I. PENDAHULUAN
Pada tanggal 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi yang dikenal dengan sebutan “United Nations Convention Against Corruption”. Setahun kemudian atau tepatnya tanggal 9 Desember 2004 dicanangkan Hari Pemberantasan Korupsi sedunia. Bertepatan dengan momentum itu Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Dalam realisasinya Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi tersebut diharapkan adanya partisipasi aktif dari semua pihak, tidak hanya dari para penyelenggara negara maupun elit politik saja tetapi juga dari segenap lapisan masyarakat. Kontrol masyarakat dalam intensifikasi pencegahan korupsi menjadi sangat penting, antara lain dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap beberapa kasus korupsi yang tidak mengenal batas negara (transnasional), seperti halnya praktek kejahatan pencucian uang (money laundering).
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi kontrol masyarakat (social control) dilakukan melalui media massa, baik melalui media cetak, media elektronik maupun “interpersonal media”.
II. MASALAH YANG DIHADAPI
Belum intensifnya kontrol masyarakat terhadap pencegahan korupsi, antara lain adalah :
1. Belum konkritnya wacana keikutsertaan masyarakat (social participation) di dalam proses pencegahan korupsi.
2. Kurangnya sosialisasi tentang mekanisme peran serta masyarakat dalam mencegah korupsi.
3. Proses pelaporan pengaduan masyarakat masih mengalami hambatan.
4. Kurangnya penyebarluasan motivasi anti korupsi.
5. Kurangnya intensifikasi untuk melakukan kerjasama antara organisasi profesi dengan instansi pemberantasan korupsi.
6. Komunitas-komunitas anti korupsi relatif masih belum terkoordinasikan dengan baik.
Dari enam penyebab tersebut pada dasarnya adalah bertitik tolak pada masalah pentingnya partisipasi masyarakat (social participation) yang pentahapannya sebagai berikut :
1. Social Understanding (Pengertian Masyarakat)
Memberikan pengertian-pengertian terhadap masalah perlunya pencegahan korupsi, baik dilihat dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan dari segi kelembagaan (institusi) maupun dari segi operasionalnya.
2. Social Confidence (Kepercayaan Masyarakat)
Setelah memahami pengertian terhadap ruang lingkup serta arti pencegahan korupsi, maka masyarakat akan semakin yakin dan percaya bahwa upaya pencegahan korupsi mempunyai arti dan nilai yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup bangsa ini.
3. Social Responsibility (Tanggung Jawab Masyarakat)
Tahap tanggung jawab sosial diperoleh setelah melalui tahap “social understanding” dan “social confidence”.
Tahap ini menekankan bahwa masalah pencegahan korupsi tidak hanya merupakan tanggung jawab dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga resmi seperti halnya KPK saja, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
4. Social Control (Kontrol Masyarakat)
Pada tahap keempat inilah control masyarakat (social control) mutlak diperlukan. Tidak semua kebijakan tentang pencegahan korupsi bisa berjalan dengan sempurna. Sikap keterbukaan dan toleransi merupakan prasyarat untuk suksesnya penerapan kontrol sosial, antara lain melalui pers dan media massa pada umumnya.
5. Social Participation (Partisipasi Masyarakat)
Apabila empat tahap teori keikutsertaan masyarakat tersebut sudah secara optimal diterapkan, maka terwujudnya “social participation” hanyalah soal waktu. Tetapi yang jelas masalah partisipasi masyarakat tidak bisa diwujudkan dengan “tembak langsung” tanpa melalui lima tahap sebagaimana disebutkan di atas.
III. IMPLEMENTASI GERAKAN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI
Pernyataan perlunya menindak tegas dan menghukum para pelaku korupsi sudah berulang kali dilakukan dari setiap periode kepemimpinan di tanah air kita. Upaya pemberantasan korupsi melalui pendekatan kelembagaan (institusional) dengan membentuk beberapa tim atau komisi pemberantasan korupsi pun sudah pula dilakukan. Demikian pula tak kalah gencarnya kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial maupun lembaga swadaya masyarakat telah membangun berbagai upaya pencegahan korupsi. Transparansi Internasional Indonesia (TII) misalnya telah membuat Modul Pakta Integritas, Modul Prinsip Usaha Tanpa Suap, Modul Indek Persepsi Korupsi (IPK) serta Modul Transparansi dan Akuntabilitas Publik.
