Kampusku.Com: TREND KRIMINALISASI DALAM HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

Cari Makalah

Monday, January 4, 2010

TREND KRIMINALISASI DALAM HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

Oleh: Muhammad Zaki Saleh**

A. Pendahuluan
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam hal poligami misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat).
Seperti disebut dalam judul di atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim : Turki, Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia, dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan perbandingan yang lebih luas, penulis juga akan melengkapi tulisan ini dengan tinjauan terhadap kebijakan hukum mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).

B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum Keluarga Negara Muslim
Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini rincian sejumlah persoalan tersebut:
1. Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini.
Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus. Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun.
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.
2. Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3 tahun.
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.

3. Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan syara’
Tampaknya hanya Malaysia yang secara eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘, menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.

4. Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim yang lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka tampaknya mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi terhadap pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi kembali mantan istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menyelesaikan masa iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah pernah berhubungan biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh.
Srilanka memberlakukan hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak) berhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang dilarang syara‘ untuk dinikahi. Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun) yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk menikahinya.
Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi terhadap setiap wanita muslimah yang selama masa iddahnya mengikat tali pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin dalam suatu upacara perkawinan, dan setiap orang yang mendukung atau membantu terselenggaranya ikatan perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Para pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.
5. Pendaftaran dan pencatatan perkawinan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500.,- Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 – 6 bulan.
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974. Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.
Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan di sana. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a. Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.
b. Melanggar ketentuan Ps. 81:
- Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan;
- Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
- Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.

Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).

c. Petugas pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.
d. Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus
e. Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.
f. Setiap petugas pencatatan:
1) Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan;
2) Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya;
3) Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya;
4) Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya;
5) Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang terkait dengan pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58;
6) Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam UU ini.

dapat dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee.

6. Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300 dinar & maksimal 1000 dinar. Melakukan perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal 5 tahun.

7. Mas kawin dan biaya perkawinan
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum dalam masalah ini.
Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria. Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.

8. Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.

9. Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian
Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 – 6 bulan.
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus. Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir.
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada istri, dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi. Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun

10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya
Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar.

11. Masalah hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi.

12. Pelanggaran terhadap UU Hukum keluarga yang berlaku (diluar pasal-pasal yang sudah ditentukan sanksi hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga mayoritas negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa pasalnya, tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di luar pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya, setiap pelanggaran di luar pasal-pasal tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.

Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah catatan sebagai berikut:
a. Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar persoalan Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligami), menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara), dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b. Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si pelaku pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga dijatuhkan kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang terkait dengan pelanggaran.
c. Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kurungan; atau denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman tertinggi terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus perkawinan secara paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan penjara dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas pencatatan.
d. Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris wanita) dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum dipenuhi persyaratannya) sejauh ini menjadi negara yang paling sedikit meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka.

C. Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.
Adapun istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia) atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak) dan gamos (kawin). Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri. Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:
“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”

Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy, yang berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian) dan gamos (perkawinan). Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
a. Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.
b. Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.
Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan monogami sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.

D. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Perspektif Doktrin Hukum Islam Konvensional
Pembahasan mengenai kriminalisasi poligami dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional setidaknya memerlukan dua segi tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua, status hukum poligami. Segi yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat (pidana Islam), sementara segi yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan pandangan mazhab fikih. Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan dalam rangka memahami seberapa jauh langkah kriminalisasi poligami punya keterkaitan atau tidak dengan doktrin hukum konvensional.
Dalam kajian hukum jinayah, dilihat dari segi kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uq­b±t), fuqaha umumnya mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga bagian: pertama, jar³mah ¥ud­d; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t; ketiga, jar³mah ta‘z³r. Berikut ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
Kategori pertama, ¥ud­d (bentuk jamak dari kata ¥ad), adalah jenis hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait dengan hak Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan sebagai jar³mah ¥ud­d ada tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3) mengonsumsi minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7) pemberontakan.
Adapun kategori kedua, qi¡±¡-diyat, mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja 3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qi¡±s-diyat, secara variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat, terhalang dari hak waris, terhalang dari hak wasiat.
Kategori ketiga adalah pidana ta‘©³r, suatu tindak pidana berupa perbuatan maksiat atau jahat yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh syara‘ (non-¥ad dan non-kaff±rat), baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak hamba. Dengan kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥ud­d dan jar³mah qi¡±¡-diyat). Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul amri (pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun beragam bisa berupa pemukulan, penahanan (kurungan/pemenjaraan), teguran/peringatan, dan bentuk hukuman lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual. Malah sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis, homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini diletakkan dalam kerangka siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana yang dipandang lebih maslahat (tepat). Sedangkan, kalangan Malikiyah dan Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase dan bid’ah dalam kategori ta‘z³r yang dapat dijatuhi hukuman mati.
Adapun mengenai jenis tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman kurungan/penjara, dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman kurungan/penjara dapat dikenakan pada semua jar³mah ta‘©³r. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku pada semua jar³mah ta‘©³r. Menurut mereka hanya 8 (delapan) tindak pidana yang dapat dikenai hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1) percobaan pembunuhan; (2) pelarian diri oleh budak; (3) pengingkaran penunaian kewajiban; (4) pengakuan palsu atas kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5) keengganan melaksanakan kewajiban sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan; (7) pengakuan kepemilikan secara paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah (hak Allah) yang tak dapat diwakilkan.
Dalam hal dapat diberlakukan tidaknya hukuman denda, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama tidak membolehkannya dengan alasan hal itu sama dengan pengambilan harta secara zalim. Sedangkan Abu Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi‘i (salah satu qaul-nya), dan Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya, Khalifah Umar ibn Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn Abi Talib.
Sedangkan mengenai hukuman fisik (berupa pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’ ar-Rasyidin, meskipun dalam hal ketentuan dan batas maksimalnya terdapat perbedaan pendapat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa poligami, jika dilihat dari kategori dan bentuk hukum pidana Islam di atas, bukanlah termasuk tindak pidana kategori pertama (¥ud­d) dan juga tidak termasuk kategori kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya ada satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan dan dilihat dalam wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana peran politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori dan bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional, khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah poligami dapat dianggap perbuatan maksiat atau jahat sehingga dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya.
Mengenai masalah poligami, sepanjang penelusuran pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fikih pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat Alquran yang memuat persoalan poligami (S. an-Nisa: 3). Berbagai ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka. Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah.
Di dalam Alquran, surat an-Nisa: 3, dinyatakan:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Para mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Ada sejumlah riwayat mengenai asb±b an-nuz­l ayat ini, di antaranya riwayat :
Ab­ Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab­ Ya¥y± menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami, katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla tuqsi¯­…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali seorang anak yatim perempuan yang memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang melindunginya, ayat ini melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan tersebut hanya karena menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan menyakitinya, sehingga Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi. Allah (dalam kondisi seperti ini seolah-olah ingin, pen.) mengatakan: Aku tidak menghalalkannya bagimu karena itu tinggalkanlah (Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib dari Ab³ Us±mah, dari Hisy±m).
Setelah Allah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara tidak benar (an-Nisa : 2), bagian berikutnya Allah mengingatkan agar tidak berbuat aniaya terhadap diri (individu) anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi lain kamu merasa cukup percaya diri dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa yang kamu senangi sesuai keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan tersebut, kamu dapat menikahi mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan lebih, dalam waktu bersamaan. Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam kebutuhan dan persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta) apabila kamu mempunyai lebih dari seorang istri, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu (menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan mencukupkan satu orang istri) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu pada keadilan.
Sedangkan hadis yang sering dikemukakan antara lain adalah:
حدثنا هناد حدثنا عبدة عن سعيد بن أبي عروة , عن معمر, عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله عشرة نسوة في جاهلية , فأسلم معه. فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .

“Dari Ibn Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika masuk Islam memiliki 10 orang istri (yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka Nabi saw. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang di antara mereka sebagai istri.”

Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis. Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah satu sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri; pendapat lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.
Interpretasi juga lebih ditekankan kepada seruan berlaku adil terhadap para istri. Hal ini dimotivasi pesan historis ayat, sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuz­l di atas, yang berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim perempuan (obyek eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para suami) untuk berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat berlaku adil maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau dengan hamba sahaya perempuan miliknya. Tampaknya penafsiran dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual, di samping dukungan historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi setelahnya yang menunjukkan bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam pengertian lain, menurut penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai kekuatan hukum, sedangkan keharusan untuk berbuat adil kepada para istri, meskipun sangat penting, terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum Islam tradisional memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari sudut normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung pada kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
Sebaliknya kalangan modernis cenderung mengedepankan keharusan bersikap adil dan pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, firman Allah:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (S. an-Nis±’: 129)

mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentatif dan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905) persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal anak yatim dan larangan memanfaatkan harta mereka meskipun dengan perantaraan perkawinan. Ketika seseorang merasa khawatir (akan) mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal dinikahinya maka ia wajib tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk menikah dengan perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun apabila ia juga khawatir tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib baginya menikah dengan satu orang istri saja.
Adapun ungkapan “fa in khiftum all± ta‘dil­ fa w±¥idah” (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu terkait dengan alasan “©±lika adn± all± ta‘­l­” (Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim), yakni lebih dekat kepada tidak terjadi perbuatan dosa dan kezaliman. Hal ini memperkuat adanya syarat dan kewajiban agar berlaku adil. Sikap adil ini sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil yang dimaksud dalam firman Allah dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘­ an ta‘dil­ baina an-nis±’ wa lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal kecenderungan hati, yang jelas tak seorang pun mampu melakukannya.
Berdasarkan dua ayat di atas dapat dipahami bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anak-anaknya). Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.
Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah haram.
Dalam pada itu muridnya, Muhammad Rasyid Ri«±, menjelaskan bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ juga mengandung pesan agar berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok ini akan merusak tatanan hidup yang berujung pada kemurkaan Allah. Pemahaman ini terefleksi dari jalinan beberapa komponen dalam ayat, yakni ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)” dijawab dengan “maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi” yang selanjutnya diperkuat dengan “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Rasyid Ri«± menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami.
Rasyid Rida juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau sebaliknya; atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Alquran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi) yang dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.
Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.
Meskipun demikian Rasyid Rida juga memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan poligami ini tak jarang disalahgunakan sebagian kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban. Selain itu, pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan kondisi darurat yang bernuansa sosiologis.
Melengkapi penjelasannya di atas, Rasyid Rida sekali lagi menekankan bahwa poligami merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (sak³nah, mawaddah wa ra¥mah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur tersebut dan pasangan yang berorientasi kepuasan biologis semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah, mawaddah wa ra¥mah.
Pendapat dari sudut yang lain namun tetap senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908), ia membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu sepintas mengisyaratkan kebolehan poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang tahu persis tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.
Sementara Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952) berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada surat an-Nis±’ :3 tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul sementara pasangan suami-istri ini sangat menginginkan keturunan; kedua, suami memiliki libido seks yang sangat tinggi, sementara istri tidak sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki kekayaan yang mampu menopang segala kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat, kuantitas wanita lebih banyak dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam persoalan ini al-Maragi juga mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’ al-Maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas. Mengenai pengertian adil pada ayat 129 surat an-Nis±’, menurut al-Maragi yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan kemampuan manusia, seperti dalam hal memberi fasilitas sandang, pangan, dan tempat tinggal, sedangkan dalam hal cinta (kecenderungan hati) maka hal itu di luar kemampuan manusia.
Berdasarkan pendekatan fikih dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan doktrin “Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir modern di atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat. Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri Muslim untuk memberlakukan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik poligami di dalam Undang-Undang mereka.

E. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim Modern
Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan fikih konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar.
Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana.
Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977. Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.
Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983, poligami praktis dilarang. Hal yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.
Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri. 2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan.
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang. Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus. Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan berikut:
1. Turki
Secara geografis, Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923 ini terletak di kawasan Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat berbatasan dengan Laut Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan dengan wilayah Bulgaria. Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur Laut berbatasan dengan Georgia, di bagian timur berbatasan dengan Armenia, dan di bagian tenggara berbatasan dengan Iran dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah Turki meliputi 755.693 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara, sehingga luas keseluruhan Turki adalah 779.456 km2.
Berdasarkan sensus 21 Oktober 1990, populasi penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang menempati wilayah seluas 779, 456 km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sebagian besar beraliran Sunni, namun diperkirakan di sana juga terdapat sekitar 10 hingga 20 juta Muslim Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi, Ortodok Yunani, Ortodok Armenia, dan Kristen Assyria.
Sebagai sebuah negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara sekular pertama di Dunia Muslim. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekular berdasarkan aturan–aturan hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekular pada 1928, merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.
Sebelum lahirnya kebijakan legislasi undang-undang--yang dikodifikasi secara eklektikal, mazhab Hanafi merupakan mazhab utama yang mendasari kehidupan keberagamaan tradisional Turki hingga tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil Islam yang dikenal dengan Majallat al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi yang telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum keluarga dan hukum waris di dalamnya. Hukum mengenai perkawinan dan perceraian sebagian dibuat pada tahun 1915 dan dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi politik di negara tersebut menyebabkan kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus kekhalifahannya. Baik UU Sipil Islam 1876, berbagai hukum keluarga yang diberlakukan pada tahun 1915 dan tahun 1917, maupun hukum waris mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU Sipil baru yang komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926. Berdasarkan the Turkish Civil Code 1926, poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa seorang tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan yang pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan. Kemudian dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8 disebutkan:
“No person shall marry again unless he proves to the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared invalid or void or has been dissolved by divorce or the death of the other party.”
Selanjutnya dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A marriage shal be declared invalid where:
(a) at the date of the marriage one of parties is already married;”

Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).

Dari ketentuan kriminalisasi praktik poligami di atas tampak jelas bahwa hukum positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan deviasi yang signifikan dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada. Ketidaksahan poligami merupakan hal baru yang belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama klasik. Pembolehan poligami oleh Alquran dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim Turki. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki, bahwa legalisasi Alquran atas poligami merupakan “sebuah perbaikan besar terhadap praktik poligami tak terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara monogami.” Perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat direalisasikan.

2. Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.
Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.
Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:
1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.
Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan:
a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.

UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”
Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.
Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”. Jadi terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.

3. Irak
Irak merupakan negara yang menganut sistem hukum campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan Syi‘i, sebagai landasan hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah. Pada abad ke-17, Iraq yang merupakan tempat lahirnya mazhab Hanafi, masih berada di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850 sejumlah hukum sipil, pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman berdasarkan model Eropa (terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang diberlakukan pada tahun 1917 tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak akibat hilangnya pengaruh imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana. Pemerintahan Inggris sendiri tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan hukum dan adat setempat di samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh hukum Sunni dan Syi‘i dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun 1921, Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan penuh diraih pada 1932. Melalui sebuah kudeta militer pada tahun 1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik Irak.
Hukum yang berhubungan dengan poligami sebagaimana yang diberlakukan saat ini di Irak terdapat dalam the Iraqi Law of Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5, seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat: pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.
Setiap pria yang berpoligami namun tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau kedua-duanya (pasal 6). ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku bagi mereka yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah janda. Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi mereka yang menikah (berpoligami) tanpa ada izin dari pengadilan akan dijatuhi hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun.
Jika diperhatikan dari ketentuan pasal di atas, dapat dikatakan pada prinsipnya ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.
4. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian Semenanjung Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari 58 % etnis Melayu dimana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27 % etnis Cina, 8 % etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).
Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh kemerdekaannya.
Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.
Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan langkah ini, ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di negara-negara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara Melayu Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.
Namun demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang. Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985), Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18 tahun 1992.
Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:

Any man who, during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.

Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus.
Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan «ar±r syar‘i (bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda) istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.
Secara umum Hukum Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi bagian inheren dari alasan dasar ditetapkankannya pasal-pasal tersebut.
5. Indonesia
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama. Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenang-wenang.
Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-. Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.
Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.
Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”. Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.

