Kampusku.Com: Pengaturan Pengendalian Dampak Lingkungan

Cari Makalah

Monday, January 4, 2010

Pengaturan Pengendalian Dampak Lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Permasalahan.
Salah satu tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Untuk itu sejak awal perencana kegiatan sudah harus memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kondisi yang merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan.
Setiap kegiatan pembangunan, dimanapun dan kapanpun, pasti akan menimbulkan dampak. Dampak disini dapat bernilai positif yang berarti memberi manfaat bagi kehidupan manusia, dan dapat berarti negatif yaitu timbulnya resiko yang merugikan masyarakat. Dampak positif pembangunan sangatlah banyak, diantaranya adalah:
1. Meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara merata.
2. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara bertahap sehingga terjadi perubahan struktur ekonomi yang lebih baik, maju, sehat, dan seimbang.
3. Meningkatnya kemakmuran dan penguasaan teknologi yang akan menumbuhkembangkan kemampuan dunia usaha nasional.

Sedangkan dampak negatif akibat pembangunan terhadap lingkungan, yang sangat menonjol, adalah masalah pencemaran lingkungan. Pengertian pencemaran lingkungan menurut Undang-Undang Lingkuingan Hidup (Pasal 1 butir 12) adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penggulangan pencemaran agar pelaksaan pembangunan dapt mencapai sasaran yang telah digariskan .
Dalam kaitan ini, pembangunan bidang lingkungan hidup hanya dapat berhasil apabila administrasi pemerintah berfungsi secara efektif dan terapdu. Salah satu sarana yuridis administratif yang digunakan untuk mencegah dan menggulangi pencemaran lingkungan adalah sistem perizinan.
Dewasa ini, jenis perizinan yang erat hubungannya dengan pencemaran lingkungan hidup adalah izin usaha yang diatur dalam Ordonansi Gangguan (Hinderordonnantie Stb 1926 No. 22, yang diubah/ ditambah, terakhir dengan Stb. 1940 No. 450). Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), Ordonansi Gangguan (HO) ini dapat dianggap sebagai salah satu praturan yang berhubungan langsung dengan masalah pencemaran lingkungan di Indonesia. Masalahnya adalah setelah berlakunya UULH pada tahun 1982 dan berbagai peraturan pelaksanaannya, apakah HO saat ini relevan?
Sebutan “Hinderordonnantie” (HO) atau Ordonansi Gangguan terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi “Ordonansi ini dapat disebut Ordonansi Gangguan.” Istilah Ordonansi Gangguan harus dibedakan dengan Undang-Undang Gangguan (Hinderwet), karena ordonansi merupakan produk dari pemerintah daerah jajahan (Pemerintah Hindia Belnada), sehingga tidak dapat disetarakan dengan “Wet” yang merupakan produk dari pemerintah yang berdaulat (Kerajaan Belanda) yang kemudian diterjemahkan dengan nama”undang-undang”. Oleh karena itu istilah yang seharusnya tetap digunakan adalah “Ordonansi Gangguan”.

b. Perumusan Permasalahan.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat diketahui permasalahan yang ada. Yaitu mengenai :
1. Kelemahan Ordonansi Gangguan.
2. Upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.

c. Ruang Lingkup.
Mengenai ruang lingkup dari pembahasan ini adalah sebatas tentang bagaimana suatu proses pembangunan itu bisa berjalan dengan baik dan sesuai yang telah digariskan semula, dengan menghasilkan dampak lingkungan yang meminimkan dampak negatif. Pencemaran lingkungan yang semakin tahun semakin meningkat tidak lepas dari angka pembangunan yang sekarang ini semakin di tingkatkan pula. Semua itu ada hubungannya dengan masalah perizinan, izin usaha yang diatur dalam Ordonansi Gangguan.

d. Tujuan dan manfaat penulisan.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk lebih mengarahkan kepada setiap orang lebih mengerti tentang kelemahan-kelemahan Ordonasi Gangguan dan lebih memperhatikan kesehatan lingkungan. Mengenai Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan adalah sebagai tolak ukur dari pemantauan lingkungan itu sendiri.