Demikian pula Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) tidak ketinggalan membuat Modul Good Corporate Governance. Daftar modul yang dibuat oleh berbagai elemen masyarakat masih dapat dibuat lebih panjang lagi, seperti Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) dan Modul Kampanye Nasional Anti Suap.
Pertanyaannya adalah mengapa sudah sekian lama kita “berperang” melawan korupsi dengan berbagai cara, termasuk analisis dari para pakar dan berbagai persidangan pengadilan korupsi diselenggarakan, tetap saja tindak pidana korupsi bertahan dan merajalela, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
Berdasarkan survey yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia tahun 2005 menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se Asia. Pemeringkatan tersebut dilakukan PERC berdasarkan survey pada bulan Januari dan Februari 2005 terhadap 900 expatriat di Asia sebagai responden dengan skala penilaian nol sampai 10. Semakin mendekati angka nol, maka negara tersebut semakin bersih dari korupsi. Singapura sebagai negara terbersih dengan nilai 0,65, diikuti Jepang dengan nilai 3,46 dan Hongkong dengan nilai 3,50. Sementara negara-negara yang dinilai memiliki tingkat korupsi tinggi adalah Taiwan dengan nilai 6,15, Korea Selatan 6,50, dan Malaysia 6,80. Kemudian Thailand dengan nilai 7,20, China 7,68, India 8,63, Vietnam 8,65 dan Filipina 8,80. Sementara diurutan teratas sebagai negara terkorup adalah Indonesia dengan nilai 9,10.
Banyak negara mempunyai sistem dan cara untuk memberikan motivasi pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara mereka masing-masing dan disebarluaskan melalui media massa. Di China, Perdana Menteri Zhu Rongji sewaktu ucapkan sumpah pada bulan Maret tahun 1998 mengatakan : “untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya bila saya berbuat korupsi”. Ketegasan hukum benar-benar dilakukan saat mantan Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Changqing dijatuhi hukuman mati pada bulan Maret 2000. Hu dituduh menerima suap lebih dari US $ 660.000 atau sekitar Rp. 6 milyar. Sejak tahun 1980-an, ratusan ribu kasus korupsi di China di bawa ke pangadilan. Pada tanggal 16 Januari 2002 Deputi Wali Kota Leshan, Li Yushu dijatuhi hukuman mati karena terbukti menerima suap US $ 1 juta, dua mobil mewah dan sebuah jam tangan Rolex. Kerasnya sangsi bagi para pelaku tindak pidana korupsi di China dilaksanakan pada periode pemerintahan Presiden Jiang Zemin.
Di Korea Selatan, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi diterapkan melalui sebuah program yang lebih lunak, disebut Program Anti Korupsi Korea (PAKK) pada tahun 1999. Di bawah program ini dikeluarkan Undang-undang Anti Korupsi dan Komisi Kepresidenan Anti Korupsi yang beranggotakan warga sipil yang melakukan evaluasi terhadap undang-undang atau peraturan pencegahan tindak korupsi. Komisi tersebut dikenal dengan nama Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC). Di bawah program ini diterapkan sistem wajib lapor daftar asset kekayaan para pejabat publik sehingga mencegah tindak penyuapan. Salah satu hal yang menarik mereka juga memiliki sistem OPEN (On-line Procedures Enhancement for Civil Application) melalui sarana internet. Sistem internet ini digunakan untuk memproses aplikasi sipil. Warga yang mengajukan dapat memperoleh konfirmasi bagaimana aplikasi mereka ditangani dan mereka dapat mengajukan pertanyaan sekiranya ada masalah. Mengingat sistem ini dioperasikan 24 jam sehari, transparansi administrasi dapat ditingkatkan dengan cara mencegah birokrat menunda aplikasi dan memperlakukannya secara adil.
