhnya dari pembatasan HAM berupa pengekangan kebebasan ekspresi dan informasi adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, melainkan untuk menindas oposisi politik demi mempertahankan dominasi dan kekuasaan pemegang otoritas terhadap masyarakatnya. Definisi yang tidak rinci, kabur, dan tidak terukur memberi ruang bagi pejabat publik untuk merahasiakan suatu informasi demi perlindungan kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan kepentingan nasional, misalnya demi memuluskan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Pada masa lalu, praktek korupsi, pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap kebebasan dasar yang paling serius telah dijustifikasi oleh pemerintah sebagai sebagai suatu hal yang diperlukan untuk melindungi stabilitas nasional.
2. Tentang Jenis dan Cakupan Rahasia Negara
Pasal 3 RUU RN menyebutkan 3 jenis rahasia negara, yaitu informasi, benda, dan aktivitas. Obyek yang menjadi rahasia negara ini pada pasal ini terlalu luas, longgar, dan membingungkan. Benda dan aktivitas sulit untuk dirahasiakan. Hal yang bisa dirahasiakan adalah informasi tentang benda dan aktivitas. Pasal ini akan mengakibatkan kesulitan teknis yang luar biasa di lapangan. Sedangkan Pasal 4 RUU RN menguraikan ruang lingkup rahasia negara yang meliputi pertahanan dan keamanan negara, hubungan luar negeri, proses penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, persandian negara, intelijen negara, dan pengamanan asset vital negara.
Pada bagian Penjelasan diuraikan masing-masing cakupan tersebut, sebagai berikut: (a) Rahasia negara di bidang pertahanan dan keamanan negara antara lain persenjataan, perbekalan, peralatan tempur dan penemuan teknologinya beserta riset pengembangan; (b) Rahasia negara di bidang hubungan luar negeri antara lain hasil analisis diplomat tentang masalah-masalah bilateral sebagai bahan kebijakan. Misalnya analisisi tentang kebijakan politik, ekonomi negara akreditasi; (c) Rahasia negara di bidang proses penegakan hukum antara lain informasi yang berkaitan dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian atau PPNS yang berkaitan dengankasusu tertentu; (d) Rahasia negara di bidang ketahanan ekonomi nasional antara lain Ketahanan Ekonomi Bidang Moneter (Jumlah intervensi BI terhadap pasar untuk menjaga kestabilan rupiah); Ketahanan ekonomi Bidang Fiskal (Penerimaan dan pengeluaran di bidang Pasar Modal, Perpajakan, Bea dan Cukai dan lain-lainnya); Ketahanan Ekonomi Bidang Industri dan Perdagangan (komoditas-komoditas yang masih dalam pengaturan dan pengeawan); (e) Rahasia negara di bidang persandian negara antara lain informasi yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan aplikasi persandian; (f) Rahasia negara di bidang intelijen negara antara lain sebagai berikut: 1. data intelijen kegiatan dan/atau operasi yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan dan/atau operasi intelijen. 2. dukungan kegiatan dan/atau operasi kepada instansi intelijen dan informasi yang berhubungan dengan intelijen termasuk informasi yang dimiliki atau yang ditransmisikan oleh instansi tersebut atau orang yang mendukungnya; (g) rahasia negara di bidang pengamanan aset vital negara antara lain instalasi militer, daerah pelatihan militer, pabrik senjata, dan sebagainya.
Ruang lingkup rahasia negara dengan demikian sangat luas dan mencakup banyak bidang. Pada masing-masing bidang juga tidak dirinci secara jelas informasi tentang apa saja yang diklasifikasikan sebagai rahasia negara. Kata ”antara lain” serta ”dan sebagainya” menunjukkan pasal tentang ruang lingkup sangat longgar dan bisa diperluas sesuai kepentingan pejabat publik yang berwenang memegang rahasia negara. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip pembatasan hak atas informasi dalam Prinsip-prinsip Johannesburg yang menghendaki adanya prinsip maximum acces and limited exemption, dimana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasarnya adalah terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan sangat terbatas semata-mata untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman kekerasan bersenjata, dan tetap terjaminnya kepentingan publik.
Selain itu ruang lingkup rahasia negara juga tidak disesuaikan dengan cakupan informasi rahasia yang dikecualikan dalam UU KIP. Hal ini menunjukkan bahwa para perumus RUU RN tidak menjadikan RUU KIP sebagai acuan dan pertimbangan utama dalam perumusan RN. Situasi ini dapat mengakibatkan hukum yang tumpang-tindih dan redundant (berlebih-lebihan). Hal ini dapat berakibat jauh pada kontradiksi antar-UU yang bermuara pada ketidakpastian hukum.
3. Rahasia Instansi
Pasal 1 RUU RN menjelaskan bahwa instansi adalah institusi yang menyelenggarakan urusan negara di seluruh wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan republik Indonesia. Pasal 8 RUU menyatakan setiap instansi memiliki rahasia dengan tingkat kerahasiaan konfidensial yang apabila rahasia instansi tersebut diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi. Masa retensi rahasia instansi ditentukan oleh instansi pemilik paling lama 5 (lima) tahun. Adapun pengelolaannya dilakukan berdasarkan standar pengelolaan rahasia negara. Pasal 11 RUU RN berbunyi “Instansi memiliki wewenang menolak memberikan rahasia negara sesuai dengan masa retensinya kepada yang tidak berhak”.