F. Poligami dan Ketentuan Hukum di Negara-Negara Barat
Sebelum kedatangan Islam, poligami sudah dikenal di kalangan mayoritas bangsa-bangsa kuno. Ia dibolehkan dan telah dipraktikkan di Mesir, Persia, Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi (ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama Kristen, meskipun Perjanjian Baru mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal perkawinan, tidak ada secara eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup dan pembantu gereja. Para tokoh agama Kristen era awal tidak menemukan keperluan mengutuk poligami karena monogami adalah hal biasa di kalangan masyarakat sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan, tak satupun lembaga gereja di abad awal yang menyalahkan poligami, jadi tidak ada halangan mempraktikkannya. Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan poligami dengan nuansa penuh toleransi. Sebagai contoh, Saint Augustine sama sekali tidak pernah menyalahkan poligami, begitu pula Martin Luther, menyetujui perkawinan bigami yang dilakukan Philip Hesse. Hingga abad ke-16, sejumlah tokoh reformis Jerman menerima sahnya perkawinan yang kedua kali, bahkan perkawinan ketiga. Pada tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan seseorang boleh menikahi dua orang perempuan. Lebih belakangan, ditemukan doktrin sekte Brigham Young’s Mormon, yang mengabsahkan praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres Amerika Serikat mensahkan sebuah resolusi larangan praktik poligami. Poligami juga merupakan bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika dan Australia. Begitu pula dengan hukum perkawinan Hindu yang tidak membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki oleh seorang laki-laki.
Singkatnya, dalam masalah praktik poligami, orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang Yahudi ataupun Muslim. Namun, penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak pernah mengintrodusir monogami kepada dunia Barat, juga tidak pernah mengukuhkan perlunya mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa tradisi kuatnya monogami formal merupakan hal yang lazim di Yunani dan Roma. Selain itu, kenyataannya ajaran Kristen telah mengakar di kalangan masyarakat kelas atas tempo dulu, yang bukan saja tidak berpoligami, namun lebih jauh mereka mendukung monogami.
Gambaran historis di atas perlu dikemukakan untuk melihat rentang sejarah praktik poligami di masyarakat Dunia dan sejauhmana titik hubungnya dengan perkembangan di Dunia Barat era modern. Tak dipungkiri bahwa negara-negara Barat, era modern, sama sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan institusi keluarga mereka. Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum negara mereka yang secara umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang illegal atau malah dianggap sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama berlaku bagi komunitas lain yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan tunduk pada ketentuan UU di sana. Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim dan keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat perlahan menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam merespon kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba menyoroti, dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti Perancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Perancis, suatu perkawinan menurut tata cara Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila perkawinan tersebut mengambil tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya menjadi halangan untuk mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil Code Perancis secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perkawinan kedua kecuali jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai akibatnya, meskipun pasangan suami istri tersebut berasal dari negeri yang mengizinkan poligami, tidak ada lembaga poligami dapat secara legal diakui di Perancis. Perkawinan kedua sama sekali dinyatakan batal. Atas dasar inilah pengadilan beberapa kali menolak kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam ikatan perkawinan poligami. Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de Versailles (Pengadilan Banding) menolak jaminan keamanan sosial bagi istri kedua dari suaminya yang muslim dan pada tahun 1988 Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga menolak pemberian hak tunjangan cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa dia istri kedua dan bahwa poligami dianggap bertentangan dengan tatanan (ketertiban) publik Perancis.
Namun demikian, jika upacara secara Islami itu diadakan di negeri asal pasangan suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation berulang kali menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan publik Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga yang sama dinyatakan sama sekali tidak sah jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Apabila istri pertama telah menerima fasilitas keamanan sosial, maka istri kedua tidak dapat menuntutnya juga, sekalipun istri pertama tidak lama hidup di Perancis. Oleh karena itu, para suami muslim dipaksa untuk membayar nafkah anak meskipun anak tersebut berasal dari buah perkawinan secara agama bukan melalui upacara sipil.
Hingga tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami dilarang di Perancis: Pemerintah Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi para istri dan anak-anak dari para suami yang telah lebih dahulu menetap di Perancis dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam kasus Montcho pada tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil d’Etat untuk pertama kalinya memberikan status kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari seorang laki-laki Aljazair, suatu pemberian signifikan bagi hak penyatuan kembali keluarga. Pengadilan beralasan bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas keamanan sosial, poligami adalah sesuatu yang berbeda, tetapi meskipun begitu format perkawinan sah. Yang jelas, pemerintah Perancis bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah Perancis. Menurut UU baru yang disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan poligami tidak lagi memberi hak suami untuk membawa istri keduanya dan anak-anak mereka ke Perancis. Anak-anak hasil perkawinan poligami yang tinggal di luar negeri tanpa ayahnya hanya dapat menghubungi ayahnya yang berada di Perancis di saat ibu mereka yang berada di negeri asal telah meninggal dunia. UU 24 Agustus 1993 Pasal 30 selanjutnya menyatakan:
“Ketika seorang warga asing yang berpoligami menetap di wilayah Perancis bersama istri pertamanya, kepentingan/hak penyatuan keluarga kembali tidak dapat diberikan kepada istrinya yang lain. Kecuali jika istri pertama tersebut meninggal dunia atau kehilangan hak sebagai orang tua, anak-anaknya tidak mendapat hak dari penyatuan kembali keluarga yang lain.”

