Kampusku.Com: Reorganisasi Perusahaan Dalam Kepailitan

Cari Makalah

Sunday, February 7, 2010

Reorganisasi Perusahaan Dalam Kepailitan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, yang kemudian diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan jatuhnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, sungguh menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian nasional khususnya dunia usaha.
Kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam, dan kemudian berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukan erekonokian Indonesia dan ketergantungan pada sector luar negeri yang sangat besar. Krisis tersebut kemudian berkembang semakin parah karena berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian terutama di tingkat mikro. Krisis ekonomi ini diawali dengan krisis nilai tukar yaitu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Jatuhnya nilai rupiah telah memperburuk kualitas perkreditan bank-bank, mengakibatkan terbatasnya sumber dana yang tersedia bagi dunia usaha.


Krisis ini juga menyebabkan terjadinya kebangkrutan dari perusahaan-perusahaan konglomerat, yang ternyata bahwa industri yang dibangun oleh rezim Orde Baru sebagaimana yang ditulis dalam harian Kompas tanggal 26 Juni, ibarat tahu, rawan guncangan, hingga mengakibatkan lebih dari separuh industri mati suri. 
Gejolak ini juga menyebabkan terjadi krisis utang swasta, karena kemampuan dunia usaha swasta untuk mengembangkan kegiatannya terganggu dengan terbatasnya sumber dana, terutama untuk memenuhi kewajiban utang mereka kepada kreditur di luar negeri. 
Akibatnya masyarakat kreditur mulai mencari sarana yang dapat digunakan untuk menagih tagihannya dengan memuaskan. Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, yaitu failissementverordening tidak dapat diandalkan untuk mengatasi keluhan masyarakat kreditur. 

Oleh karenanya IMF mendesak pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah failissementverordening sebagai sarana penyelesaian utang pengusaha Indonesia kepada kreditur luar negeri. Lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan yang mengubah dan menambah Faillssement sverordening. Ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan dibahas DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang, terjadi perbedaan pendapat di antara di antara fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu tersebut. Kalangn DPR menginginkan materi yang diatur dalam Perpu agar diubah, sementara pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perpu tersebut disahkan saja sebagai undang-undang. Alasan pemerintah karena “deadline” yang ditetapkan dalam Letter of Intent yang telah disepakati dan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan IMF mengharuskan Indonesia agar segera mengundangkan Undang-undang Kepailitan telah lewat waktunya. Padahal pemenuhan isi Letter of Intent merupakan syarat bagi Indonesia untuk menerima kucuran dana pinjaman dari IMF yang memang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis. 

Sebagai jalan keluar DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal 9 September 1998 Undang-undang No 4 tahun 1998 dinudangkan, pemerintah akan menyampaikan RUU tentang kepailitan yang baru kepada DPR RI.  Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangkrut atau pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut, dan yang aktifnya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya. Kamus Istilah Keuangan dan Investasi mendefinisikan bahwa kebangkrutan adalah keadaan tidak solven dari perorangan atau organisasi, dengan kata lain tidak mampu membayar utang. 

Sementara agar suatu perusahaan dapat dipailitkan maka Pasal 1 UU Kepailitan No4 Tahun 1998 menyatakan sebagai berikut : 
  1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, “ dinyatakan pailit” (bukan “dapat dinyatakan pailit”) oleh keputusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya;
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum;
  3. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
  4. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal..

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Kepailitan N0. 4 Tahun 1998 tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut : 
1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur.
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan apat ditagih.
3. Persyaratan mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur menegaskan bahwa dalam kepailitan yang menjadi batasannya adalah jumlah kreditur yaitu mempunyai 2 (dua) atau lebih, jadi bukan jumlah piutangnya. 

Jelas dengan syarat-syarat yang seperti itu, begitu mudahnya suatu perusahaan dipailitkan.
Seperti hal yang menimpa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi PT. AJMI), sebab dengan putusan nomor 10/pailit/2002/PN Niaga Jkt.Pst. tanggal 13 Juni 2002, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan bahwa PT AJMI pailit.
Putusan ini menarik perhatian karena menyangkut nasib perusahaan besar dengan lebih dari 400.000 nasabah atau pemegang polis. Selain itu, PT. AJMI memiliki 72 cabang dan mempekerjakan 4.000 karyawan dan dikenal sebagai perusahaan yang solvent (sehat) dan memiliki posisi keuangan yang sehat.
Bahkan, beberapa hari setelah adanya Putusan pengadilan Niaga tersebut, Direktur Jenderal Keuangan merasa perlu membuat pengumuman di sejumlh media massa bahwa dari aspek keuangan AJMI adalah perusahaan asuransi yang solvent. 
Putusan ini telah menjadi kontroversi bukan saja diantara pelaku bisnis tetapi juga mengakibatkan protes keras dari Bank Dunia, IMF, dan pemerintah Kanada selaku pemegang saham mayoritas PT. AJMI.

