Kampusku.Com: KAJIAN KRITIS TERHADAP PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL DALAM KEGIATAN USAHA HULU MIGAS (Studi Kasus Exxon Mobile Oil Indonesia Sebagai Lead Operator Bl

Cari Makalah

Monday, January 4, 2010

KAJIAN KRITIS TERHADAP PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL DALAM KEGIATAN USAHA HULU MIGAS (Studi Kasus Exxon Mobile Oil Indonesia Sebagai Lead Operator Bl

Teddy Anggoro

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Permasalahan
Dalam Undang-undang Dasar 45 pasal 33 (3) diatur bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui (unrenewable) minyak dan gas bumi menempati posisi yang penting dalam pembangunan Negara dan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan terhadap minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yang termaktub dalam pasal 33 (3) UUD 45.
Pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri dari 2 kegiatan yaitu :
1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup:
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi;
2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup:
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;
d. Niaga.
Kegiatan Usaha Hulu memakai rezim kontrak sedangkan kegiatan usaha hilir menggunakan rezim perijinan. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui, Kontrak Kerja Sama yang merupakan kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kontrak Kerja Sama dilakukan antara pemerintah dengan kontraktor yang merupakan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap, dalam perkembangannya Kontrak Kerja Sama ini menjadi hal krusial karena disebabkan banyaknya pihak yang memiliki kepentingan terhadap minyak dan gas bumi.
Dalam penelitian ini mengangkat isu nasional yang terkait dengan kegiatan usaha hulu, yaitu Penetapan Exxon Mobil sebagai Lead Operator di Blok Cepu dimana banyak kalangan yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak menunjukan nasionalisme karena dalam hal ini Pertamina sebagai partner operator Exxon Mobil di Blok Cepu telah menyatakan kesanggupannya menjadi Lead Operator Blok Cepu sehubungan dengan permasalahan ini, menyeruak kembali permasalahan lama dimana banyak kalangan yang menyatakan bahwa sejak awal keberadaan Exxon Mobil sebagai operator Technical Assistance Contract Pertamina penuh dengan rekayasa hukum yang dilakukan penguasa pada masa itu. Sehingga banyak kalangan yang menilai kontrak tersebut cacat hukum dan menekan pemerintah agar membatalkan kontrak yang sudah ditandatangani pada tanggal 17 September 2005 yang kesepakatan Joint Operation Agreement (JOA)-nya ditandatangani pada tanggal 15 Maret 2006. Dalam penelitian ini akan membedah apakah penetapan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan menguntungkan bagi Negara, dan akan membuktikan apakah pendapat dari kalangan yang menentang Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu benar.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan diatas, dapat ditarik beberapa pokok permasalahan menarik untuk dianalisa dan dikaji di dalam ini. Pokok permasalahan adalah:
1. Bagaimanakah Substansi dan pengaturan Kontrak Kerja Sama Minyak Dan Gas Bumi, dan lembaga-lembaga apa saja yang berperan dalam kontrak tersebut?
2. Permasalahan hukum apa saja yang timbul dalam Kontrak Kerja Sama yang melibatkan Exxon Mobil sebagai salah satu pihak kontraktor?
3. Bagaimana kronologis sehingga Exxon Mobil menjadi Lead Operator Blok Cepu dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik?
4. Benarkah dengan Exxon Mobil menjadi Lead Operator, Negara lebih diuntungkan?
5. Benarkah telah terjadi rekayasa hukum dalam terpilihnya Exxon Mobil sebagai Kontraktor Blok Cepu?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yang terdiri atas:

1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan dalam Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di Blok Cepu.
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan informasi mengenai alasan pemerintah lebih cenderung mendukung Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu.
b. Menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi sehingga Exxon Mobil terpilih menjadi Lead Operator Blok Cepu.

D. Metodalogi Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu metoda yang memiliki kegiatan mengumpulkan data sekunder (bahan pustaka). Metoda penelitian ini dijadikan pedoman atau petunjuk dalam mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang dihadapi. Dalam penulisan ini penulis juga menggunakan alat pengumpulan data yang berupa :
1. Bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan mengenai pertambangan minyak dan gas bumi.
2. Bahan hukum sekunder seperti buku-buku cetak, artikel dan dokumen lainnya yang memiliki hubungan dengan permasalahan.
Ditinjau dari sifatnya, penelitian yang dilakukan di dalam penulisan ini memiliki sifat deskriptif. Dengan sifat penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan pemilihan Exxon Mobil sebagai Kontraktor dan Lead Operator di Blok Cepu.
Pendekatan normatif diarahkan pada sinkronisasi fakta-fakta yang terjadi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan hukum lainnya.
Penelitian ini dalam melakukan pengolahan dan analisa data menggunakan metoda kualitatif yaitu metoda yang akan menghasilkan tulisan dalam bentuk deskriptif-analitis. Dengan bentuk tersebut diharapkan penulisan ini dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai keabsahan Exxon Mobil sebagai kontraktor dan Lead Operator di Blok Cepu.
E. Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan teoritis dari penelitian ini sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam rangka mengembangkan kesimpulan-kesimpulan yang didapat menjadi hipotesa-hipotesa, yang di kemudian hari dapat diuji kebenarannya.
Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai apakah terpilihnya Exxon Mobil sebagai kontraktor dan Lead Operator di Blok Cepu adalah tindakan yang paling tepat dan tidak bertentangan dengan hukum.











BAB II
Pembahasan Teori
A. Kegiatan Hulu Migas
Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 diatur mengenai kegiatan hulu migas yaitu kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan, sedangkan eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan,yang terdiri dari pengeboran dan penyelesaian sumur ,pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tetap dengan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS), didalam KKS tersebut paling sedikit memenuhi persyaratan :
a. kepemilikan sumberdaya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c. modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilakukan oleh :
a. Badan Usaha Milim Negara;
b. Badan usaha Milik daerah;
c. Koperasi; usaha kecil;
d. Badan usaha swasta.
Dengan ketentuan untuk bentuk usaha tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu saja, badan usaha dan bentuk usaha tetap yang telah melakukan kegiatan usaha hulu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha hilir demikian sebaliknya.