UU ini dikritik oleh banyak organisasi imigran karena dinilai memperlakukan wanita muslim secara tidak adil yang, berhadapan dengan kemustahilan secara legal hidup bersama suami mereka, sering masuk ke negara tersebut secara illegal dan kemudian ditempatkan pada posisi yang mudah diserang/kritik.
Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus perceraian pasangan Syria yang perkawinannya dilangsungkan di Syria adalah didasarkan pada hukum keluarga Islam atau Syria, termasuk tuntutan tunjangan bagi mantan istri pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam kasus tuntutan nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak tertentu.
Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka, sebagaimana diatur oleh § 1306 BGB. Oleh karena itu, tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak.
Adapun mengenai hak menyatukan keluarga kembali (reunifikasi), OVG Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa seorang wanita Muslim Yordania tidak berhak berkumpul dengan suami dan istri pertama di Jerman. Dalam kasus yang sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa para istri (poligami) tidak punya hak untuk berkumpul dengan suaminya di Jerman, sekalipun suatu ketika mereka berada (tinggal) di negeri itu dengan suami mereka, penuntutan tidak bisa diajukan karena poligami tidak dianggap sebagai perbuatan melawan tata aturan publik Jerman.
Berbeda dengan kedua negara di atas, Inggris cenderung memberlakukan kebijakan yang lebih tegas. Dari potret historis, dapat dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris yang mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai perbuatan kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari hukum Skotlandia, yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai sebuah perbuatan kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu, penyitaan harta harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU Inggris 1604, yang menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di kemudian hari, ditegaskan bahwa siapa saja yang melangsungkan perkawinan dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara suami atau istri pertamanya masing hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan pidana perkawinan.
Sedangkan UU Inggris 1861, yang berlaku sekarang, hanya membebaskan perkawinan kedua dari hukuman jika salah satu pasangan (suami/istri) raib selama 7 tahun berturut-turut, dan pasangan yang menikah lagi tidak tahu bahwa suami atau istrinya ternyata masih hidup pada saat itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menurut UU dapat dijatuhi hukuman maksimal 7 tahun dan minimal 3 tahun atau kurungan tidak lebih dari 2 tahun. Bigami merupakan tindakan kriminal menurut UU, jika dilakukan oleh orang Inggris, maka kapanpun dapat diambil tindakan.
Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum Inggris, boleh jadi turut dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika Serikat memberlakukan larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu pasangan dinyatakan hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak diketahui apakah ia masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau terjadi perceraian, atau penghapusan/pembatalan oleh pengadilan [menyangkut] perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelakunya adalah berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara tidak kurang dari 5 tahun.
Beberapa kitab UU dari sejumlah negara (bagian) Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat atas, dan dengan peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum Inggris 1604, dan mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara bagian disebut poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh hukum Virginia dan hukum North Carolina, pelaku bigami dijatuhi hukuman mati. Sekarang hukuman poligami di Virginia adalah dipenjara maksimal 8 tahun dan minimal 3 tahun. Sedangkan di North Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di New York hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan perkawinan yang kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang raib dari pasangan yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada waktu itu masih hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian (kecuali jika untuk menggagalkan satu pihak untuk kawin kembali) mendapat izin pengadilan, atau pembatalan perkawinan sebelumnya, atau hukuman penjara terhadap suami atau istri juga dapat membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu, tidak membatalkan perkawinan sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau istri yang telah dinyatakan meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan kedua dapat dihukumkan batal. Tidak ada hukum atas sangsi bagi bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam waktu yang sama. Menurut hukum New York, perkawinan yang terdahulu berhenti mengikat hingga salah satu dari 3 pihak pada dua perkawinan memperoleh suatu keputusan hukum yang menyatakan perkawinan kedua tidak berlaku lagi.

