1. Keberdayaan Masyarakat Madani
Pembahasan soal ‘state and civil society’ selalu dikaitkan dengan rekomendasi mengenai pentingnya agenda “people’s empowerment” atau biasa diterjemahkan dengan istilah ‘pemberdayaan masyarakat’. Namun istilah pemberdayaan masyarakat ini menurut saya kurang tepat, karena mengesankan tindakan yang datang dari atas. Sama dengan konsep partisipasi yang seringkali diselewengkan menjadi mobilisasi, istilah pemberdayaan juga bisa berubah penerapannya di lapangan menjadi mobilisasi. Karena itu, kita sebaiknya membedakan antara pengertian ‘mobilised participation’ dengan ‘autonomous participation’, dan antara ‘mobilised empowerment’ dengan ‘autonomous empowerment’. Karena itu, istilah yang lebih tepat dipakai untuk menerjemahkan perkataan ‘people’s empowerment’ tersebut adalah ‘keberdayaan masyarakat’, bukan ‘pemberdayaan masyarakat’ yang cenderung berkonotasi diprakarsai dari atas.
Jika prakarsa pemberdayaan itu datang dari atas, maka penerapannya di lapangan sangat mudah berubah dan menyimpang menjadi mobilisi pemberdayaan (mobilised empowerment).
Dalam perspektif hubungan antara rakyat dan negara di zaman sekarang, memang berkembang pandangan mengenai ‘civil society’ yang di Indonesia dikembangkan melalui gagasan masyarakat madani. Dalam perspektif dikotomis mengenai masyarakat madani atau ‘civil society’ itu, organ negara (state) seolah dilihat sebagai suatu realitas yang diperhadapkan secara kategoris dengan aneka institusi yang hidup di tengah masyarakat. Meskipun rakyat dan masyarakat merupakan elemen yang sejak semula tidak terpisahkan dari pengertian kita mengenai konsep negara, tetapi pengambilan jarak antara konsep negara (state) dan ‘civil society’ ataupun pemahaman mengenai wilayah masyarakat ‘civil’ yang secara langsung diperhadapkan dengan konsep ‘state’ atau wilayah negara, dianggap oleh para ilmuwan sangat membantu dalam usaha kita memahami hakikat yang sejati berkenaan dengan keberdayaan masyarakat ‘civil’ itu. Dalam pendekatan pertama ini kita seakan dibawa kepada jalan pikiran dikotomis dan memperlawankan keduanya secara ketat. Akan tetapi, dalam pandangan yang lain, masyarakat madani dapat pula dilihat sebagai suatu kenyataan hidup yang diasumsikan tumbuh dan berkembang secara mandiri seolah-olah tanpa adanya organ negara. Organ negara seolah-olah dilihat hanya sebagai satu di antara berbagai elemen kelembagaan yang secara komplementer sengaja dibentuk oleh warga masyarakat karena kebutuhan kolektif mereka akan institusi milik bersama itu. Manusia modern memang tidak mungkin melepaskan diri dari apa yang disebut oleh Willian G. Scott dan David K. Hart sebagai ‘organizational imperatives’ yang suka atau tidak suka dan sadar atau tidak sadar mengharuskan setiap orang terlibat dan mengidentifikasikan diri ataupun mengikatkan diri ke dalam satuan-satuan komunitas yang terlembagakan dalam berbagai bentuk klub, kelompok, institusi ataupun organisasi tertentu yang sangat beragam, baik basis keanggotaannya, keluasan kegiatannya, dan cakupan misinya serta daya ikatnya terhadap para anggotanya. Salah satu institusi atau organisasi itu adalah organisasi negara yang ketika kita dilahirkan tiba-tiba tanpa disadari telah mengikatkan diri menjadi warganya (warganegara). Secara tradisional, organisasi negara itu selalu dipahami memiliki daya ‘menguasai’ yang paling kuat kepada warga atau anggotanya bila dibandingkan dengan karakter organisasi yang lain.