B. Tugas Fungsi dan Wewenang badan Pemerintah Dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas
Sebagai Negara yang dianugerahi dengan limpahan kekayaan sumber daya alam yang terbentang dari ujung barat sampai timur, pemerintah memprioritaskan kekayaan tersebut sebagai sumber untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, salah satunya dengan menitikberatkan pada sektor minyak dan gas bumi. Dalam hal ini minyak dan gas bumi memiliki peranan sebagai berikut :
 Sumber Energi Dalam Negeri
 Sumber Penerimaan Negara dan Devisa
 Bahan Baku Industri Nasional
 Wahana Ahli Teknologi
 Pendukung Pengembangan Wilayah
 Menciptakan Lapangan Kerja
 Pendorong Pertumbuhan Sektor non Migas
Agar peranan minyak dan gas bumi tersebut terlaksana dengan baik didalam UU Nomor 22 Tahun 2001 diatur mengenai tugas kelembagaan dalam bidang minyak dan gas bumi ini, yaitu:
1. Pemerintah (Departemen ESDM cq. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Melaksanakan Tugas-tugas kebijakan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan penguasaan minyak dan gas bumi.
2. Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS)
Melaksanakan tugas pengendalian ketentuan dalam kontrak kerja sama pada kegiatan usaha hulu migas.
3. Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS)
Mengalokasikan persediaan dan pendistribusian BBM serta menetapkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Berdasarkan apa yang dipaparkan diatas penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas terdiri dari kuasa pertambangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Sebagai sumber daya alam strategis yang tak dapat diperbaharui, minyak dan gas bumi dimasukan sebagai kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, dengan tujuan agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, sehingga baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha walaupun memiliki hak atas sebidang tanah dipermukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya. Penguasaan Negara tersebut diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, kemudian pemerintah membentuk Badan Pelaksana sebagai lembaga yang melakukan pengendalian dalam kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama yang ditandatangani badan pelaksana dengan kontraktor, selain sebagai pengendali, badan pelaksana bersama-sama Departemen ESDM/ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait bertindak pula sebagai pengawas hanya yang membedakannya adalah, Badan Pelaksana melakukan pengawasan berdasarkan KKS yang ditandatangani, sedangkan Departemen ESDM/Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait, melakukan pengawasan terhadap ditaatinya peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan pengaturan kegiatan usaha hulu migas meliputi:
a. konservasi sumber daya dan cadangan Minyak dan Gas bumi;
b. pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
c. penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d. jenis dan mutu hasil olahan minyak dan gas bumi;
e. alokasi dan distribusi bahan bakar minyak dan bahan baku;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
i. penggunaan tenaga kerja asing;
j. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan,dan penerapan teknologi Minyak dabn Gas Bumi;
m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Selain hal tersebut yang membedakan lingkup pengawasan Badan Pelaksana dan Departemen ESDM/ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi adalah, pengawasan yang dilakukan oleh Departemen ESDM/ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi melingkupi tahap sebelum kontrak kerja sama, saat pelaksanaan kontrak kerja sama dan sesudah kontrak kerja sama berakhir sedangkan lingkup pengawasan dari badan pelaksana adalah sebelum kontrak kerjasama dan saat pelaksanaan kontrak kerja sama. Untuk pembinaan sepenuhnya dilakukan oleh Departemen ESDM/ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sebagai lembaga yang melakukan penyelenggaraan urusan pemerintah dibidang kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi dan melakukan penetapan kebijakan atau pengaturan mengenai kegiatan usaha hulu migas berdasarkan:
 Cadangan dan potensi sumber daya minyak dan gas bumi yang dimiliki;
 Kemampuan produksi;
 Kebutuhan bahan baker minyak dan gas bumi dalam negeri;
 Pengusaan teknologi;
 Aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup;
 Kemampuan nasional;
 Dan kebijakan pembangunan.
Pelaksanaan pembinaan dilakukan secara cermat, transparan dan adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Berdasarkan KEPPRES No. 44 dan 45 Tahun 1975 yang diperbaharui dengan KEPPRES No. 172 Tahun 2000 diatur mengenai tugas pokok dari Departemen ESDM dan departemen lain yang terkait, yaitu:
 Menyelenggarakan fungsi kegiatan perumusan kebijaksanaan dan kebijaksanaan teknis, bimbingan dan pembinaan, pemberian izin serta penetapan kebijakan umum lainnya;
 Menyelenggarakan fungsi pengawasan atas pelaksanan tugasnya.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
Tugas:
Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis bidang minyak dan gas bumi.
Fungsi:
 Penyiapan perumusan kebujakan depertemen dibidang minyak dan gas bumi;
 Pelaksanaan kebijakan dibidang minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
 Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur dibidang minyak dan gas bumi;
 Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
 Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal

Badan Pelaksana memiliki fungsi, tugas dan wewenang sebagai berikut:
Tugas:
Melakukan pengendalian kegiatan hulu migas, dengan pengaturan khusus sebagai berikut:
 Memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijaksaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta KKS;
 Melaksanakan penandatangan KKS;
 Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada menteri untuk mendapatkan persetujuan;
 Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain dari dari pada yang dimaksud dalam poin sebelumnya;
 Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
 Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada menteri mengenai pelaksanaan KKS;
 Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Negara.
Fungsi:
Melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Wewenang:
 Membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional kontraktor Kontrak Kerja Sama;
 Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja kontraktor Kontrak Kerja Sama;
 Mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor K K S;
 Membina seluruh asset kontraktor KKS yang menjadi milik Negara;
 Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan perbedaan fungsi Badan Pelaksana dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi adalah, manajemen, pengendalian dan pengawasan terhadap Kontrak Kerja Sama merupakan fungsi dari Badan Pelaksana sedangkan kebijaksanaan teknis, pembinaan, pengawasan, penetapan kebijaksanaan umum, pemberian ijin, standardisasi, keselamatan operasional, perlindungan lingkungan adalah fungsi dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

C. Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi
Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi diatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah seluruh:
a. Wilayah daratan;
b. perairan; dan
c. landas kontinen Indonesia.
Wilayah hukum pertambangan Indonesia dibagi per Wilayah Kerja. Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas tanah diatasnya, namun apabila badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah Negara didalam wilayah kerjanya, badan usaha atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah Negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal 34 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diatur bahwa penyelesaian dapat dilakukan musyawarah dan mufakat dengan cara:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. ganti rugi yang layak;
d. pengakuan; atau
e. bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah Negara.

Perencanaan dan penyiapan wilayah Kerja dari Wilayah Terbuka atau dari Wilayah Kerja yang akan disisihkan atau Wilayah Kerja yang akan berakhir masa Kontrak Kerja Samanya dilakukan oleh Menteri ESDM dengan memperhatikan pertimbangan Badan Pelaksana. Perencanaan dan penyiapan ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dengan melakukan pengkajian dan pengolahan data dalam hal ini Direktur Jenderal pihak lain yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidang ini diluar badan usaha dan bentuk usaha tetap. Setelah melakukan pengkajian dan pengolahan data Direktur Jenderal mengusulkan kepada Menteri mengenai wilayah yang akan ditawarkan. Usulan wilayah kerja yang akan ditawarkan dapat diajukan berdasarkan kajian teknis dari:
a. Direktorat Jenderal; atau
b. badan usaha atau bentuk usaha tetap; atau
c. Direktorat Jenderal bersama-sama dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap dalam bentuk Joint Study.
Setelah itu Menteri menetapkan wilayah kerja serta ketentuan dan persyaratan Kontrak Kerja Sama untuk ditawarkan kepada badan dan bentuk uasaha tetap setelah mendapatkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan berkonsultasi dengan Gubernur yang wilayah administrasinya meliputi wilayah kerja yang ditawarkan.
Setelah melalui tahap perencanaan dan penetapan Menteri menawarkan wilayah kerja tersebut yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, untuk melaksanakan penawaran wilayah kerja Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menyiapkan dan menerbitkan Dokumen Lelang yang dokumen lelang tersebut memuat:
a. tata waktu lelang;
b. tata cara lelang;
c. informasi teknis wilayah kerja;
d. tata cara akses data;
e. konsep kontrak kerja sama;
f. persyaratan lain yang diperlukan.
Konsep kontrak kerja sama yang termuat dalam Dokumen Lelang disiapkan oleh Tim Penawaran Wilayah Kerja yang terdiri dari wakil-wakil dari Departemen, Direktorat Jenderal, dan Badan Pelaksana.
Dalam rangka penawaran wilayah kerja Direktorat Jenderal melaksanakan pengumuman wilayah kerja melalui media cetak, elektronik dan lainnya serta melakukan promosi dalam berbagai forum baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Penawaran lelang dilakukan dengan cara:
a. lelang Wilayah Kerja tahunan (regular) berdasarkan kajian teknis oleh Direktorat Jenderal;
b. lelang Wilayah Kerja melalui penawaran langsung (direct offer) berdasarkan kajian teknis oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pada suatu Wilayah Kerja yang diajukan kepada Direktur Jenderal;
c. lelang Wilayah Kerja melalui penawaran langsung (direct offer) berdasarkan kajian teknis oleh Direktorat Jenderal bersama-sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kerangka Joint Study.