Ketentuan di atas menunjukkan semakin luasnya cakupan dan lembaga yang berwenang mengelola informasi yang dirahasiakan. Informasi yang dirahasiakan dari publik tak hanya hal-hal yang kalau dibuka akan membahayakan kedaulatan negara ataupun ketertiban umum. Cakupan informasi rahasia bisa tentang apa saja dan instansi yang berwenang menetapkan rahasia instansi bisa instansi manapun dari berbagai tingkatan. Ketentuan-ketentuan ini diduga kuat akan melegitimasi instansi-instansi pemerintah untuk memberikan label rahasia negara untuk semua informasi yang seharusnya dibuka kepada publik sesuai kepentingannya. Pasal 8 dan 11 RUU RN membangun benteng berlapis yang menghalangi siapapun, baik masyarakat maupun lembaga perwakilan kepentingan, untuk memperoleh informasi publik. Pasal-pasal ini bahkan bisa menghalangi pula fungsi pengawasan dari lembaga-lembaga yang ada, baik DPR maupun lembaga pengawas di lembaga pemerintahan sendiri.
Pemisahan rahasia instansi dari rahasia negara merupakan pengaburan kedudukan instansi sebagai pelaksana kebijakan dan negara sebagai pemegang otoritas. Negara adalah sebuah konsep abstrak yang pada dasarnya berkaitan dengan otoritas, simbol-simbol kekuasaan, dan kehadirannya dalam sistem menampilkan dirinya dalam bentuk instansi. Setiap rahasia negara harus menjadi rahasia instansi, tidak sebaliknya.
4. Masa Retensi
Pasal 10 ayat 1 dan 2 RUU RN menyatakan masa retensi untuk rahasia negara yang tingkat kerahasiaannya sangat rahasia ditetapkan selama 30 tahun, sedangkan untuk rahasia yang tingkat kerahasiaannya rahasia ditetapkan selama 20 tahun. Disebutkan pula pada ayat 4 pasal yang sama bahwa masa retensi tersebut tidak berakhir dengan bocornya rahasia negara. Pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa masa retensi untuk kedua jenis rahasia sebagaimana disebut paragraf 50 dapat diperpanjang dengan alasan membahayakan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara, adanya keadaan perang atau kondisi darurat; dan/atau membahayakan kepentingan umum yang lebih besar. Selain tidak ada penjelasan memadai tentang situasi khusus dan persyaratan yang diperlukan untuk perpanjangan masa retensi, RUU RN tidak memberi celah bagi peninjauan sebelum masa retensi berakhir yang memungkinkan adanya pemotongan masa retensi jika kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan karena pengungkapannya.
RUU RN sama sekali tidak mengatur mengenai pengecualian, padahal ini sangat diperlukan dalam kondisi tertentu. Semata-mata untuk tujuan pengungkapan kejahatan luar biasa, seperti kejahatan HAM yang serius, kejahatan terorisme, dan kejahatan korupsi, suatu informasi yang diklasifikasikan sebagai rahasia negara seharusnya dapat dibuka aksesnya kepada pihak tertentu untuk tujuan dan waktu tertentu. Dalam konteks ini, pembukaan akses suatu informasi rahasia secara terbatas sangat penting untuk kepentingan publik yang lebih besar. Di samping itu, RUU RN tidak menetapkan informasi-informasi yang dengan alasan apapun tidak dapat dirahasiakan, misalnya informasi tentang bencana alam yang sangat penting bagi publik.
5. Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 35—40 RUU RN. Ketentuan itu berlaku untuk setiap orang yang terbukti: a) menyebarkan informasi rahasia negara baik pada masa damai maupun perang; b) dengan sengaja dan melawan hukum mengetahui kemudian menyimpan, menerima, memberikan, menghilangkan, menggandakan, memodifikasi/merubah, memiliki/menguasai, memotret, merekam, memalsukan, merusak/menghancurkan, menyalin, mengalihkan/ memindahkan atau memasuki (wilayah) atau mengintai (wilayah) benda rahasia negara; c) dengan sengaja melawan hukum mengetahui kemudian mengganggu atau menghalang-halangi atau memotret atau merekam aktivitas rahasia negara baik pada masa damai maupun perang; d) dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan atau melakukan permufakatan atau percobaan terjadinya tindak pidana rahasia negara; e) dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya melakukan tindak pidana rahasia negara; f) karena kelalaiaannya menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya mengakibatkan terjadinya tindak pidana rahasia negara; g) melakukan tindak pidana rahasia negara atas nama korporasi
Sanksi pidana atas tindak pidana rahasia negara bervariasi. Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pada paragraf 54 a—d adalah 5 tahun hingga hukuman mati dan denda antara 250 juta rupiah hingga 1 miliar rupiah. Bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana disebut pada paragraf 54 e, hukumannya ditambah 1/3 sedangkan bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana disebut pada paragraf 54 f dikurangi 1/3. Adapun terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana disebut paragraf 54 g adalah tuntutan dan pidana terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pidana pokok berupa denda 500 juta rupiah hingga 1 miliar rupiah. Korporasi yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Ketentuan pidana dalam RUU RN tidak memberi peluang bagi pengungkapan rahasia negara demi kepentingan publik yang lebih besar. Siapapun yang membocorkan dan menyebarluaskan rahasia negara dengan alasan apapun akan dikenai sanksi pidana sebagaimana disebut pada paragraf 55. Ketentuan ini tidak bersesuaian dengan Prinsip ke-15 dalam Prinsip-prinsip Johannesburg yang menegaskan bahwa, tidak seorang pun dapat dihukum dengan alasan keamanan nasional karena pengungkapan suatu informasi jika: a) pengungkapan tersebut tidak benar-benar membahayakan dan berkemungkinan kecil membahayakan kepentingan keamanan nasional yang sah, atau; b) kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan oleh pengungkapannya.
