I. P E N D A H U L U A N
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai negara jajahannya. Bahkan hingga kini setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata) yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum civil Law, yaitu mengutamakan kodifikasi hukum dan Undang-undang/hukum tertulis sebagai sumber hukum utama untuk menjamin asas legalitas dan kepastian hukum.
Namun praktek seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum Civil Law di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya akademisi maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-negara yang menganut sistem Common Law seperti Inggris dan Amerika. Dari sini timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sistem hukum yang ada di dunia secara global guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan hukum nasional. Maupun manfaat eksternal yaitu dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara lain yang berbeda sistem hukumnya.
Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya sumber hukum Juriprudensi, yaitu putusan hakim (judge made law) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut sistem Civil Law sumber hukum utama adalah Undang-undang dan Hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya meskipun dalam perkara yang sama. Contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang diperbolehkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam kasus Joko S.Candra. Sedangkan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas menyatakan upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Putusan MA sebelumnya yang diikuti oleh Hakim sesudahnya sebagai stare decisis adalah putusan MA No.55/PK/PID/1996 dalam perkara Mochtar Pakpahan dan putusan MA No.3/PK/PID/2001 dalam perkara Ghandi Memorial School.
II. PERMASALAHAN :
Berdasarkan uraian latar belakang dalam pendahuluan diatas, maka permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah :
Apakah benar telah terjadi pergeseran dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari sistem hukum Civil Law menuju sistem common Law seperti yang diterapkan di Inggris?
III. PEMBAHASAN.
A. SEKILAS SISTEM PERADILAN PIDANA DI INGGRIS
Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Service (CPS). Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown prosecutor, Assistan branch CPS, Branch prosecutor (di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief Prosecutor (setingkat Kepala Kejaksaan tinggi).
Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
a. Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga system hukum Inggris disebut juga system anglo saxon.
b. Legislation atau statuta, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.
c. Case Law, atau judge made law: hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikui oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent.
Dalam system Common Law seperti di Inggris, adapt istiadat atau kebiasaan masyarakat (custom) yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas stare decisis atau asas binding force of precedents. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat.
Dalam system peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah menyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukumanan (vonis)nya.
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia (civil Law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.
B. SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI INDONESIA.
Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHAP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu :
1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.
2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan.
3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim.
4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga pemasyarakatan).
Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan Pidana terpadu.
Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakansumber hukum tertinggi. Karena disana (dalam Hukum acara Pidana) telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam susbsistem Peradilan Pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman, “PENGANTAR PERBANDINGAN SISTEM HUKUM”, penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2008.
Andi Hamzah, “Catatan tentang PERBANDINGAN HUKUM PIDANA”, Sinar Grafika, Jakarta 1991,
Barda Nawawi Arief,” PERBANDINGAN HUKUM PIDANA”, Rajawali Press, Jakarta 1990
M.Hatta, “SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU, (Dalam konsepsi dan implementasi) Kapita Selecta”,galang press, Yogjakarta 2008,
Parman Soeparman, “Pengaturan Hak Mengajukan upaya hukum PENINJAUAN KEMBALI dalam perkara Pidana bagi korban kejahatan”, penerbit Refika Aditama, Jakarta 2007,
Romli Atmasasmita,” Asas-asas PERBANDINGAN HUKUM PIDANA”, penerbit YLBHI Jakarta 1989.
No comments:
Post a Comment