Badan usaha dan bentuk usaha tetap peserta lelang diwajibkan menyerahkan Dokumen Penawaran Lelang yang isinya diatur dalam Keputusan Menteri, setelah itu Tim Penawaran Wilayah Kerja melakukan evaluasi dan penilaian terhadap Dokumen Penawaran dari peserta lelang untuk menentukan pemenang lelang. Evaluasi dan penilaian tersebut dilakukan berdasarkan pertama; penilaian teknis yang meliputi penilaian terhadap rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama komitmen pasti masa eksplorasi (firm commitment) yang didukung oleh evaluasi geologi dan justifikasi teknis yang ditunjukkan dengan rencana lokasi pemboran sumur taruhan (new field wildcat well) serta petroleum system yang didasarkan pada kaidah keteknikan yang baik, kedua; penilaian keuangan dilakukan terhadap besaran kompensasi pemenang (awarded compensation)dan kemampuan keuangan untuk mendukung rencana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang ditunjukkan dalam Iaporan keuangan tahunan (annual financial statements) yang terdiri dari neraca dan laporan laba-rugi perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik, ketiga; penilaian kinerja badan usaha dan bentuk usaha tetap yang meliputi pengalaman di bidang perminyakan dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia untuk perusahaan yang pernah beroperasi di Indonesia. Dari ketiga penilaian tersebut dapat diperingkatkan dalam hal penilaian utama penentuan peringkat calon pemenang lelang yaitu pertama adalah penilaian teknis kemudian penilaian keuangan dalam hal ini besaran kompensasi pemenang memegang peranan yang sangat penting, yang terakhir baru penilaian kinerja.
Berdasarkan evaluasi dan penilaian terhadap Dokumen Penawaran Tim Penawaran Wilayah Kerja menyampaikan urutan peringkat badan usaha atau bentuk usaha tetap calon pemenang lelang kepada Direktur Jenderal yang kemudian oleh Direktur Jenderal dilaporkan kepada Menteri untuk menentukan pemenang badan usaha dan bentuk usaha tetap yang menjadi pemenang lelang. Terhadap badan usaha atau bentuk usaha tetap yang menjadi pemenang lelang Direktur Jenderal melakukan pemberitahuan tertulis, dalam waktu maksimal 7 hari setelah pemberitahuan diterima pemenang lelang wajib menyampaikan Surat Kesanggupan untuk memenuhi seluruh komitmen yang tercantum dalam Dokumen Lelang, apabila pemenang lelang tersebut tidak menyerahkan Surat Kesanggupan tersebut dalam tempo yang telah ditetapkan maka Direktur Jenderal menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap urutan peringkat berikutnya sebagai pemenang lelang.
Terhadap pengaturan lelang tersebut terdapat pengecualian yaitu Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penawaran langsung (direct offer) dalam kerangka Joint Study mempunyai hak untuk melakukan perubahan penawaran yaitu sekurang-kurangnya menyamai penawaran tertinggi yang disampaikan oleh peserta lelang lain, badan usaha dan bentuk usaha tetap tersebut akan ditetapkan sebagai pemenang lelang apabila penawarannya minimal sama dengan nilai penawaran tertinggi peserta lelang lain.
Sedangkan terhadap kewajiban melakukan lelang dapat dikecualikan apabila PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan kemampuan keuangan PT Pertamina (Persero), sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% dimiliki oleh Negara hal ini berdasarkan pasal 5 ayat 4 PP No. 35 Tahun 2004.

D. Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 mengatur bahwa Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut berarti ada jenis kontrak kerjasama selain Kontrak Bagi Hasil yang masih diakui eksistensinya hal ini terkait dengan perkembangan KKS yang ada di Indonesia.
Sejak zaman hindia belanda sampai dengan sekarang tahun 2006 di Indonesia telah terjadi 2 kali pergantian sistem kerjasama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, sistem-sistem tersebut sebagai berikut;
a. Sistem Konsesi (Kontrak 5A)
Sistem ini berlaku pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, dalam system ini perusahaan pertambangan yang memiliki hak untuk mengelola pertambangan minyak dan gas bumi diberikan kuasa pertambanagan dan hak untuk menguasai hak atas tanah sehingga kontraktor memiliki kekuasaan penuh minyak yang ditambang dan kontraktor berkewajiban untuk membayar royalty pada Negara;
b. Kontrak Karya
Berlaku sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1963. Dalam system ini, perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diberikan kuasa pertambangan saja, tetapi tidak meliputi hak atas tanah, kontraktor memegang manajemen operasi dan sifat kontraknya adalah profit sharing;
c. Kontrak Production Sharing
Berlaku sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang. Dalam system ini perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diberikan kuasa pertambangan dengan prinsip pembagiannya adalah pembagian hasil minyak dan gas bumi bukan pembagian keuntungan dalam bentuk financial.
Selain sistem-sistem yang pernah dan sedang dipakai Indonesia tersebut, pada praktiknya masih ada jenis kontrak lainnya yaitu:
a. Technical Assistance Contract (TAC) atau kontrak bantuan teknik yaitu kontrak PERTAMINA dengan perusahaan swasta nasional dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur atau lapangan minyak yang ditinggalkan dalam kuasa pertambangan PERTAMINA, tujuannya untuk meningkatkan produksi sumur-sumur yang sudah tua. Produksi yang dibagi adalah produksi setelah dikurangi secondary recovery, pembagian produksi sebesar 65% - 35% bagian kontraktor TAC lebih besar bila dibandingkan dengan bagian kontraktor Kontrak Production Sharing, hal ini disebabkan, pertama; resiko yang lebih besar karena TAC dilakukan terhadap wilayah kerja yang kuantitas minyaknya tidak lagi banyak karena merupakan wilayah kerja “sisa”, kedua; kontrak ini hanya ditujukan pada perusahaan swasta nasional dengan tujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan perekonomian nasional dasarnya terdapat pada ketentuan Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi pasal V ayat 5.1. yang intinya mengatur mengenai larangan penjualan, pengalihan,menyerahkan atau melepaskan interest TAC kepada pihak asing, hanya saja ketentuan pasal V ayat 5.1. ini pada tahun 1996 dihapuskan dan kemudian ditambahkan ketentuan ayat 5.2.6 dan 5.2.7 sebagai ketentuan pengganti ayat 5.1. yang intinya mengatur mengenai hak kontraktor untuk menjual, mengalihkan, menyerahkan atau melepaskan interest kontrak kepada perusahaan afiliasi atau non afiliasi dengan sepengetahuan atau persetujuan pemerintah. Prinsip-prinsip dasar Technical Assistance Contract adalah sebagai berikut:
1. Technical Assistance Contract hanya mencakup eksploitasi atau pengembangan saja. Kontraktor tidak diwajibkan melakukan kegiatan eksplorasi berupa seismic, pengeboran eksplorasi dan lain-lain;
2. Penggantian biaya operasi sebesar maximum 65% dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan dan tidak digunakan untuk kegiatan produksi;
3. Technical Assistance Contract tidak mengenal First Tranche Petroleum sebagaimana dikenal dalam Kontrak Production Sharing
4. masa laku Technical Assistance Contract adalah 20 tahun. Jangka waktu 20 tahun diberikan untuk menyesuaikan dengan Kontrak Production Sharing. Masa laku Kontrak Production Sharing yang 30 tahun artinya adalah 10 tahun pertama digunakan untuk masa eksplorasi dan 20 tahun berikutnya untuk masa pengembangan atau produksi. Oleh karena dalam Technical Assistance Contract tidak ada kegiatan eksplorasi masa laku kontraknya hanya untuk 20 tahun. Dalam jangka waktu 20 tahun tersebut, jika dalam 2 tahun pertama belum dapat dipastikan akan ada produksi komersial, kontraktor dapat meminta perpanjangan untuk 1 kali 2 tahun berikutnya, dan jika sampai tahun keempat produksi komersial tetap tidak dapat dilakukan maka Technical Assistance Contract putus dengan sendirinya;
5. sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, firm commitment Dario kontraktor dalam bentuk rencana kerja dan rancangan hanya untuk jangka waktu 4 tahun pertama yang dirancang untuk program pengembangan bukan eksplorasi seperti Kontrak Production Sharing;
6. dalam Technical Assistance Contract juga tidak dikenal penyisihan/penyerahan kembali sebagian wilayah kerja (relinquishment) karena wilayah kerja yang dikelola oleh kontraktor adalah wilayah kerja PERTAMINA dan PERTAMINA tidak pernah menyerahkannya kepada kontraktor. Akan tetapi kontraktor, setiap saat dalam masa laku perjanjian, tetap diwajibkan untuk menyerahkan kembali kepada PERTAMINA lapangan-lapangan yang terbukti sudah tidak komersial;
7. prinsip kepemilikan peralatan dan asset sama seperti Kontrak Production Sharing, akan tetapi kepada kontraktor diberikan hak pengawasan atas asset-asset tersebut dan berkewajiban untuk memelihara sepanjang masa laku perjanjian.
b. Kontrak Enhanced Oil Recovery, yaitu kerja sama antara PERTAMINA dan perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada sumur dan lapangan minyak yang masih dioperasikan PERTAMINA dan sudah mengalami penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tinggi meliputi usaha secondary dan tertiary recovery.
c. Kerjasama Operasi Bersama (Joint Operating Arrangement). Prinsip-prinsip Joint Operating Arrangement dasarnya sama dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam Kontrak Production Sharing. Perbedaan utamanya adalah dalam masalah penyertaan modal. Kalau di Kontrak Production Sharing seluruh dana disediakan oleh kontraktor sedangkan dalam Joint Operating Arrangement sebagian dana, misalnya disediakan oleh PERTAMINA, sisanya oleh kontraktor.
d. Badan Operasi Bersama (Joint Operating Body). Joint Operating Body pada prinsipnya sama dengan Joint Operating Arrangement. PERTAMINA ikut serta dalam pendanaan. Akan tetapi dalam Joint Operating Body peranan PERTAMINA lebih dominan lagi yaitu ditempatkannya wakil dari PERTAMINA di struktur manajemen secara langsung. Biasanya General Manager dari Joint Operating Body merupakan wakil PERTAMINA. Dan yang bertindak sebagai operator adalah PERTAMINA bukan kontraktor.