RUU RN tidak mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap tertuduh tindak pidana rahasia negara. Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg disebutkan bahwa setiap orang yang dituduh atas kejahatan berkaitan dengan keamanan sehubungan dengan ekspresi atau informasi berhak atas semua peraturan mengenai perlindungan hukum yang menjadi bagian dari hukum internasional. Selain itu Prinsip-prinsip Johannesburg juga menetapkan bahwa para tertuduh tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan nasional berhak untuk diadili oleh pengadilan independen yang menjamin keamanan tertuduh. Jika tertuduh itu sipil, maka ia tidak boleh diadili oleh pengadilan militer. Para tertuduh juga tidak boleh diadili oleh pengadilan nasional yang bersifat ad hoc atau yang dibentuk secara khusus.
6. Dewan Rahasia Negara (DRN)
Pasal 24 dan 27 mengatur tentang keberadaan DRN yang menentukan kebijakan mengenai rahasia negara. Melekat pada lembaga ini beberapa kewenangan, yaitu: a). Memperpanjang masa retensi rahasia negara; b). Menerima atau menolak keberatan atas penolakan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 2; c). Memberi persetujuan atau penolakan kepada penyidik, jaksa, dan/atau hakim untuk mengetahui rahasia negara dalam proses peradilan; d). Menyatakan bocornya rahasia negara dan menentukan kebijakan terpadu untuk mencegah meluasnya kebocoran serta upaya mengatasi dampak akibat kebocoran rahasia negara.
Kewenangan DRN dalam menentukan kebijakan mengenai rahasia negara sebagaimana disebut paragraf 60 betul-betul sangat mandiri dan bebas dari campur tangan lembaga negara lainnya, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga pengawas pemerintah yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Sebagai lembaga politik, DPR semestinya diberi ruang yang memadai dalam pengambilan keputusan mengenai rahasia negara.
Pasal 25 RUU RN menyatakan bahwa Ketua DRN dijabat oleh Menteri Pertahanan dan Sekretaris DRN adalah Kepala Lembaga Sandi Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden. Adapun anggota terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap. Anggota tidak tetap ditunjuk oleh Ketua DRN, sedangkan anggota tetap terdiri dari komposisi sebagai berikut: Menteri Pertahanan; Menteri Dalam Negeri;Menteri Luar Negeri; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Komunikasi dan Informatika; Jaksa Agung; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian republik Indonesia; Kepala Badan Intelijen Negara; Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia; dan Kepala Lembaga Sandi Negara.
III. Catatan Akhir
Hak atas informasi merupakan hak dasar yang menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan yang lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Hak atas informasi hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Berdasarkan analisis terhadap ketentuan-ketentuan pokok dalam RUU RN dipaparkan dalam tulisan ini, dapat ditandaskan bahwa pembatasan hak atas informasi yang hendak diatur dalam RUU Rahasia Negara tidak mempertimbangkan secara seksama syarat-syarat yang ditetapkan oleh instrumen-instrumen hukum HAM nasional maupun internasional. RUU RN tidak menjadi sebuah sarana pembatasan yang sempit untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah dan kepentingan publik. Pemberlakuan RUU RN berpotensi membahayakan hak atas informasi dan mengancam kebebasan dasar lainnya. RUU RN mengandung kelemahan mendasar yang bersifat substansial. Oleh karena itu, perbaikan terhadap naskah RUU RN tidak bisa diperbaiki hanya dengan merevisi demi pasal, melainkan perlu perubahan total dengan mengubah prinsip dan paradigma yang menempatkan kepentingan publik (maximum acces dan limited exemption) dan hak asasi manusia sebagai sama pentingnya dengan kepentingan keamanan nasional yang sah. ***
MAKALAH PADA DISKUSI TERBUKA
RUU RAHASIA NEGARA DAN ANCAMAN KEBEBASAN INFORMASI PUBLIK
Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009
IDSPS
No comments:
Post a Comment