G. Analisa Komparatif
Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian pula Tunisia mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab, baik mazhab mayoritas di kedua negara tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab lainnya paling tidak dalam masalah poligami telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
UU Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi poligami tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal sekaligus.
Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia, Irak, dan Malaysia malah menetapkan kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
Turki dan Tunisia merupakan pengusung terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai hal yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan. Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak, maupun Malaysia.
Secara diagonal, Tunisia tampak telah beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap poligami terhadap janda. Diikuti Indonesia, meskipun UU perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan, sehingga Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya adalah Tunisia, kemudian Turki, Malaysia, Irak, dan terakhir Indonesia.
Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal. Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik Perancis maupun Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.
Dalam perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu tindak kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak merepresentasikan hal tersebut.

H. Penutup
Masuknya komponen kriminalisasi dalam masalah poligami menjadi bagian inheren dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri Muslim modern. Ia menjadi bagian dari implementasi semangat dasar Hukum Keluarga negara-negara Muslim modern yakni melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan. Pengaruh pemikiran yang digagas dan diprakarsai sejumlah tokoh cendikiawan Muslim modern dalam mereinterpretasi sumber ajaran/nas menjadi sisi lain bagaimana negara dapat memberlakukan suatu ketentuan keluar dari konsepsi khazanah klasik. Kolaborasi antara ijtihad yang mengusung prinsip maslahat dan siyasah syariah menjadi trend penting dalam pembangunan dan penerapan Hukum Islam di negeri Muslim modern.
Disadari bahwa kajian ini masih berada dalam lapisan apa yang digariskan dalam Undang-Undang di sejumlah negeri Muslim modern. Seberapa jauh UU tersebut berlaku efektif di lapangan dan bagaimana sesungguhnya yang terlaksana di masyarakat belum dapat terjawab oleh kajian ini. Memperhatikan kekurangan tersebut, studi tersendiri dan tajam otomatis menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku:

‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±n­n al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972.
______________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
Mallat, Chibli, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London, 1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV, Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯­b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡­l Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996.
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New York, 1996 & 2001.
a¯-°ab±r³, Mu¥ammad Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
al-W±¥id³, al-W±lib³, Asb±b an-Nuz­l, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996.
Yeshua, Ilan (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
az-Zajj±j, Ma‘±n³ al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut, 1988.
az-Zamakhsyar³, al-Kasysy±f ‘an Haq±iq Gaw±mi« at-tanz³l wa ‘Aun al-Aq±w³l f³ Wuj­h at-Ta’w³l (Tafsir al-Kasysy±f), juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.
az-Zuhail³, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII, D±r al-Fikr, Damaskus, 1997.


Data internet:

Iraq, Republic of
http://www.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm

Charles W. Sloane, “Bigamy (in Civil Jurisprudence)”, dalam Catholic Encyclopedia. http://www.newadvent.org/cathen/12564a.htm

Pascale Fournier, “The Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States” dalam Canadian Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004.
pfournie@law.harvard.edu http://www.ccmw.com/Position%20Papers/Pascale%20Paper.doc.

No comments:

Post a Comment