D.1. Kontrak Production Sharing dan Karakteristiknya
Kontrak production sharing pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960 di Venezuela oleh Begawan Ekonomi Ibnu Sutowo. Kemudian untuk pertama kalinya, pada tahun 1966 Ibnu Sutowo menawarkan substansi kontrak production sharing kepada kontraktor asing berupa:
a. kendali manajemen dipegang oleh Perusahaan Negara;
b. kontrak didasarkan pada pembagian produksi;
c. kontraktor menanggung resiko pra produksi, dan bila minyak ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% per tahun dari minyak yang dihasilkan;
d. Sisa dari minyak yang dihasilkan setelah dikurangi biaya penggantian akan dibagi komposisi 65% untuk perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor;
e. Hak atas semua peralatan yang dibeli kontraktor akan menjadi milik perusahaan Negara ketika peralatan tersebut masuk ke Indonesia, dan biayanya akan ditutup dengan formula 40% tersebut;
f. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada pemerintah;
g. Kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia;
h. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri secara proporsional (maksimum 25% bagiannya).
Sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang kontrak production sharing telah beberapa kali mengalami generasi, sehingga Kontrak Production Sharing dapat dibagi menjadi 4 generasi, yaitu:
a. Kontrak Production Sharing Generasi I (1964-1977)
Dengan substansi yang sama dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Sutowo hanya karena pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia sehingga pemerintah menetapkan kebijakan, sejak tahun 1974 kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada pemerintah;
b. Kontrak Production Sharing Generasi II (1978-1987)
Perubahan generasi ini lebih disebabkan oleh pengaruh asing, dalam hal ini adalah Pemerintah Amerika Serikat yang mengeluarkan IRS Ruling yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran Net Operating Income KPS dianggap sebagai pembayaran royalty kepada pemerintah, karena pembayaran pajak pertamina dan kontraktor dibayarkan oleh pertamina, sehingga disarankan kontraktor membayar pajak secara langsung kepada pemerintah sehingga kontraktor membayar pajak sebesar 56% secara langsung kepada pemerintah, selain itu perlu diterapkan Generally Accepted Acounting Procedure (GAP) dimana pembatasan pengembalian biaya operasi (Cost Recovery Ceiling) 40%/tahun dihapuskan;
c. Kontrak Production Sharing Generasi III (1988-2002)
Perubahan lebih disebabkan karena pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru pada tahun 1984 hanya saja peraturan perpajakan ini baru dapat diterapkan pada tahun 1988;
d. Kontrak Production Sharing Generasi IV (2002-Sekarang).
Untuk perubahan pada generasi IV ini merupakan imbas dari diberlakukannya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi dimana para pihak dari kontrak ini berubah yang sebelumnya antara pertamina dengan kontraktor menjadi Badan Pelaksana dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap.
Filosofi dari Ibnu Sutowo memperkenalkan bentuk kontrak dengan bagi hasil ini adalah karena Indonesia pada pada saat itu merupakan Negara yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang melimpah tetapi Indonesia tidak memiliki kemampuan financial yang kuat untuk melakukan investasi terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi karena kegiatan usaha hulu ini merupakan usaha yang membutuhkan modal yang besar dan beresiko tinggi, selain itu Indonesia saat itu tidak memiliki teknologi yang memadai untuk melakukan kegiatan usaha hulu migas ini, dan yang terakhir Indonesia tidak memiliki tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan kegiatan usaha hulu ini. Filosofi Ibnu Sutowo tersebut bukan tanpa prospek kedepan yang jelas tapi didalam filosofi tersebut Ibnu Sutowo menginginkan dimasa yang akan datang setelah Indonesia mendapatkan modal, teknologi dan sumber daya manusia untuk kegiatan usaha hulu migas, Indonesia melalui Perusahaan Negaranya yang kemudian dibentuk Pertamina pada tahun 1971 dapat melakukan pengusahaan kegiatan usaha hulu secara mandiri sehingga kekayaan alam yang berhasil diproduksi dapat sepenuhnya masuk ke kantong negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya apa yang diharapkan oleh Ibnu Sutowo tidak pernah terjadi hal ini disebabkan karena PERTAMINA lebih disibukkan sebagai pihak pemerintah dalam menandatangani Kontrak Production Sharing dengan kontraktor ketimbang menjalankan fungsinya sebagai Perusahaan Negara yang melakukan pembangunan dan pengusahaan minyak dan gas bumi yang meliputi kegiatan usaha hulu dan hilir, sehingga kekurangan PERTAMINA untuk melakukan pengusahaan kegiatan usaha hulu secara mandiri tidak pernah dapat terpenuhi, hal ini yang menjadi rasio dari Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah, yang sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang PERTAMINA pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa kuasa pertambangan diberikan Negara kepada PERTAMINA. Yang kemudian implikasi dari perubahan tersebut adalah PERTAMINA tidak berhak lagi menjadi pihak pemerintah dalam Kontrak Production Sharing dengan kontraktor karena pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagai penyelenggara kegiatan usaha hulu yang salah satu tugasnya adalah menandatangani Kontrak Kerja Sama.

TABEL : JENIS-JENIS KONTRAK PRODUCTION SHARING
No. Jenis Kontrak Split Risk Invest Operator
1. KPS Murni 85% - 15% 100% K.A. K.A./P
2. KPS JOA
Joint Operating Arrangement
50% - 50% 50% K.A.
50% P K.A.
3. KPS JOA-JOB
Joint Operating Body
50% - 50% 50% K.A.
50% P P
4. TAC 65% -35% 100% K. K
Sumber: BPMIGAS, Workshop KKS Migas, FHUI Depok 2005

D.2. SUBSTANSI KONTRAK KERJA SAMA MINYAK DAN GAS BUMI
Terdapat beberapa substansi atau klausul yang menjadi point penting dalam kontrak kerja sama migas yaitu:
a. Jangka Waktu
Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun dengan masa eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa eksplorasi selama 4 tahun, adapun kontrak yang telah habis jangka waktunya dapat diperpanjang kembali 20 tahun;
b. Penyisihan Wilayah Kerja
Ditujukan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi, dengan prosentase 25% pada tiga tahun pertama, 25% pada 6 tahun pertama dan 30% pada saat atau sebelum akhir tahun ke sepuluh. Kontraktor hanya diperbolehkan mempertahankan wilayah kerja yang diusahakan dengan prosentase 20% (termasuk wilayah yang dikembangkan), penyisihan secara keseluruhan pada saat pengakhiran kontrak.;
c. Program Kerja dan Anggaran
disiapkan dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana terdiri dari KOMITMEN PASTI selama 3 tahun (tercantum dalam Dokumen Penawaran Lelang) dan komitmen 6 tahun dengan penekanan pada program kerja berdasarkan ketentuan kontrak;
d. Manajemen Kontrak
Manajemen operasi (termasuk persetujuan program kerja dan anggaran) menjadi tanggung jawab badan pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan anggaran menjadi tanggung jawab kontraktor;
e. Pengalihan
Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan afiliasi cukup dengan sepengetahuan Badan pelaksana, sedangkan pengalihan terhadap perusahaan non afiliasi harus dengan persetujuan Badan Pelaksana dan Pemerintah batasan terhadap pengalihan ini terdapat pada 3 tahun pertama, terhadap kontraktor berlaku kebijakan RING FENCE dimana kontraktor hanya boleh menangani 1 wilayah kerja;
f. Kredit Investasi dan Biaya Operasi
Kredit investasi (dapat diterapkan pada lapangan baru dan pengembangan yang langsung berhubungan dengan fasilitas produksi minyak mentah) dan biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diperoleh kembali melalui hasil penjualan atau pembagian minyak mentah setiap tahun calendar;
g. Peralatan
Kontraktor berkewajiban menyediakan semua dana untuk membeli dan menyewa peralatan, peralatan yang dibeli tersebut status hukumnya menjadi milik pemerintah ketika peralatan tersebut memasuki wilayah Indonesia tetapi penguasaannya diserahkan pada kontraktor;
h. FTP – I dan FTP – II
First Tranche Petroleum - I adalah hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknnya (20 atau 15 %) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam kontrak kerja sama. First Tranche Petroleum – II adalah hak Badan Pelaksana untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknya (10%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP ini tidak akan dibagi antara Badan pelaksana dan kontraktor;
i. Kompensasi, Bantuan dan Bonus
Terdiri dari kompenasi informasi, bonus peralatan dan bonus produksi wajib diserahkan Kontraktor kepada pemerintah tanpa membebankan pada biaya operasi;
j. Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri
Kontraktor berkewajiban untuk mnyediakan hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri (minyak mentah dan gas dengan perhitungan: 25% x produksi x prosentase bagian kontraktor;
k. Tenaga Kerja
Kontraktor harus menyediakan semua teknologi yang diperlukan dan tenaga kerja asing (ekspatriat). Kontraktor setuju untuk mempekerjakan tenaga kerja Indonesia yang bermutu dan memperhatikan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia, selain itu kontraktor berkewajiban membantu pelatiahan tenaga kerja Badan Pelaksana;
l. Arbitrase
Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara damai akan diserahkan pada Putusan Badan Arbitrase dengan sebelumnya melalui usaha Alternative Dispute Resolution, arbitrase akan menggunakan aturan ICC (International Chamber of Commerce);
m. Pembukuan, Akuntansi dan Pemeriksaan
Badan Pelaksana berkewajiban untuk membuat pembukuan dan akuntansi yang lengkap, pada masa eksplorasi kewajiban membuat pembukuan dan akuntansi tersebut berada pada kontraktor. Badan Pelaksana dan Pemerintah berwenang untuk memeriksa pembukuan yang dibuat oleh kontraktor;
n. Partisipasi
Badan Pelaksana mempunyai hak untuk meminta kepada kontraktor sebesar 10% interest penuh dari keseluruhan hak dan kewajiban dalam kontrak untuk ditawarkan kepada “Partisipan Indonesia” (Pemda, BUMD atau Perusahaan berbadan hukum Indonesia dan sahamnya dimiliki oleh Indonesia.