Dalam surat kabar Kompas tanggal 21 Juni 2002, diberitahukan bahwa:
“Menteri Luar Negeri (Menlu) Kanada Bill Graham menyebutkan bahwa, Pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk melancarkan retaliasi (pembalasan) terhadap Pemerintah RI karena dinilai tidak menunjukan respon yang memadai berkaitan dengan kasus pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) yang controversial. Graham, dikutip harian Kanada National Post Kamis 20 Juni 2002 menyebutkan bahwa Pemerintah Kanada akan mengkaji semua opsi, termasuk kemungkinan menerapkan sanki terhadap Pemerintah Indonesia. Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi sanksi internasional”. 

Harian Suara Pembaharuan 24 Juni 2002 memuat berita antara lain sebagai berikut :

“Deputi Managing director IMF, Anne Krueger, seperti dilansir Dow Jones Newswires, Sabtu 22/6/2002 bahkan menyatakan dengan tegas, bahwa IMF tidak senang atas perkembangan di Indonesia menyangkut privatisasi dan juga reformasi hokum. Salah satu yang disoroti Krueger menyangkut keputusan kontroversi Pengadilan Niaga yang akhirnya mempailitkan PT. AJMI. Kruege juga mengaku, IMF sependapat dengan Pemerintah Kanada dan juga para investor asing bahwa keputusan pengadilan tersebut akan dapat mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia”. 


Karena reksi keras Pemerintah Kanada tersebut, Ketua Mahkamah Agung telah memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta agar membentuk tim untuk memeriksa para hakim yang mengadili dan memutuskan kasus pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Perintah pemeriksaan tersebut dikeluarkan berkaitan dengan adanya tudingan pihak PT. AJMI bahwa hakim-hakim tersebut telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam kasus AJMI. 

Putusan pailit terhadap AJMI dijatuhkan berdasarkan permohonan kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera karena AJMI dinilai gagal membayar dividen tahun 1999 sebesar Rp 32.789.856.000. Lalu dalam tingkat kasasi, keputusan pengadilan niaga itu dibatalkan dengan alasan bahwa perusahaan memiliki aset yang lebih besar dibandingkan utangnya. 
Nyatalah bahwa UU No. 4 Tahun 1998 masih sarat dengan kelemahan-kelemahan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah utang piutang antara debitur dengan kreditur yang menurut penjelasan UU tersebut harus adil, cepat, terbuka, dan efektif. 
Sebagai bahan perbandingan, patut dipuji pendirian Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan No. 024/PK/N/1999 dalam perkara antara PT. Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Construction Co.Ltd. yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikur : 

”Potensi dan prospek dari usaha debitur harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika debitur masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang seharusnya masih diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remidium.” 


Lebih lanjut Majelis Peninjau Kembali dalam menolak putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut mengemukakan alasan penolakannya : “…….dan bahkan terhadap hutang debitur/Termohon Pailit telah diadakan restrukrisasi menunjukan bahwa usaha debitur masih mempunyai potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya lepada seluruh kreditur di kemudian hari dan oleh karena itu debitur / Termohon pailit bukan merupakan a Debtor is hopelessly in debt.”


Menjadi jelas bahwa upaya penyelesaian utang piutang antara kreditur dan debitur tidak harus menempuh jalan suatu preusan harus dipailitkan. UU Kepailitan menyediakan suatu cara agar debitur terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya meskipun debitur telah atau akan berada dalam posisi insolven. Caranya adalah dengan melakukan Reorganisasi preusan (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang/ PKPU) atau Sueseance van Betaling atau Suspensión of payment.

Pengertian Reorganisasi menurut hukum kepailitan Indonesia hádala PKPU yang disebut sejalan dengan pendirian Reorganization yang diatur oleh UU Kepailitan Amerika Serikat (Bankruptcy Code). PKPU diatur dalam Bab II, Pasal 212 – Pasal 279 UU Kepailitan Indonesia, sedangkan Reorganization diatur dalam Chapter 11 U.S. Bankruptcy Code. 
Kamus Istilah Keuangan dan Investasi mendefinisikan bahwa Reorganisasi Perusahaan adalah menstrukturkan kembali keuangan perusahaan dalam kebangkrutan. 
Reorganisasi perusahaan berarti juga menyusun kembali organisasi yang dapat dibedakan : Reorganisasi Yuridis, terjadi apabila ada perubahan bentuk perusahaan. Misalnya, perusahaan perseorangan diubah penjadi Perseroan Terbatas (PT).
ii. Reorganisasi Struktural, yaitu penyusunan kembali struktur organisasi. Misalnya struktur organisasi fungsional diubah menjadi struktur organisasi garis.
iii. Reorganisasi finansial, merupakan Capital Restucturing yang menyangkut perubahan menyeluruh dari struktur modal karena perusahaan telah atau sangat cenderung untuk insolvable. Tujuan organisasi finansial adalah untuk menyehatkan kembali permodalan perusahaan. Struktur modal disusun kembali karena perusahaan mengalami kesulitan permodalan, sehingga dirasa struktur modal yang baru. cukup layak untuk operasi perusahaan di masa yang akan datang. 