BAB II
METODOLOGI PENULISAN

a. Pendekatan Penulisan.
Metodologi merupakan suatu prosedur atau rangkaian cara yang sistematis untuk menggali kebenaran sehingga dapat menghasilkan suatu karya ilmiah. Penggunaan metode sangat perlu dalam suatu penelitian agar dapat diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah. Dalam karya tulis ilmiah ini digunakan metode peneliotian berupa pendekatan masalah, sumber bahan penulisan, metode pengumpulan bahan hukum dan analisa bahan hukmu. Dengan menggunakan metode deskriptif dengan inti pembahasan di awal uraian.

b. Bahan Hukum.
Data diperoleh secara langsung melalui studi dokumen, pustaka yang kesemuanya terkait dengan materi yang dikaji

c. Dasar Hukum Penulisan.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
3. Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1990 Tentang BAPEDAL
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.



BAB III
PEMBAHASAN

Kelemahan Ordonansi Gangguan.
Apabila is Hinderordonnantie (HO) dikaji dan dihubungkan dengan kondisi dewasa ini, maka akan ditemui beberapa kelemahan.
HO daya jangkaunya bersifat terbatas hanya pada lingkup RT, RW atau kelurahan, karena jangkauan teritorialnya terbatas pada jarak 200 meter dari tempat usaha yang bersangkutan serta dalam batas Daerah Tingkat II. Dengan kata lain HO dilaksanakan hanya terbatas oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya atau Kabupaten. Padahal dengan meningkatnya kemajuan teknologi akhir-akhir ini, variasi dan intensitas pencemaran lingkungan juga meningkat. Pencemaran lingkungan baik dalam bentuk limbah cair, padat maupun udara, dapat menyebar kemana-mana. Dengan kata lain pencemaran lingkungan tidak mengenal di mana batas Daerah Tingkat II atau bukan.
Disamping itu Daerah Tingkat II tidak memiliki cukup tenaga ahli yang mampu menilai secara teknis instalasi yang bersifat rumit. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam era “teknologi canggih” yang digunakan dalam berbagai bidang yang memiliki kemampuan menilai dampak suatu instalasi yang canggih terhadap lingkungan. Olek karena ruang lingkup HO adalah di Daerah Tingkat II, maka tidak dapat diharapkan masalah tersebut dapat diatasi hanya oleh tenaga ahli Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Kelemahan yang lain adalah, bahwa HO merupakan ordonansi yang bersifat individual, artinya ditujukan kepada gangguan yang ditimbulkan oleh perusahaan secara mandiri dan tidak terhadap beban derita yang diperbuat oleh pencemar secara kolektif. Akibatnya pada saat pertimbangan pemberian izin, tidak diperhitungkan hubungan antara pencemaran yang diakibatkan oleh perusahaan yang satu terhadap pencemar dari perusahaan- perusahaan lainnya.
Penutupan perusahaan sebagai sanksi dalam HO tidak fakultatif yang berarti harus juga ditrapkan pada penyimpangan-penyimpangan kecil. Oleh karena itu tidak ada hubungan yang layak antara sarana paksa dan beratnya perbuatan yang dilakukan.
Dengan adanya beberapa kelemahan tersebut, sebenarnya telah dilakukan upaya peninjauan dan pembaharuan terhadap HO, yang telah dirilis oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan membentuk proyek penelitian/ peninjauan/ penyusunan naskah Ordonansi Gangguan dan Kawasan Industri pada tanggal 14 Juni 1977.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hinderordonnantie sudah tidak sesuai lagi dalam era pembangunan dewasa ini karena adanya beberapa kelemahan, sehingga untuk itu perlu diadakan penyempurnaan atau bahkan lebih baik dicabut. Keinginan untuk mempertahankan HO, pada dasarnya dipengaruhi oleh 2 hal:
1. Pemerintah Daerah Tingkat II tidak ingin kehilangan pendapatan daerahnya dengan dihapusnya HO.
2. Belum siapnya tenaga ahli dari Pemda Dati II untuk menerapkan peraturan baru yang lebih relevan, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Namun demikian apabila HO ingin dipertahankan, maka perlu diperhatikan Pasal 11 ayat (1) HO yang menyatakan bahwa: “Penguasa yang telah memberikan izin dapat mengadakan syarat-syarat baru terhadap pemegang izin, jika ternyata bahwa syarat-syarat baru itu diperlukan.” Hal ini menunjukkan bahwa penguasa dapat menambahkan syarat-syarat lain jika diperlukan. Sehingga Walikotamadya Kepala Derah Tingkat II masing-masing dapat menerbitkan keputusan yang menyatakan, bahwa Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan sebagaimana diatur dalam PP No. 51 Tahun 1993 merupakan syarat bagi diterbitkannya izin berdasarkan HO. Dengan demikian peraturan yang relevan, yaitu UKL dan UPL dapat diintegrasikan ke dalam sistem perizinan yang ada.

Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan.
Pengertian pencemaran lingkungan itu dapat didefinisikan secara luas juga secara sempit. Sebagai contoh suatu definisi secara luas ialah definisinya yang juga meliputi soal aspek penggunaan sumber daya lingkungan secara berlebihan dan secara salah, yang memang merupakan salah satu sumber dari timbulnya pencemaran lingkungan. Dengan memasukan soal-soal aspek penggunaan sumber daya lingkungan secara berlebihan dan secara salah itu kedalam rumusan definisinya, maka akan diperlukan pengungkapan segala jenis dan jumlah sumber daya lingkungan yang ada.
Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang menyebabkan lingkungan jadi tidak berfungsi lagi.
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hingga berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu, sehingga kondisi lingkungan menjadi berkurang atau tidak dapat berfungsi sama sekali.
Sebaliknya kita dapat menampilkan definisi yang cukup pendek dan sungguh sempit dengan mengatakan bahwa pencemaran lingkungan adalah setiap jenis kerusakan lingkungan. Dengan definisi singkat-sempit ini, kita masih harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan lingkungan dan apa yang dimaksud dengan pencemaran itu? Untuk menjelaskan kedua pengertian itu kita juga akan menjumpai berbagai kerumitan, guna mencapai gambarannya secara gamblang yang kemudian harus kita padukan menjadi satu pengertian yang harus melukiskan Pencemaran Lingkungan.
Pencemaran adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan/ atau energi di-instruksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam keadaan termasuk yang mengakibatkan lingkungan itu tidak berfungsi seperti semula dalam srti kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan.

Pengaturan Limbah B-3.
Latar belakang yang mendasari dikeluarkannya peraturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat B-3 adalah banwa proses pelaksanaan pembangunan jangka panjang yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, tetapi di lain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah yang merugikan. Di antara limbah yang dihasilkan oleh kegiatn industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun.
Beberapa faktor penting yang mendorong industri untuk selalu melakukan pencemaran diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Lemahnya pengawasan dan monitoring yang dilakukan oleh Bapedal.
2. Rendahnya sanksi hukum bagi pelanggar berkaitan dengan lingkungan.
3. Tidak adanya koordinasi antara Dinas Perindustrian yang memberi ijin berdirinya industri dengan Bapedal selaku pemberi ijin pembuangan limbah cair sehingga banyak industri yang berdiri tanpa memiliki IPAL (instalasi pengolah air limbah).