SKEMA PEMBAGIAN HASIL PRODUKSI
Sumber: BPMIGAS, Workshop KKS Migas, FHUI Depok 2005











BAB III
Analisa Kasus
A. Kasus Posisi
Blok Cepu adalah sebuah daerah di Cepu, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah yang terkenal karena persediaan minyak buminya yang melimpah. Sebenarnya penambangan minyak bumi di Cepu telah berlangsung sejak zaman penjajahan, yaitu oleh perusahaan asing BPM. Sebelum penemuan terbaru cadangan minyak yang cukup besar di daerah Cepu dan sekitarnya yaitu di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, ladang minyak Cepu hanya difungsikan sebagai wahana pendidikan bidang perminyakan yaitu dengan adanya Akademi Migas di Cepu.
Bermula dari surat BUMN PERTAMINA No. 0616/C0000/90-S1 tanggal 19 April 1990 prihal TAC cepu antara PERTAMINA dan PT Humpuss Patragas yang ditandatangani Direktur Utama BUMN PERTAMINA yang ditujukan kepada Direktur Jenderal MIGAS. TAC Cepu ditandatangani pada 3 Agustus 1990 antara Pertamina dan Humpuss Patra Gas (HPG), untuk jangka waktu 20 tahun yang melingkupi kegiatan eksplorasi walaupun TAC seharusnya berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA hanya mencakup kegiatan eksploitasi untuk sumur-sumur tus di wilayah kuasa pertambangan PERTAMINA
Pada Mei 1996, perusahaan Australia Ampolex Pte. Ltd mendatangani perjanjian farm-in untuk memperoleh 49% dari interest Kontraktor di TAC Cepu dari Humpuss PG. Untuk memperkuatkan apa yang telah dilakukan PT Humpuss Patragas, pada tanggal 21 maret 1997 Kontrak TAC tersebut diamandemen (ditandatangani oleh Direktur Utama BUMN PERTAMINA dengan President and CEO PT Humpuss Patragas) yang menghapus section V.1.2 paragraph (i) tentang larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing, setelah itu keluar Surat BUMN PERTAMINA No. 782/C0000/97-30 tanggal 12 juni 1997 perihal pengalihan interest di Wilayah Kerja Ons. Central East Java (51% PT Humpuss Patragas dan 49% Ampolex Cepu Pte Ltd).
Pada Desember 1996 Mobil Corporation mengakuisisi Ampolex untuk portfolio globalnya sehingga otomatis Mobil mempunyai interest di blok Cepu sebesar 49%.
Di tahun 1999, Exxon Corporation dan Mobil Corporation melakukan merger dan membentuk ExxonMobil Corporation. Pada Juni 2000, Mobil Cepu Ltd, anak perusahaan ExxonMobil, memperoleh sisa 51% interest Kontraktor milik HPG dan mengambil alih hak sebagai operator untuk TAC Cepu dengan persetujuan dari Pertamina dan Pemerintah RI berdasarkan Surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 990/30/MPE.M/1999 tanggal 29 Maret 1999.
Pada akhir tahun 2003 Exxon Mobil mengajukan proposal untuk memperpanjang TAC-nya dengan alasan sisa waktu hingga 2010 tidak akan cukup untuk mengembalikan ongkos eksplorasi yang mencapai US$ 450 Juta walaupun berdasarkan hasil audit BPKP ongkos eksplorasi yang dikeluarkan oleh Exxon Mobil baru US$ 179 Juta.
Pemerintah sangat berkepentingan atas beroperasinya Blok Cepu, mengingat kandungan minyak dan gas yang ada di areal tersebut serta permasalahan energi nasional yang tengah dihadapi pemerintah. Namun kenyataannya sejak ditandatanganinya Head of Agreement (HoA) Juni 2004 antara Pertamina dan ExxonMobil, Direksi Pertamina tidak menindaklanjuti perundingan dengan pihak ExxonMobil sebagai pemegang Technical Assitance Contract (TAC) atas Blok Cepu karena menurut Direktur Utama Pertamina saat itu Widya Purnama, PERTAMINA merasa mampu mengerjakan Blok Cepu sendiri berdasarkan perhitungan ekonomi keuntungan besar akan didapatkan bila PERTAMINA mengerjakan sendiri. Atas dasar itu pemerintah menempuh langkah sebagai berikut:
 26 November 2004: Menko Perekonomian mengeluarkan surat No: S-54/M.EKON/11/2004 kepada Dirut Pertamina, mengenai arahan Presiden untuk memulai kembali perundingan Blok Cepu dan menyelesaikannya dalam waktu tidak terlalu lama.
 25 Februari 2005: Surat Menteri Sekretaris Negara No: R.22/M.Sesneg/2/2005 ditujukan kepada Menko Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Negara BUMN, Dirut Pertamina, mengenai arahan Presiden agar PT Pertamina memulai perundingan Blok Cepu untuk mendapatkan nilai maksimum bagi pendapatan negara.
Meski demikian, tetap tidak terlihat upaya Direksi Pertamina untuk mendapatkan kesepakatan dan penyelesaian dengan pihak Exxon. Atas dasar itu, pada tanggal 29 Maret 2005 Menteri Negara BUMN menerbitkan Surat keputusan No: Kep-16/MBU/2005 tentang Pembentukan Tim Negosiasi Penyelesaian Permasalahan antara PT Pertamina (Persero) dan ExxonMobil Terkait dengan Blok Cepu Tim ini diketuai Martiono Hadiyanto, Komisaris Pertamina. Anggotanya antara lain Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian kala itu), Mohammad Ikhsan, Rizal Mallarangeng (keduanya staf ahli Menko Perekonomian), Lin Che Wei, dan Iin Arifin Takhyan, Dirjen Migas yang kini menjadi Wakil Dirut Pertamina. Pembentukan tim tersebut adalah langkah yang terpaksa ditempuh untuk mendorong dimulainya kembali perundingan.
Sejak pembentukannya, Tim Negosiasi telah melakukan sebanyak 31 kali pertemuan. Yaitu 12 kali pertemuan koordinasi dengan Komite Pengarah (Menko Perekonomian, Menneg BUMN, Menteri ESDM), termasuk di dalamnya 1 kali pertemuan dengan Presiden dan 3 kali pertemuan dengan Wakil Presiden. 8 kali pertemuan internal, dan 11 kali pertemuan dengan pihak ExxonMobil.
Hasil kesepakatan antara Tim Negosiasi dan ExxonMobil yang telah mendapatkan persetujuan Pemerintah, dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada 25 Juni 2005, atau yang disebut MoU 2005. Isinya, pengelolaan Blok Cepu akan dikelola bersama. Pertamina dan Exxon masing-masing memegang saham 45% dan Pemerintah Daerah Bojonegoro (Jawa Timur) serta Blora (Jawa Tengah) masing-masing 5%. MoU itu bertanggal 25 Juni 2005
Berdasarkan kesepakatan pihak terkait, yaitu BP Migas atas nama Pemerintah, Pertamina, dan ExxonMobil, pada 17 September 2005 ditandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) yang mengubah Technical Assistance Contract (TAC) Mobil cepu Ltd menjadi Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan jangka waktu 30 tahun berdasarkan PP 34 tahun 2005 pasal 103D yang memungkinkan TAC yang belum habis masa kontraknya berubah menjadi KKS yang dikeluarkan pada tanggal 10 september 2005.
Posisi Exxon berubah menjadi kontraktor kerja sama. Exxon kini berdiri sama tinggi dengan Pertamina di Cepu. Tetapi skema kerja sama itu berhenti di Widya Purnama. Ia menuntut, pada perjanjian operasi kerja sama (JOA) Blok Cepu tersebut, Pertamina yang menjadi pengendali penambangan (operator). Kalaupun tak memimpin, ia mengusulkan operatornya bergantian setiap lima tahun, dan Pertamina yang pertama tetapi hal itu ditolak oleh Exxon Mobil dengan alasan akan menimbulkan ketidakstabilan manajemen.
Pemerintah menghendaki proses selanjutnya dilakukan atas dasar business to business (b to b) antara Pertamina dan ExxonMobil. Pemerintah berulangkali mendesak kedua pihak untuk segera menuntaskan perundingan, sehingga persoalan Blok Cepu segera bisa diselesaikan. Hasilnya adalah pada tanggal 13 Maret 2006, kedua belah pihak menyepakati bentuk Kerjasama Operasi (Joint Operation), untuk bersama-sama bertindak sebagai kontraktor pemerintah dalam pengoperasian Blok Cepu dengan struktur organisasi Terdiri dari Komite Operasi Bersama (KOB, Joint Operating Committe/JOC) dan Organisasi Pelaksana Proyek Cepu (OPPC). Ibarat perusahaan, KOB adalah dewan komisaris sedangkan OPPC adalah direksi. KOB terdiri dari 5 orang, masing-masing 2 dari Pertamina EP Cepu (PEPC) dan Mobil Cepu Ltd./Ampolex Cepu Ltd. (MCL/ACL), dan 1 dari unsur Pemda. KOB dipimpin seorang Chairman/Ketua dari pihak PEPC (Pertamina), sedangkan OPPC dipimpin seorang General Manager dari pihak MCL/ACL (ExxonMobil), dengan Deputy Genaral Manager dari PEPC. Di bawahnya ada manager pelaksana, dengan komposisi berimbang antara PEPC dan MCL/ACL.
Joint Operating Agreement (JOA) ditandatangani pada 15 Maret 2006, penandatanganan dilakukan antara Dirut PT Pertamina EP Cepu (PEPC), anak perusahaan Pertamina, Hestu Bagyo dan Presiden Direktur ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), Peter Coleman, yang mewakili anak perusahaan Mobil Cepu Limited (MCL) dan Ampolex Cepu Ltd (ACL).penandatangan itu disaksikan Direktur Utama PT. PERTAMINA (Persero) Ari H Soemarno, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Menneg BUMN Sugiharto. Hadir pula Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu (BP) Migas Kardaya Warnika, Komisaris Utama Pertamina Martiono Hadianto, Ketua Tim Negosiasi Blok Cepu Roes Aryawijaya, Vice President Planning, Commercial and Public Affairs EMOI Maman Budiman, dan Executive Director Exploration EMOI Budiono.
(Sumber : dirangkum dari berbagai sumber)