Cara reorganisasi ini ditempuh apabila dirasa prospek perusahaan di masa yang akan datang masih cukup baik, sebab tujuan utama dari rencana reorganisasi ini adalah untuk menyehatkan kondisi keuangan perusahaan. 
Sedangkan pengertian perusahaan dibedakan dalam dua aliran :

1. Yang membedakan pengertian "perusahaan” dan "badan usaha".
2. Tidak membedakan pembedaan pengertian tersebut.

Menurut aliran pertama, badan usaha adalah suatu organisasi yang dengan mempergunakan faktor-faktor produksi berusaha mencari laba. Sedang perusahaan adalah tempat dimana faktor-faktor produksi tersebut dipadukan dengan mana diprodusir barang dan jasa, Dengan membedakan pengertian antara perusahaan dan badan usaha berarti ada perusahaan tanpa badan usaha dan atau ada badan usaha tanpa perusahaan, Badan usaha tanpa perusahaan menunjukkan bahwa yang ada hanya organisasi formil, namun tidak melakukan kegiatan produktif, atau tidak bermaksud mencari laba.
Sebaliknya bilamana perusahaan tanpa badan usaha, maka hal itu menunjukkan ada kegiatan produktif, tetapi tidak ada organisasi yang menentukan kebijakan, dan yang mengaturnya. 

Aliran kedua tidak mmmbedakan pengertian antara perusahaan dan badan usaha, sebagaimana John A. Shubin mengemukakan : 
"A firm is an ownership organization which combines the factors of production in a plant for the purpose of producing goods or services and selling them at a profit. (Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi kepemilikan yang menggabungkan faktor-faktor produksi di dalam suatu tempat dengan maksud memprodusir barang atau jasa dan menjualnya dengan laba)."

Berdasarkan pengertian ini, jelas bahwa organisasi harus bertujuan untuk mencari laba. Bila organisasi itu tidak mencari laba, maka organisasi itu bukan perusahaan. Tujuan mencari laba bukan secara insidentil saja melainkan secara terus menerus yang diusahakan melalui pengorganisasian faktor-faktor produksi.
Pengertian perusahaan yang seperti ini juga menyebutkan bahwa organisasi dipisahkan antara tempat kegiatan produktif dengan tempat usaha atau kegiatan administrasi dijalankan, namun pengertian ini tidak membedakan antara badan usaha dan perusahaan. Hal ini berarti bahwa organisasi harus mernpunyai tempat kedudukan yang jelas. 
Akan tetapi yang dimaksud dengan perusahaan dalam tesis ini adalah Perseroan Terbatas sebagaimana Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan sebagai berikut: 
"Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegialan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya."
Berdasarkan batasan pengertian yang diberikan tersebul di atas, ada lima hal pokok yang menjadi fokus perhatian : 

1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum
2. Didirikan berdasarkan perjanjian
3. Menjalankan usaha tertentu
4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham
5. Memenuhi persyaratan undang-undang

Perseroan Terbatas juga didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang yang diberi hak dan diakui oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kekayaan Perseroan Terbatas terpisah dari pemilik-pemiliknya. 
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang tidak ada satu pasalpun yang menyatakan Perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam Undang-undang Perseroan Terbatas secara tegas dinyatakan dalam pasal 1 butir 1 bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya.
Sebagai badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam UUPT. Unsur-unsur tersebut adalah: 

a. Organisasi yang teratur.
Qrganisasi yang teratur ini dapat kita lihat dari adanya organ perusahaan yang terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 butir 2 UUPT). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui ketentuan UUPT, Anggaran dasar, Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham. Keputusan Dewan Komisaris, Keputusan Direksi dan Peraturan-peraturan perusahaan lainnya yang dikeluarkan dari waktu ke waktu.
b. Harta kekayaau sendiri.
Harta kekayaan sendiri ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham (Pasal 24 ayat 1 UUPT) yang terdiri atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain (Pasal 27 ayat 1 UUPT). 

c. Melakukun hubungan hukum sendiri.
Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri hubungan hukum dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus yang disebut Direksi dan Komisaris, Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di Luar Pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya tersebut, Direksi berada dalam pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu "membantu" Direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut. 

d. Mempunyai tujuan sendiri.
Tujuan tersebul ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan/laba.