Limbah B-3 yang langsung dibuang ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat resiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat menghasilkan limbah B-3 seminilkan mungkin. Menimimalisasi limbah B-3 dimaksudkan agar limbah B-3 yang dihasilkan oleh masing-masing unit produksi ditekan sesedikit mungkin dan bahkan diusahakan sampai nol, dengan cara antara lain, reduksi pada sumber dengan pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan teknologi bersih lingkungan.
Yang menjadi persoalan adalah, apakah pengaturan mengenai pengelolaan limbah B-3 tesebut telah memadai atau tidak. Untuk mengetahui hal itu perlu ditentukan tolak ukurnya terlebih dahulu.
Pengaturan limbah B-3 dikatakan memadai apabila pengelolaan limbah B-3 telah diatur secara lengkap, yaitu sejak limbah B-3 dihasilkan sampai pada penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolaan limbah B-3 serta penimbunan hasil pengelolaan tersebut.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pada tanggal 5 Juni 1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Keputusan Presiden No. 23 tahun 1990. Badan Pngendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) adalah lembaga pemerintah non-departemen yang berkedudukan dibawah dan bertanggugn jawab langsung kepada Presiden.
Alasan dibentuk BAPEDAL adalah bahwa pembanguna yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak yang semakin besar dan memerlukan pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan tugasnya membantu Presiden, BAPEDAL mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Menetapkan kebijaksanaan teknis pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serat pemulihan kualitas lingkungan.
2. Pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas pengendalian dampak lingkungan.
3. Pengendalian kebijaksanaan teknis pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan.
4. Pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan.
5. Penyelenggaraan bimbingan teknis terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan.





Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Pada dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah keseluruhan dokumen studi kekayaan lingkungna yang terdiri dari Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dari pengertian tersebut, Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) hanya merupakan salah satu dokemen dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Untuk menghilangkan kemungkinan pencemaran, keseluruhan dokumen yang terdapat dalam AMDAL harus dilaksanakan secara penuh. Artinya setiap tahap yang ada di dalam AMDAL harsu disusun secara cermat sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
AMDAL adalah suatu alat yang penting yang secara aman melindungi lingkungan, dan keefektifan AMDAL sangat bergantung pada institusi dan prosedur kerjanya. Untuk itu undang-undang seharusnya tidak hanya mengatur tentang sistem AMDAL, tetapi juga menyebutkan bidang-bidang yang jenis proyek serta kegiatan- kegiatannya. Tentang efektifitas pada dasarnya telah diatur dalam peraturan pemerintahan yang baru, yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Rencana Pengelolaan Lingkungan.
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan merupakan dokumen yang memuat upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan.
Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan mencakup 4 kelompok aktifitas:
1. Pengelolaan lingkungan yang bertujaun untuk menghindari atau mencegah dampak negati flingkungan melalui pemilihan atas alternatif, tata letak lokasi, dan rancang bangun proyek.
2. Pengelolaan lingkungan yang bertujaun untuk mengendalikan dampak negati f baik yang timbul di saat usaha dan kegiatan beroperasi maupun saat usaha atau kegiatan berakhir.
3. Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak positif sehungga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut menikmati dampak positif tersebut.
4. Pengelolaan lingkungan yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk memberikan dasar kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang, atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis) sebagai akibat usaha atau kegiatan.

Disamping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan yang tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam arti komponen lingkungan yang dikelola adalah yang mengalami perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.

Upaya Pengelolaan Lingkungan Dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pada tanggal 19 Maret 1994 telah dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bukan merupakan bagian dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), oleh karena itu tidak dinilai oleh Komisi AMDAL, UKL, UPL, diarahkan langsung oleh instansi teknis yang membidangi dan bertanggung jawab atas pembinaan usaha atau kegiatan tersebut.
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bersifat spesifik bagi masing-masing jenis usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu pedoman teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab untuk setiap jenis usaha atau kegiatan dan dikaitkan langsung dengan aktifitas teknis usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pedoman umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan berfungsi sebagai:
1. Acuan dalam penyusunan Pedoman Teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan bagi Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen Sektoral.
2. Acuan penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan bagi pemrakarsa apabila Pedoman Teknis UKL dan UPL dari sektoral belum diterbitkan.
3. Instrumen pengikat bagi pihak pemrakarsa untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Dengan adanya pedoman ini, maka pengelolaan lingkungan dapt dilakukan dengan baik, lebih terarah, efisien, dan efektif.


BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Kelemahan Ordonansi Gangguan, adalah:
a. HO daya jangkaunya bersifat terbatas karena jangkauan teritorialnya terbatas pada jarak 200 meter dari tempat usaha yang bersangkutan serta dalam batas Daerah Tingkat II. Dengan kata lain HO dilaksanakan hanya terbatas oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya atau Kabupaten. Padahal dengan meningkatnya kemajuan teknologi akhir-akhir ini, variasi dan intensitas pencemaran lingkungan juga meningkat.
b. HO merupakan ordonansi yang bersifat individual, artinya ditujukan kepada gangguan yang ditimbulkan oleh perusahaan secara mandiri dan tidak terhadap beban derita yang diperbuat oleh pencemar secara kolektif. Akibatnya pada saat pertimbangan pemberian izin, tidak diperhitungkan hubungan antara pencemaran yang diakibatkan oleh perusahaan yang satu terhadap pencemar dari perusahaan- perusahaan lainnya.
2. Dapat disimpulkan bahwa Hinderordonnantie sudah tidak sesuai lagi dalam era pembangunan dewasa ini karena adanya beberapa kelemahan, sehingga untuk itu perlu diadakan penyempurnaan atau bahkan lebih baik dicabut. Keinginan untuk mempertahankan HO, pada dasarnya dipengaruhi oleh 2 hal:
a. Pemerintah Daerah Tingkat II tidak ingin kehilangan pendapatan daerahnya dengan dihapusnya HO.
b. Belum siapnya tenaga ahli dari Pemda Dati II untuk menerapkan peraturan baru yang lebih relevan, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
3. Menimimalisasi limbah B-3 yang dihasilkan oleh masing-masing unit produksi adalah dengan cara antara lain:
a. reduksi pada sumber dengan pengolahan bahan.
b. substitusi bahan.
c. pengaturan operasi kegiatan.
d. dan teknologi bersih lingkungan.
4. Pengaturan limbah B-3 dikatakan memadai apabila pengelolaan limbah B-3 telah diatur secara lengkap, yaitu sejak limbah B-3 dihasilkan sampai pada penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolaan limbah B-3 serta penimbunan hasil pengelolaan tersebut.
5. Untuk menghilangkan kemungkinan pencemaran, keseluruhan dokumen yang terdapat dalam AMDAL harus dilaksanakan secara penuh. Artinya setiap tahap yang ada di dalam AMDAL harsu disusun secara cermat sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya di lapangan.Tentang efektifitas pada dasarnya telah diatur dalam peraturan pemerintahan yang baru, yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
6. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bersifat spesifik bagi masing-masing jenis usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu pedoman teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab untuk setiap jenis usaha atau kegiatan dan dikaitkan langsung dengan aktifitas teknis usaha atau kegiatan yang bersangkutan.








b. Saran.
1. Harus di diadakan penyempurnaan atau bahkan lebih baik dicabut mengenai HO karena sudah tidak sesuai lagi dengan era pembangunan dewasa seperti sekarang ini.
2. Menerbitkan keputusan tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL)dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL), yang merupakan syarat bagi diterbitkannya izin berdasarkan HO. Dengan demikian peraturan yang relevan, yaitu UKL dan UPL dapat diintegrasikan ke dalam sistem perizinan yang ada.






















BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. P. Soemartono R.M Gatot; “Hukum Lingkungan Indonesia”; Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
2. Danusaputro, Munadjat Prof. Mr. St.; “Hukum Lingkungan. Buku V Sektoral Jilid (4) Dalam Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”; Bina Cipta; Bandung;1992.
3. Danusaputro, Munadjat Prof. Mr. St.; “Hukum Lingkungan Buku V Sektoral Jilid (5) (Dalam Pencemaran Lingkungan) Melandasi Sistem Hukum Pencemaran”; Bina Cipta; Bandung;1986
4. Abdurrahman; “Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia”; Cetakan Kedua; Bandung; Alumni.
5. Amsyari, Fuad; “Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan”; Cetakan Ketiga; Jakarta; Ghalia Indonesia.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
9. Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1990 Tentang BAPEDAL.
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan


No comments:

Post a Comment