B. Analisa Study Kasus
Kajian terhadap permasalahan penunjukan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu merupakan kajian yang sifatnya multidisipliner karena mencakup aspek ekonomi, hokum, politik, social, dan lingkungan. Pada penelitian kepustakaan ini akan membahas permasalahan penunjukan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu dari aspek hukum dengan didukung pembahasan aspek lainnya yang terkait.
Bila dilihat runtut menurut waktu, apa yang sekarang menjadi permasalahan adalah akumulasi dari berbagai tindakan illegal yang dilakukan oleh para pihak dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di Blok Cepu ini.


B.1. Analisa Hukum
Sejak awal cerita, bagaimana Exxon Mobil melalui anak perusahaannya Mobil Cepu Ltd. Dapat memegang 100% saham kegiatan Usaha HUlu di Blok Cepu dipenuhi dengan tindakan yang illegal, bermula saat PERTAMINA menyerahkan pengerjaan teknis di Blok Cepu kepada PT Humpuss Patragas berdasarkan TAC tanggal 3 Agustus 1990, dengan alasan PERTAMINA tidak mempunyai modal untuk melakukan eksploitasi terhadap sumur-sumur tua peninggalan Belanda dan Jepang di Blok Cepu tersebut, tetapi faktanya dalam TAC antara PERTAMINA dengan PT Humpuss Patragas tersebut PT Humpus Patragas mendapatkan hak untuk melakukan eksplorasi padahal lingkup kerja dari TAC hanya pada kegiatan eksploitasi karena TAC itu hanya untuk peningkatan hasil sumur-sumur tua yang berada dibawah kuasa PERTAMINA jadi yang dimaksud dengan TAC adalah kontrak eksploitasi, sehingga sebenarnya pada saat itu PT Humpuss Patragas seharusnya melakukan KPS yang lingkup kerjanya meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Pengalihan interest PT Humpuss Patragas sebesar 49% kepada Ampolex Pte Ltd. Juga merupakan tindakan ilegal karena dalam Kontrak TAC dalam section V.1.2 paragraph (i) diatur mengenai larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing, tetapi oleh PERTAMINA saat itu kontrak tersebut diamandemen dengan menghapus pasal yang mengatur larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing agar pengalihan interest tersebut tidak bertentangan denganhukum.
Pengalihan sisa interest sebesar 51% yang dilakukan pada awal tahun 2000 juga merupakan rekayasa hukum karena tindakan yang didasarkan pada Surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 990/30/MPE.M/1999 tanggal 29 Maret 1999 telah menyebabkan terjadi kerugian bagi negara karena pembagian antara PERTAMINA dan Exxon Mobil menjadi 65% - 35% karena dengan memiliki 100% interest Exxon Mobil menjadi pihak kontraktor menggantikan PT Humpuss Patragas, sebelumnya Exxon Mobil hanya mendapatkan deviden dari kepemilikan sahamnya melalui Ampolex Pte Ltd. di TAC antara PERTAMINA dengan PT Humpuss Patragas.
Rekayasa hukum yang telah dipaparkan diataslah yang mengakibatkan Exxon Mobile merasa memiliki peranan di Blok Cepu, yang kemudian pada akhir tahun 2003 mengajukan proposal untuk memperpanjang TAC yang hanya berlaku sampai tahun 2010, setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 17 September 2005 ditandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Badan Pelaksana dengan Pertamina (Persero) dan Exxon Mobil, tetapi permasalahan saat itu belum selesai karena Pertamina (persero) melalui Widya Purnama sebagai Direktur Utama bertahan agar Pertamina menjadi Lead Operator dalam Joint Operation dengan Exxon Mobil, sampai kemudian pada tanggal 15 Maret 2006 ditandatangni kesepakatan Joint Operation Agreement yang menempatkan Exxon Mobil sebagai pemegang Organisasi Pelaksanaan Proyek Cepu (OPPC).
Selain permasalahan yang sifatnya teknis dan financial dalam kontrak tersebut terdapat permasalahan hukum, yaitu:
a. Pemerintah mengeluarkan PP No. 34 Tahun 2005, 10 hari sebelum penandatangan Kontrak Kerja Sama tanggal 17 September 2005 yang melandasi berubahnya TAC menjadi Kontrak Kerja Sama, dimana dalam pasal 103A ayat 1 huruf c jo. Pasal 103D diatur bahwa Menteri dengan persetujuan Presiden dapat melakukan pengecualian mengenai jangka waktu kontrak, dalam hal ini berdasarkan pasal 104 huruf e dan g PP No. 35 Tahun 2004, kontrak-kontrak yang berupa TAC dan EOR beralih kepada PT Pertamina (Persero), berlaku sampai habis waktu kontraknya dan setelah kontrak berakhir wilayah bekas kontrak tersebut menjadi wilayah kerja Pertamina. Jadi berdasarkan PP No. 34 Tahun 2005 pasal 103A ayat 1 huruf c jo. Pasal 103D ini lah kemudian TAC Blok Cepu yang baru berakhir tahun 2010 pada tahun 2005 dihapuskan berubah menjadi Kontrak Kerja Sama.
b. Penetapan Kontraktor Wilayah Kerja Cepu tanpa melalui mekanisme tender terbuka sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1480 Tahun 2004 Tentang Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
c. Pengangkatan Arie Sumarno sebagai Direktur Utama Pertamina (Persero) menggantikan Widya Purnama pada tanggal 8 Maret 2006.