Menurut UUPT, suatu perseroan baru memiliki status sebagai badan hukum jika Akta Pendirian perseroan tersebut telah disyahkan oleh Menteri Kehakiman. Ini berarti secara prinsipil pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggungjawab atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan. Para pemegang saham tersebut hanya bertanggutigjawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah diambil bagian olehnya.
Perseroan Terbatas mempunyai organ yang disebut organ perseroan, gunanya untuk menggerakkan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Organ perseroan terdiri dan tiga macam yaitu Rapat Umurn Pemegang Saham (RUPS), Direks dan Komisaris. 
RUPS merupakan organ yang memegang kekuasaaan tertinggi dalam perseroan, memegang segala wewenang tertinggi dalam perseroan serta memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada organ perseroan yang lainnya. Misalnya dalam Pasal 63 ayat (2) ditetapkan, RUPS berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan Komisaris. Di sini jelas kewenangan RUPS tersebut tidak mungkin dilimpahkan kepada organ-organ lainnya. Beberapa wewenang eksklusif RUPS yang ditetapkan dalam UUPT antara lain : 

a. Penetapan perubahan Anggaran Dasar (Pasal 14).
b. Penetapan Pengurangan Modal (Pasal 37).
c. Pemeriksaan, Persetujuan dan Pengesahan Laporan Tahunan (Pasal 60).
d. Penetapan Penggunaan Laba (Pasal 62).
e. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris (Pasal 80,91,92).
f. Penetapan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan pengambilalihan (Pasal 105).
g. Penetapan Pembubaran Perseroan (Pasal 105).

Adapun yang dimaksud dengan Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Organ direksi ini dipilih oleli RUPS dan karenanya harus pula bertanggungjawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham. 
Komisaris merupakan organ yang mempunyai tugas pengawasan dan memberi nasehat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut Komisaris juga dibatasi oleh anggaran dasar. 

B. Perumusan Masalah

Dirasakan peraturan kepailitan yang ada yaitu Faillssement tidak dapat mengatasi keluhan masyarakat kreditur untuk menagih utang debitur, Karena kebutuhan mendesak dan atas tekanan IMF, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 dengan tujuan agar dapat diupayakan penyelesaian utang-piutang antara kredilur dan debitur.

Karena dibuat dalam kebutuhan mendesak, maka UU tersebut sarat dengan kelemahan. Salah satu kelemahannya begitu mudahnya suatu perusahaan dipailitkan karena syarat-syarat yang diatur oleh UU tersebut. UU Kepailitan memberikan suatu cara agar debitur yang berada diambang pailit terhindar dari likuidasi yaitu dengan cara mereorganisasi perusahaannya yang dalam UU Kepailitan Indonesia disebut dengan PKPU. Di Amerika Serikat Reorganisasi Perusahaan Chapter 11 US . Bankruptcy Code, Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur reorganisasi perusahaan dalam kepailitan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan reorganisasi perusahaan dalam kepailitan di Indonesia, perbandingannya dengan pelaksanaan reorganisasi perusahaan dalam kepailitan di Amerika Serikat dari kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia dan di Amerika Serikat?Apakah standar dalam melakukan reorganisasi perusahaan dalam kepailitan ?

Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan yaitu :
a. Mengetahui peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur
reorganisasi perusahaan dalam kepailitan.
b. Mengetahui pelaksanaan reorganisasi perusahaan dalam kepailitan di
Indonesia dalam perbandingannya dengan pelaksanaan reorganisasi
perusahaan dalam kepailitan di Amerika Serikat. 
c. Mencari dan mengidentifikasi standar dalam melakukan reorganisasi
perusahaan dalam kepailitan dari kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia dan di Amerika Serikat.
2. Untuk memenuhi persyaratan akademis, yaitu penulisan tesis, dalam menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana USU.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Memberi masukan kepada instansi yang berwenang dalam rangka pembaharuan UU Kepailitan.
2. Sebagai bahan penelitian lanjutan yang diharapkan dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu hukum.
3. Memperdalam dan memperluas pengetahuan penulis.
E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, adalah fakta bahwa belum ada tesis yang membahas tentang Reorganisasi Perusahaan Dalam Kepailitan, Jadi penelitian ini dapat disebut "asli", jauh dari unsur “plagiat" yang bertentangan dengan azas-azas keilmuan : jujur, rasional, objekitif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

No comments:

Post a Comment