Dalam tubuh Kejaksaan Agung-nya di Korea Selatan terdapat lembaga Special Investigatory Agencies. Lembaga ini antara lain telah menjaring dua mantan Presiden, tiga putera Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung dan beberapa konglomerat. Lembaga ini berada pada The Public Prosecutor’s Office law of Korea, dimana anggotanya tidak dapat dipecat atau dihentikan dalam menjalankan tugas pendidikannya yang dijamin melalui konstitusi. Hanya National Assembly (semacam DPR) yang berwenang memeriksa apabila terjadi dugaan penyimpangan anggota dari Special Investigatory Agencies.
Di Singapura, pemberantasan korupsi dilakukan melalui Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) tahun 1952, atas inisiatif Perdana Menteri pertama Lee Kuan Yew. CPIB memiliki wewenang untuk meminta penuntut umum mengeluarkan ijin pada pejabat senior guna melakukan investigasi atas rekening-rekening bank, saham, pembelian atau biaya dan juga safe deposit box manapun serta mewajibkan setiap orang untuk menjelaskan atau memberikan dokumen yang diminta.
IV. MALU KARENA KORUPSI
Sejumlah negara memiliki solusi untuk memberantas korupsi. Bermacam lembaga telah didirikan dan sebagai kiat untuk mendukungnya dibuat mekanisme yang dianggap tepat untuk mencegah dan memberantas korupsi. Namun semua itu berujung pada integritas dan keamanan politik dari penyelenggara negara untuk merealisasikannya. Jika keamanan (political will) tidak ada, maka seribu lembagapun didirikan tidak akan mengubah apapun. Sebelum mengikutsertakan masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi, maka yang paling baik adalah dimulai dari diri kita sendiri. Kita harus berjiwa ksatria dan menjunjung sportivitas yang tinggi untuk tidak membohongi diri sendiri. Budaya malu perlu disebarluaskan. Di Indonesia dilakukan penayangan melalui siaran televisi bagi terdakwa, terhukum dan atau pencarian (“wanted””) bagi mereka yang melarikan diri di dalam maupun di luar negeri. Tujuannya antara lain mereka akan mendapatkan sanksi sosial. Mereka telah dihukum oleh opini publik, sebelum secara tuntas menyelesaikan kasusnya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Memang masalah etika didunia pers dan media massa pada umumnya sering jadi masalah karena kitapun wajib mendukung asas praduga tak bersalah (presumption of justice). Apakah dengan cara serupa itu akan dapat menimbulkan budaya malu bagi tersangka, terdakwa, terpidana ataupun mereka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)?. Ternyata tidak semuanya sesuai dengan harapan kita. Bahkan sebaliknya mereka merasa bangga dengan wajah berseri ketika diliput oleh media televisi.
Berbeda dengan budaya malu yang sering terjadi di Jepang ataupun negara-negara lainnya. Budaya malu, itulah yang perlu dibangun sehingga seseorang enggan melakukan korupsi.
Di Korea Selatan, mantan presiden Daewoo Construction Co melompat ke sungai Han, tidak lama setelah Presiden Roh Moo-hyun menuduhnya memberikan suap dalam pernyataan di televisi.
Sebelum itu eksekutif puncak Hyundai Group juga bunuh diri dengan melompat dari apartemen karena menghadapi penyelidikan soal dugaan praktek suap di Korea Utara yang melibatkan mantan Presiden Kim Dae-yung.
Dugaan korupsi juga dituduhkan kepada Presiden Hyundai Motor Chung Mong-koo, karena menyuap sejumlah politisi dalam keperluan melobi dengan menyalahgunakan dana perusahaan sebesar 5 milyar Won atau US$ 5 juta (sekitar Rp. 45 milyar).