Berdasarkan pada permasalahan hukum diatas dan rekayasa hukum yang terjadi sampai Exxon Mobil menjadi kontraktor TAC menggantikan PT Humpuss Patragas yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dinilai bahwa Kontrak Kerja Sama tersebut cacat hukum dan tindakan yang dilakukan pemerintah tidak memenuhi Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Karena tindakan Pemerintah tersebut tidak sesuai dengan asas bertindak cermat, asas kebijaksaan, asas penyelenggaraan kepentingan umum dan asas pertanggung jawaban (akuntabilitas dan transparansi).
Sejumlah pihak banyak yang meminta pembatalan Kontrak Kerja Sama tersebut, hal ini memang dimungkinkan dengan cara membuktikan bahwa pemerintah telah melanggar AUPB, tapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembatalan tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum lain karena amat dimungkinkan pemerintah menghadapi gugatan dari pihak Exxon Mobil di Arbitrase Internasional dan hal yang paling menakutkan bila hal tersebut terjadi, akan menimbulkan stigma negatif dimata investor baik yang sudah menanamkan investasinya ataupun yang belum, karena Exxon Mobil adalah perusahaan minyak Amerika Serikat memiliki pengaruh yang besar baik di Negara maupun Pemerintahan Amerika Serikat.
Penulis berpendapat sebenarnya pemerintah tidak perlu terjebak dalam tindakan yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai rekayasa hukum tersebut, seandainya pemerintah menunggu sampai kontrak TAC Pertamina – Exxon Mobil berakhir pada tahun 2010 baru kemudian pemerintah melakukan mekanisme penawaran wilayah kerja melalui tender terbuka, seandainya pemerintah dalam tender tersebut menetapkan Exxon Mobil sebagai pemenang tender dengan pertimbangan, Exxon Mobil telah mengeluarkan biaya besar untuk eksplorasi dan eksploitasi selama kontrak TAC tersebut, hal ini mungkin lebih dapat diterima dan fair dalam etika bisnis serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

B.2. Analisa Politik
Dalam permasalahan Blok Cepu ternyata terdapat intervensi politik internasinal, dimana Peranan Pemerintah Amerika Serikat ternyata cukup besar dalam menentukan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menetapkan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu karena seperti dilansir beberapa media massa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono terhitung 2 kali ditanya oleh petinggi Pemerintahan Amerika Serikat mengenai perkembangan perundingan Blok Cepu, yaitu: Pertama; oleh Presiden George W. Bush disela-sela acara Asia Pacific Economic Council (APEC) di Santiago, Chile, November 2004, saat itu Bush meminta kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk memperhatikan nasib Exxon di Cepu. Kedua; menurut Abdilah Toha, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, ketika ia mengikuti kunjungan Presiden ke Amerika Serikat bulan Mei tahun 2005, Dick Cheney (Wakil Presiden Amerika Serikat) bertanya mengenai keputusan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono soal Blok Cepu.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice pada tanggal 16 Maret 2006, sehari sesudah penandatangan JOA Pertamina (Persero) – Exxon Mobil oleh beberapa kalangan diasumsikan sebagai pemicu dipercepatnya penandatangan JOA tersebut, karena penandatangan dilakukan 5 hari setelah pengangkatan Arie Sumarno sebagai Direktur Utama Pertamina (Persero) padahal sampai hari pengangkatan tersebut Direktur Pertamina (Persero) Widya Purnama yang digantikan Arie Sumarno, menyatakan bahwa Pertamina (Persero) masih bertahan untuk menjadi Lead Operator penuh selama 30 tahun atau bergantian selama 5 tahun di Blok Cepu.
Harus diakui bahwa permasalahan Blok Cepu ini bukan saja permasalahan yang multidisipliner tetapi juga merupakan permasalahn yang multinasional, karena semua pihak maupun semua Negara memiliki kepentingan terhadap sumber daya minyak dan gas.

B.3. Analisa Ekonomi
Penetapan Exxon Mobil sebagai Lead Operator ternyata diwarnai dengan permasalahan ekonomi, hal ini disebabkan karena Pemerintah sejak jauh-jauh hari sebelum JOA disepakati pada tanggal 13 Maret 2006 telah menunjukkan tendensi keberpihakan kepada Exxon Mobil sebagai Lead Operator hal ini sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk membesarkan BUMN Pertamina (Persero). Seperti dikemukakan oleh Menteri Negara BUMN Sugiharto setelah mengikuti Sidang Kabinet pada tanggal 7 Maret 2006 mengenai kemampuan Pertamina menjadi Lead Operator, Terpilihnya Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu oleh Pemerintah dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
 Pertamina (persero) tidak mimiliki modal yang kuat dan kegiatan usaha hulu ini merupakan usaha yang beresiko tinggi;
 Pertamina (persero) tidak memiliki SDM dan teknologi yang mutakhir untuk menghasilkan minyak dari Blok Cepu dalam waktu singkat.
 Negara akan mendapatkan keuntungan yang besar dengan bagian 93,25% (85% split pemerintah + 6,75% split Pertamina (persero) + 1,5% split Pemda)
Tetapi alasan-alasan yang menjadi justifikasi pemerintah tidaklah semuanya benar karena:
 Pertamina memang tidak memiliki modal yang kuat tetapi Pertamina (Persero)memiliki kesanggupan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan mengajukan Capital Expenditure (CAPEX) atau biaya investasi dan Operational Expenditure (OPEX) kepada pemerintah sebesar US$ 100 juta pertahun ini menunjukan bahwa Pertamina (Persero) memiliki modal yang cukup menjalankan usaha di Blok Cepu. Pemerintah tetap memilih Exxon Mobil sebagai Lead Operator dengan total Capital Expenditure dan Operational Expenditure sebesar US$ 260 juta per tahun yang sebenarnya sangat tidak menguntungkan bila melihat bahwa biaya yang dikeluarkan oleh akan di Cost Recovery.
 Pertamina tidak memiliki teknologi, tapi bukankah pengadaan teknologi tersebut masuk dalam biaya operasi yang oleh Pertamina (telah disanggupi sebesar US$ 100 juta per tahun). Mengenai SDM dibantah oleh Abdul Muthalib Masdar yang merupakan Ketua Umum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI)dan juru bicara Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) bahwa anggota HAGI dan IAGI yang bekerja di Pertamina (Persero) sebanyak 2.417 orang berpendidikan S3, S2 dan S1.
 Negara mendapatkan keuntungan 93,25% produksi memang benar tetapi setelah dikurangi Cost Recovery yang sejak KPS Generasi II jumlahnya tidak dibatasi jadi bagian pemerintah per tahun adalah sebesar 93,25% setelah dikurangi cost recovery terhadap Capital Expenditure (CAPEX) dan Operational Expenditure (OPEX) sebesar US$ 260 Juta per tahun hal ini oleh beberapa pengamat dinilai sebagai kerugian bagi negara karena seandainya Pertamina (persero) yang menjadi Lead Operator, Cost Recovery yang dikeluarkan hanya US$ 100 Juta per tahun, jadi uang sebesar US$ 160 juta yang seharusnya masuk kedalam kas negara menjadi milik Exxon Mobil.
Cost recovery ini menjadi posisi vital karena kemungkinan negara akan dirugikan, sangat besar selain transparansi CAPEX dan OPEX, permasalahan lainnya adalah kemungkinan Exxon Mobil memasukkan biaya dalam proses akuisis Cepu dari PT Humpuss Patragas kepada Exxon Mobil dan biaya eksplorasi sebelum Kontrak Kerja Sama mencapai US$ 450 Juta walaupun berdasarkan hasil audit BPKP ongkos eksplorasi yang dikeluarkan oleh Exxon Mobil baru US$ 179 Juta, untuk menghindari hal itu terjadi sebaiknya pemerintah mewajibkan kepada Badan Pelaksana untuk membuat system control and cross check terhadap cost recovery untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengeluaran cost recovery tersebut.

Berdasarkan analisis-analisis diatas dikaitkan dengan keberpihakan pemerintah terhadap Exxon Mobil ketimbang Pertamina (Persero), penulis berpendapat, rakyat akan sangat setuju seandainya yang menjadi alasan pemerintah adalah demi menyelamatkan perekonomian bangsa dan rencana jangka panjang pemerintah dalam pemberantasan korupsi karena Pertamina baik PN maupun Persero merupakan Top Five lembaga terkorup di Indonesia sehingga ada ketakutan bahwa keuntungan produksi minyak dan gas bumi di Blok Cepu akan banyak dikorupsi oleh pejabat Pertamina daripada dinikmati oleh rakyat, karena apabila alasan pemerintah adalah alasan seperti yang telah dijelaskan diatas, hal ini malah membangkitkan rasa nasionalisme dari rakyat, dan hasilnya adalah seperti yang terjadi saat ini.






BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
1. Kajian ini bukan merupakan kajian yang bersifat nasionalisme sempit yang menolak segala jenis tindakan kapitalis tapi merupakan kajian yang memberi gambaran bahwa statement yang dilontarkan pemerintah melalui Menteri dan pihak Pertamina (Persero) tidak semuanya benar dan lebih mengarah pada pembentukan opini publik semata.
2. Keberadaan Exxon Mobil di Blok Cepu sejak awal memang diwarnai dengan rekayasa hukum yang dilakukan oleh penguasa saat itu tetapi hal tersebut tidak menjadi pertimbangan pemerintah dalam memilih Exxon Mobil sebagai kontraktor di Blok Cepu.
3. Pemerintah lebih mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan intervensi politik ketimbang kepentingan penegakan hukum, terbukti rekayasa hukum yang telah terjadi sebelumnya kembali terulang dengan dikeluarkannya PP No. 34 tahun 2005 yang melegitimasi perubahan TAC antara Pertamina dengan Exxon Mobil yang belum habis masa waktunya menjadi Kontrak Kerja Sama serta pemilihan Pertamina (persero) dan Exxon Mobil sebagai Kontraktor Wilayah Kerja Cepu tanpa melalui mekanisme penawaran tender terbuka sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1480 Tahun 2004 Tentang Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
4. Kesepakatan Exxon Mobil menjadi Lead Operator Blok Cepu tidak sepenuhnya didasarkan B to B antara Pertamina (persero) dengan Exxon Mobil terbukti jauh hari sebelum kesepakatan terjadi Menteri Negara BUMN Sugiharto, telah menunjukan tendensi kepada Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu ditambah lagi adanya isu intervensi dari Pemerintah Amerika Serikat.
5. Pendapat mengenai Negara akan mendapatkan bagian sebesar 93,25% dari hasil yang didapat di Blok Cepu tidak sepenuhnya benar karena yang dimaksud bagian Negara 93,25% tersebut adalah bagian Negara setelah dikurangi Cost Recovery terhadap Kredit Investasi dan Biaya Investasi yang telah di keluarkan kontraktor.
6. Bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa bentuk kerjasama yang palin tepat adalah Joint Operating Body, dimana PERTAMINA (Persero) menjadi Lead Operator di Blok Cepu sedangkan Exxon Mobil bertindak sebagai kontraktor yang turut dalam penyertaan modal.

B. Rekomendasi
Berdasarkan penelitian sebagaimana telah diuraikan di bab-bab sebelumnya maka didapat beberapa rekomendasi untuk permasalahan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu, sebagai berikut:
1. Kita harus menaati ketentuan-ketentuan Kontrak yang telah disepakati hanya saja pemerintah harus benar-benar memberdayakan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan Tugas dan Fungsinya masing-masing, khususnya kepada Badan Pelaksana sebagai Pengendali Manajemen Operasi serta kewajibannya membuat pembukuan dan akuntansi yang lengkap.
2. Pemerintah harus menambahkan kewajiban kepada Exxon Mobil mengenai transparansi Capital Expenditure dan Operational Expenditure, karena pengeluaran akan akan diganti (reimburse), dan memiliki kemungkinan mark-up paling besar.
3. Selain kewajiban Exxon Mobil sebagaimana pada Angka 3, Badan Pelaksana juga harus diwajibkan membuat system control and cross check terhadap cost recovery.
4. Pemerintah membentuk tim khusus terkait dengan permasalahan Community Development untuk memastikan kewajiban kontraktor untuk mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terpenuhi sehingga ketakutan banyak kalangan mengenai kasus Freeport akan terulang kembali dapat ditutupi.
5. Pemerintah mengamandemen KKS tersebut dengan menambahkan pasal yang khusus mengenai Community Development yang menjadi kewajiban dari kontraktor bagi kontraktor .
6. Pemerintah hendaknya belajar menegakkan dan menaati peraturan perundang-undangan, jangan sampai dimasa yang akan datang pemerintah kembali mengulang kesalahan dengan melakukan tindakan rekayasa hukum yang menjadi kewenangannya (PP, Perpres, Kepmen dll), hanya karena kepentingan ekonomi “sepihak” dan intervensi asing, karena rakyat Indonesia tidak lagi bodoh untuk menilai apakah tindakan pemerintah tersebut benar dan tepat atau tidak.




























DAFTAR PUSTAKA

I. Buku
Atmosidirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994)
HS, Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia.. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006.
Simamora, Rudi M. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. Jakarta; Jambatan, 2000
Suminto, Bambang. Perkembangan KKS Di Indonesia dan Syarat-syarat Kontrak Kerja Sama. FHUI,Depok. Workshop KKS Migas. 23 Maret 2005.

II. Peraturan
Indonesia. Undang-undang Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pokok Pertambangan. UU Nomor 11 Tahun 1967.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pertamina. UU Nomor 8 Tahun 1971.
Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. UU Nomor 10 Tahun 1974.
Indonesia, Undang-undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi. UU Nomor 22 Tahun 2001.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. PP Nomor 35 Tahun 1994.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. PP Nomor 42 Tahun 2001.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. PP Nomor 35 Tahun 2004.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004. PP Nomor 34 Tahun 2005.
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1480 Tahun 2004.

III. Artikel.
“Blok Cepu”.
“Kado Cepu Buat Ibu Menlu”. .
“Exxon Mobil Segera Garap Cepu.”
Lestari, Diana. “JOA Blok Cepu, B to B atau…” .
“Pelacuran Partai Politik Sebagai Partai Dakwah”,
Sadli, M. “Dilema Pada PT FREEPORT”.
Sadli, M. “Operator Untuk Blok Cepu” .
“Pemerintah Tetap Miliki Blok Cepu” .
“Penerimaan Negara dari Blok Cepu Bisa di Bawah 93 Persen”.
Warsito. “Rockefeller, ExxonMobil, dan Blok Cepu”.
Kurtubi. “Blok Cepu Dan Nasonalisme”.< http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/08/opini/2494245.htm>
“Menelisik Kecurangan Dalam JOA Blok Cepu”. < hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=analisis&id=37 - 48k>
“Pro Kontra Warnai Kontrak ExxonMobil-Pertamina di Blok Cepu”.
“Pengoperasian Blok Cepu Memberikan Manfaat Besar Bagi Indonesia”.
Santoso, Agus. “Dari Freeport ke Blok Cepu”. Jawapos, 23 Maret 2006.
Hadinoto, Pandji R. “ Menyoal Hukum JOA Blok CEPU”. Jawapos, 17 Maret 2006.
Gie, Kwik Kian. “Mental Budak”. Suara Karya, 15 Maret 2006.
Haq, Hayyan ul. “Mengadili Kontrak Blok Cepu”. Republika, 14 Maret 2006


No comments:

Post a Comment