Pengajuan Chung juga disusul dengan permintaan keterangan terhadap Chung Eui-Suin, anak laki-laki tunggalnya yang memimpin Kia Motors, afiliasi Hyundai Motor. Perkembangan selanjutnya Hyundai Motor menyampaikan permohonan maaf secara terbuka pada publik dan keluarga Chung berjanji akan menyumbangkan sebagai amal 60% kepemilikan senilai satu milyar dollar di Glovis, sebuah unit Hyundai yang menjadi pusat skandal tersebut.
V. KORUPSI SEBAGAI TINDAK KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRA ORDINARY CRIMES)
Kontrol masyarakat dalam intensifikasi pencegahan korupsi perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Bahwa korupsi saat ini harus dilihat sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes) yang pada gilirannya dapat merendahkan martabat bangsa di forum internasional.
2. Langkah tegas sangat diperlukan untuk menerapkan “comprehensive extraordinary measures” yang memadai (proporsional).
3. Hindarkan adanya anggapan bahwa korupsi di Indonesia tidak hanya sekedar “white collar crime” , tetapi sudah berkembang dan menjurus sebagai “corruption as state crime” dengan karakteristik sebagai berikut :
3.1. Corruption as means to organizational goal
Melibatkan kerjasama antara pejabat negara dan pengusaha untuk tujuan-tujuan pembiayaan kepentingan yang berkaitan dengan kekuasaan.
3.2. Tolerated Corruption
Mengandung tindakan yang cenderung memaafkan atau bahkan secara diam-diam cenderung mendorong terjadinya korupsi.
3.3. Kleptocracy
Melalui kebijakan-kebijakan penguasa yang dilakukan secara sistematis untuk memaksimalkan keuntungan personal penguasa dan organisasional.
3.4. Political Corruption
Dilakukan oleh para elit politik atau pejabat terpilih yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap kepentingan publik untuk meningkatkan kekuasaan atau keuntungan dan kepentingan dirinya.
Beberapa indikator berkaitan dengan jenis dan modus korupsi di Indonesia :
* Pengadaan barang dan jasa
- Mark up nilai proyek;
- Kolusi dengan kontraktor.
* Penghapusan inventaris dan asset negara (tanah)
- mengklaim sebagai milik sendiri;
- menjualnya.
* Pungli
- memungut biaya siluman pada penerimaan pegawai dan semacamnya, pembayaran gaji, kenaikan pangkat dan semacamnya, pengurusan berbagai keperluan administrasi.
* Pemotongan dana sosial berbagai keperluan
* Bantuan fiktif
- membuat surat permohonan bantuan fiktif seolah-olah ada permintaan bantuan kepada pemerintah dari pihak luar.
* Penyelewengan dana proyek
- mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi;
- Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan pihak yang berwajib.
* Proyek fiktif
- dana dialokasikan dalam laporan resmi tetapi secara fisik tidak pernah ada.
* Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
* Manipulasi proyek fisik
- memungut komisi tidak resmi dari kontraktor;
- mark up nilai proyek.
* Daftar gaji atau honor fiktif
* Manipulasi dana pemeliharaan atau renovasi
* Pemotongan dana bantuan
* Pembayaran fiktif uang lauk pauk bagi PNS atau prajurit
* Pungli di berbagai perijinan
- Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin
* Pungli perizinan di sektor kependudukan dan imigrasi
- kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin
* Manipulasi proyek pengembangan ekonomi rakyat
- penyerahan dalam bentuk uang
* Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan
- Pegawai yang mengurusnya tidak memberikan jumlah ganti rugi yang seharusnya.
Citra tindak pidana korupsi di Forum Internasional :
• Menurunkan kepercayaan investor dan Foreign Direct Invesment.
• Meluas (widespread) di segala sektor pemerintahan (eksekutif, legislatif dan judikatif), baik di pusat maupun di daerah serta terjadi pula di sektor swasta (private sector).
• Bersifat transnasional (bribery of foreign public officials and officials of public international organizations), (commercial corruptions) bukan lagi masalah negara per negara.
• Merugikan keuangan negara dalam jumlah yang signifikan.
• Merusak moral bangsa.
• Mengkhianati agenda reformasi (proses demokratisasi).
• Mengganggu stabilitas dan keamanan negara.
• Mencederai keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan/ sustainable development.
• Menodai supremasi hukum (jeopardizing the rule of law).
• Semakin berbahaya karena bersinergi negatif dengan kejahatan ekonomi lain, seperti money laundering.
• Bersifat terorganisasi (organized crime).
• Melanggar HAM, karena terjadi di sektor-sektor pembangunan strategis yang mencederai kesejahteraan rakyat kecil.
• Dilakukan dalam segala cuaca, termasuk saat negara dalam keadaan krisis dan bencana alam.
4. Pencegahan Korupsi dalam Analisis SWOT.
4.1. Strength (kekuatan)
Secara struktural dan substansi telah terjadi penyempurnaan, antara lain dalam bentuk keberadaan KPK dan pelbagai pembaharuan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pula adanya political will pemerintah untuk memberantas KKN dan keberadaan RAN (Rencana Aksi Nasional)
4.2. Weakness (kelemahan)
Pembentukan semangat profesionalisme (expertise, social responsibility and corporateness) SDM lemah, reformasi birokrasi belum efektif, masih terdapat arogansi sektoral yang melemahkan koordinasi antar lembaga penegak hukum, kemiskinan moral dan intelektual yang dapat mengakibatkan disiplin aparat yang lemah, money politics, dan sebagainya.
4.3. Opportunity (peluang)
Adanya United Nation Convention Against Corruption (2003), menjanjikan kerjasama internasional yang lebih baik dan menguntungkan negara-negara berkembang.
4.4. Threat (kendala)
Antara lain masih adanya kekuatan yang tidak reformis dan cenderung bermental KKN, kesejahteraan pegawai yang relatif masih rendah (underpaid), masalah kinerja dan kepemimpinan penegak hukum , kekuasaan, kehakiman, dan sebagainya.
5. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pencegahan Korupsi
Globalisasi teknologi informasi mengantarkan hadirnya masyarakat informasi sebagai kelanjutan dari strata masyarakat agraris dan masyarakat industri. Globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informatika disamping membawa kemudahan dan kemaslahatan umat manusia, juga menimbulkan efek sampingan berupa kejahatan, baik yang bersifat individual maupun transnasional, termasuk tindak pidana korupsi.
Korupsi tidak saja ada di lingkungan pemerintahan, tetapi juga di organisasi bisnis, organisasi sosial nirlaba, bahkan menghinggapi beberapa akademisi yang sebelumnya terkenal komitmennya dalam memerangi tindak kriminal, termasuk korupsi.
• Electronic Government (e-govt)
Kehadiran teknologi informasi meyakini suatu hipotesa bahwa korupsi struktural yang terjadi di lingkungan pemerintahan dapat dicegah dengan pemanfaatan teknologi telekomunikasi, media dan informatika (telematika) dalam bentuk electronic government atau e-govt. E-govt yang di dukung oleh situs internet (website) dengan aplikasi telematika secara menyeluruh. Sekarang ini beberapa pemerintah daerah sudah membuka website yang berkaitan dengan kinerja mereka sehingga masyarakat bisa mengetahui apa saja yang dilakukan oleh pemerintahan terkait. Esensi yang terpenting dari e-govt adalah memanfaatkan telematika untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang dapat meliputi tercapainya tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien dan transparan, baik dalam pengelolaan internal maupun dalam memberikan pelayanan kepada publik.
• E-Procurement
Salah satu isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kerapkali terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh instansi pemerintah dari pusat dan daerah. Beberapa kasus terdapat juga di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Proses pengadaan ini walaupun terdapat isu KKN tetapi sangat sulit untuk dibuktikan karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini sangat rapih.
Banyak proses pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan cara tersembunyi atau seolah-olah melalui proses yang transparan walaupun sebenarnya terdapat indikasi KKN. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut diperlukan proses yang terbuka melalui e-procurement atau proses pengadaan barang dan jasa secara “on-line” melalui internet yang akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat. Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa mengatur pembiayaannya yang berasal dari APBN dan APBD. Hingga saat ini sudah ada beberapa instansi pemerintah dan BUMN di Indonesia yang melakukan pengadaan barang dan jasa melalui e-procurement, antara lain Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Kota Surabaya, PT. Garuda Indonesia, PT. Pertamina dan PT. PLN. Kementerian Negara BUMN kini tengah mempersiapkan prosedur, perangkat lunak dan perangkat keras pelaksanaan e-procurement di seluruh BUMN yang ada.
VI. PENUTUP
B. KESIMPULAN
1. Agar lebih optimal dapat melaksanakan program kontrol masyarakat yang dikaitkan dengan pencegahan korupsi, ada 5 tahap keikutsertaan masyarakat (social participation), yaitu :
1.1. Social Understanding (Pengertian Masyarakat);
1.2. Social Confidence (Kepercayaan Masyarakat);
1.3. Social Responsibility (Tanggung Jawab Masyarakat);
1.4. Social Control (Kontrol Masyarakat);
1.5. Social Participation (Partisipasi Masyarakat).
2. Minimal ada dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi, yaitu :
2.1. Pendekatan Preventif
Berorientasi pada penyempurnaan sistem perundang-undangan, pembinaan terhadap aparatur hukum dan penyuluhan kepada masyarakat umum.
2.2. Pendekatan Represif
Karena korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) maka diperlukan tindakan terapi kejut dengan hukuman terberat dan dengan memberikan sanksi sosial kepada pelaku tindak pidana korupsi.
3. Tingkat korupsi di Indonesia yang tinggi menciptakan resiko ekonomi makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan serta merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat yang memiliki fungsi kontrol kepada pemerintah.
4. Ada dua faktor yang diperhatikan para investor (seperti Foreign Direct Investment – FDI) untuk menanam modalnya di Indonesia, yaitu :
4.1. Faktor Ekonomi
Opportunity yang berkaitan dengan keunggulan komparatif, menekan biaya dan pasar yang potensiil untuk meningkatkan pendapatan.
4.2. Faktor Non-ekonomi
Kondisi makro suatu negara yang berkaitan dengan kondisi politik, keamanan, sistem hukum, sistem perbankan dan political will suatu negara untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku pidana korupsi.
5. Kontrol masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi disamping dilakukan melalui media cetak, media elektronik dan interpersonal media, maka teknologi telekomunikasi, media dan informatika (telematika) merupakan alternatif terbaik untuk diaplikasikan dalam Gerakan Nasional Anti Korupsi.
C. SARAN
1. Gerakan Nasional Anti Korupsi yang melibatkan para penyelenggara negara dan seluruh masyarakat Indonesia memerlukan pemahaman yang lebih intensif baik melalui penyuluhan langsung maupun publikasi tentang masalah bahaya korupsi, baik dari segi yuridis, kelembagaan maupun operasional.
2. Masalah pencegahan korupsi perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi serta lembaga pendidikan lainnya dengan penyajian substansi yang disesuaikan dengan tingkatan kurikulum peserta didik.
3. Agar kontrol masyarakat dapat lebih intensif lagi terhadap upaya Pencegahan Korupsi perlu penyelenggaraan program siaran tetap melalui radio dan televisi, disamping pemuatan rubrik atau artikel tetap melalui media cetak.
4. Program penyuluhan mengenai pencegahan korupsi perlu dilakukan juga melalui paket “interpersonal media”, komunikasi langsung (face to face communication) dengan dukungan dari media tradisional seperti pertunjukan wayang, ketoprak dan sebagainya.
Jakarta, 5 Maret 2008
• Penulis adalah Doktor dalam bidang Ilmu Hukum,
Pengamat kasus kejahatan siber (cyber crime),
Mantan Dirjen RTF,
Mantan Dirjen PPG.
No comments:
Post a Comment