Akan tetapi, di zaman globalisasi ekonomi sekarang ini, muncul saingan yang sangat kuat dari korporasi-korporasi besar yang biasa disebut dengan ‘Multi National Corporations’ atau ‘Trans National Corporations’ dengan daya jangkau kekuasaannya yang sangat dominan melalui instrumen produk-produk yang dipasarkan ke dalam kehidupan umat manusia dimana-mana. Korporasi-korporasi besar itu telah berkembang menjadi semacam saingan bagi organisasi negara dalam menguasai umat manusia, terlepas dari batas-batas kenegaraan. Oleh karena itu, keberadaan komunitas kewargaan dalam suatu wilayah kehidupan tertentu memang dapat dikaji tersendiri terlepas dari esksistensi organisasi negara dimana seseorang atau sekelompok orang hidup bersama. Yang diutamakan ketika kita membahas eksistensi komunitas kolektif yang kemudian kita sebut sebagai masyarakat madani itu pertama-tama adalah karaktek kemandirian dan keberdayaannya sebagai sebuah komunitas kehidupan. Ia diharapkan dapat tumbuh secara mandiri, meskipun tidak mendapat dukungan apa-apa dari kelompok atau kelas sosial yang berkuasa yang biasa disebut sebagai pemerintah. Sudah tentu berbagai aspek keberdayaan itu perlu dikembangkan dan memerlukan kondisi serta peluang tersendiri tanpa dihalang-halangi atau dihambat oleh sistem kekuasaan yang ada. Sistem kekuasaan yang tercermin dalam fungsi-fungsi organisasi kenegaraan justru diperlukan sebagai institusi yang bersifat ‘catalitic’, ‘facilitating’ dan ‘empowering’ (autonomously empowering) saja. Negara seperti dalam sejarah abad ke 18-19, hanya difungsikan secara minimal sebagai ‘Nachwachtersstaat’ sesuai dengan doktrin ‘the best government is the least government’. Secara sistematis, peran negara makin hari makin dikurangi, baik dalam bidang politik melalui agenda demokratisasi, pemajuan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup, maupun dalam bidang ekonomi melalui agenda deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi fungsi-fungsi negara kesejahteraan (welfare state). Semua gejala ini terjadi dimana-mana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, pengembangan gagasan masyarakat madani yang mandiri itu merupakan suatu keniscayaan sejarah.
Akan tetapi, idealitas visi masyarakat madani itu sudah tentu tidak perlu sama dari satu negeri ke negeri lain. Masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai keimanan kepada Tuhan dan nilai-nilai tradisi budayanya sendiri, tentu mengidealkan cita-cita hidup Berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, para penggagas ide ‘civil society’ di Indonesia berusaha merumuskannya ke dalam gagasan masyarakat madani menurut ukuran-ukuran moral dan kultural yang tersendiri. Bangsa Indonesia tidak mungkin dipisahkan dari keyakinannya mengenai Kemaha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-cirinya tercermin dalam pemahaman mengenai kualitas sumberdaya insani yang harus merefleksikan keunggulan, baik dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun sekaligus keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta jatidirinya sebagai elemen perjuangan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani itu, perlu dikembangkan agenda pembaruan pemahaman keagamaan yang membebaskan, pembangunan kemandirian ekonomi dan kebudayaan bangsa, serta peningkatan kualitas sumberdaya insani yang menjadi penentu utama kemajuan bangsa kita di masa depan.
2. Pandangan Keagamaan dan Reorientasi Nilai Kemajuan
Agama dan paham ketuhanan harus diakui biasanya sangat kuat daya ikatnya kepada para pemeluknya, sehingga pemahaman terhadap konsep-konsep keagamaan sulit berubah karena pengaruh zaman. Kenyataan inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak memiliki penghayatan keagamaan yang memadai mudah larut dalam gelombang pragmatisme zaman, lalu menafikan sama sekali pentingnya agama dalam kehidupan modern. Apalagi jika mereka itu harus berhadapan dengan kaum idealis yang cenderung sangat puritan dan ‘jumud’ dalam pemahaman keagamaan, justru makin mendorong mereka untuk bersikap ekstrim terhadap keberadaan agama. Untuk sekedar menyebut contoh, tokoh-tokoh ilmuwan seperti Karl Marx dan banyak lagi yang lain dapat digolongkan sebagai orang-orang yang terjebak dalam logika zaman yang mendorong orang berpikir makin ‘positivist’ seperti dibayangkan oleh Auguste Comte. Bahkan seorang teolog seperti Harvey Cox juga pernah percaya akan dalil posivist itu sehingga pada tahun 1970-an sempat menulis buku ‘The Secular City’ (1966) yang menggambarkan berkembangnya kecenderungan terjadinya sekularisasi kehidupan umat manusia bersamaan dengan meningkatnya kehidupan yang sarwa benda di kalangan masyarakat modern. Akan tetapi, adalah Harvey Cox juga yang menulis buku ‘Religion in the Secular City’ (1984) yang menggambarkan betapa luasnya gejala spiritualisme baru yang menyertai perkembangan kehidupan modern yang menyebabkan pandangannya sendiri seperti tercermin dalam buku ‘The Secular City’ yang ditulisnya 18 tahun sebelumnya harus mengalami revisi secara mendasar.
Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir realistis tentang peran agama dalam kehidupan modern sekarang ini, terutama dalam pandangan kita mengenai corak kehidupan dalam masyarakat madani seperti tersebut di atas. Dalam pada itu, pemahaman keagamaan yang ‘jumud’ sudah pasti haruslah ditinggalkan. Diperlukan pemahaman keagamaan yang benar-benar fungsional dalam pembentukan nilai-nilai kemodernan. Agama harus menjadi sumber inspirasi, pendorong dan penggerak yang progressif terhadap langkah-langkah kolektif masyarakat kita menuju ke arah kemajuan. Bahkan agama juga harus pula menjadi motor penggerak yang membebaskan akal sehat (liberating force). Tetapi dalam proses pembebasan itu, agama sedapat mungkin tetap memainkan peran moderating dan mediating (moderating and mediating force) yang mempersatukan wajah kemanusiaan kita dalam kehidupan bersama. Semangat demikian inilah yang semestinya dibangun dalam pola keberagamaan masyarakat kita yang dikenal luas sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Agama yang kita anut dan yakini haruslah memanusiakan kita sebagai manusia dan sekaligus menausiawan kita sebagai warga bangsa yang plural, sekaligus membawa kita kepada upaya-upaya konkrit ke arah jalan kesejahteraan bersama yang damai dan berkeadilan.
Karena itu, kalangan tokoh agama kita hendaklah tampil menyejukkan, tetapi sekaligus membawa obor penerang dan menuntut ke arah karya-karya kemanusiaan yang dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat. Untuk itu, diperlukan kepeloporan, bukan saja dalam wacana tetapi juga dalam tindakan nyata. Dunia Islam terus menerus terpuruk dan kehilangan elan dan api semangat untuk kemajuan. Alih-alih membawa kepeloporan, kaum Muslimin malah saling bertengkar sendiri di antara sesamanya. Sebagian di antara kita seperti sungguh-sungguh ingin melakukan pembaruan, tetapi ide pembaruan dibungkus hanya sebatas retorika. Ada pula di antara kita yang sepertinya sedang melakukan pembaruan sungguh-sungguh, tetapi terdengar seperti orang yang sedang memasang iklan menjual diri sendiri ke luar negeri. Oleh karena itu, agenda pembaruan pemahaman keagamaan kita yang lebih mencerahkan dan lebih menjanjikan kemajuan, masih harus terus dilanjutkan dengan tema-tema yang lebih konkrit untuk kemajuan bangsa kita di masa depan.
3. Agenda Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan
Satu agenda penting yang mesti kita pikirkan pula dewasa ini adalah kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang dapat dijadikan basis bagi kebangunan dan kebangkitan bangsa kita di masa depan. Krisis multi dimensi yang sedang kita hadapi, tidak mungkin diselesaikan dalam jangka pendek. Telah terbukti bahwa sebagai bangsa, kita tidak dapat hanya mengandalkan dukungan dan bantuan luar negeri. Ketulusan kita untuk bersahabat dengan bangsa-bangsa lain terbukti tidak cukup berhasil mengundang ketulusan dukungan bangsa-bangsa lain kepada kita. Pada saat yang bersamaan justru kita menyaksikan betapa sistem dan tatanan kehidupan global makin hari makin tidak memihak kepada kepentingan negara-negara yang lemah seperti Indonesia. Celakanya, jumlah penduduk kita tergolong besar dan bahkan terbesar keempat di dunia yang justru sangat empuk untuk dijadikan arena pasar bagi produk barang dan jasa dari seluruh dunia. Kita menjadi incaran yang sangat menggiurkan untuk terus menerus dipelihara sebagai konsumen yang patuh, meskipun dengan aturan main yang disadari sangat tidak adil. Melalui jaringan sistem pasar bebas, di satu pihak, perlindungan hak-hak milik intelektual di pihak lain, telah menjerat bangsa kita untuk terus menerus menjadi konsumen. Bahkan, adanya agenda demokratisasi dan pemajuan hak asasi manusia di seluruh dunia, telah membuka pula peluang bagi kekuatan internasional yang dikendalikan oleh satu dua negara untuk melakukan intervensi terang-terangan dan bahkan intervensi yang legal ke dalam kedaulatan hukum negara-negara yang lemah seperti Indonesia.
Karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali berpikir ulang mengenai pentingnya agenda membangun kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Di tengah gelombang pengaruh globalisasi kehidupan yang cenderung tidak adil dan menindas bangsa-bangsa yang lemah dewasa ini, kebangkitan kembali bangsa kita itu haruslah bertumpu pada kemandirian basis-basis ekonomi dan kebudayaan di daerah-daerah dan bahkan di desa-desa. Oleh karena itu, agenda otonomi pemerintahan daerah dan otonomi masyarakat daerah yang sedang dikembangkan dengan gencar dewasa ini haruslah dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh bagi upaya memulihkan dan menumbuhkan sistem demokrasi dan kemandirian ekonomi pedesaan kita di seluruh tanah air. Sudah saatnya bagi kaum cendekiawan untuk melakukan reorientasi dari idealisme vertikal yang cenderung melihat ke atas ke arah idealisme horizontal dengan membiasakan diri melihat ke bawah, ke daerah, dan bahkan ke desa-desa tempat darimana asalkan keluarga dan leluhur kita berasal.
Birokrasi pemerintahan kita, mulai dari pusat sampai ke daerah kabupaten, dalam waktu lima tahun mendatang, akan sangat disibukkan oleh agenda reformasi internal yang luar biasa. Dalam suasana krisis keuangan yang belum juga pulih sekarang ini, anggaran pembangunan pusat dan daerah juga tidak memadai untuk diharapkan dapat membantu rakyat di desa-desa dan di daerah-daerah untuk mengandal-kan peranan pemerintah. Jalan satu-satunya adalah membangun keprakarsaan dan kemandirian dari bawah, dan kaum cendekiawan harus berpikir keras untuk memberikan pelayanan keahlian serta fungsi-fungsi pendampingan terhadap rakyat di desa-desa, baik dalam rangka membangun kemandirian ekonomi maupun dalam menumbuhkan iklim demokratisasi. Hanya dengan begitu, kita dapat berharap bahwa kemandirian bangsa kita di masa depan dapat dibangkitkan dengan berbasis pada kemandirian ekonomi dan sistem demokrasi di daerah-daerah dan di desa-desa di seluruh tanah air.
4. Tantangan Pendidikan dan Kualitas Sumberdaya Insani
Kata kunci yang paling pokok untuk menghadapi semua tantangan tersebut di atas tidak lain adalah perbaikan upaya-upaya pendidikan nasional kita dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya insani di tanah air. Indeks kualitas manusia Indonesia dewasa ini terggolong jauh ketinggalan di bawah, bahkan di antara sesama negara ASEAN sekalipun. Pengalaman selama abad ke-20 telah mengajarkan kepada kita betapa kita tidak mungkin mengandalkan kekayaan sumberdaya alam di tanah air kita yang dalam jangka panjang dapat habis terkuras. Oleh karena itu strategi investasi untuk masa depan yang paling strategis adalah pendidikan. Akan tetapi, kesadaran mengenai pentingnya pendidikan ini masih saja terbatas pada retorika dan kesadaran kognitif kalangan elite. Dalam praktek sampai sekarang, semua orang masih juga memperlakukan pendidikan sebagai selah satu sektor saja dalam perencanaan pembangunan nasional. Anggaran pembangunan pendidikan bangsa kita tergolong paling rendah di ASEAN. Perhatian mengenai pentingnya pendidikan baru sebatas kesadaran kognitif (pengetahuan) tetapi belum sungguh-sunguh menjadi sikap. Itu sebabnya, alokasi anggaran mengenai ini kurang mendapat perhatian. Bahkan ada seorang pejabat tinggi pernah membuat pernyataan bahwa dalam impiannya pada suatu hari nanti kegiatan pendidikan juga merupakan wilayah kegiatan masyarakat yang tidak perlu diurus oleh pemerintah. Jika kebijakan demikian diwujudkian dalam kenyataan, maka pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jika hal ini benar-benar diwujudkan, niscaya akan terjadi malapetaka bagi masa depan Indonesia.
Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta situasi krisis ekonomi nasional yang belum juga kunjung pulih sekarang ini, menyebabkan anggaran pendidikan nasional makin berkurang drastis, sementara apresiasi masyarakat dan tokoh-tokoh politik di daerah-daerah tidak menjamin adanya perhatian yang memadai terhadap pentingnya pendidikan. Sebagian terbesar alokasi anggaran, baik yang berasal dari pusat maupun dari anggaran daerah, akan diatur dan ditentukan sendiri oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal, sikap umum yang berkembang di daerah sebagian besar di antaranya cenderung sangat mengutamakan proyek-proyek pembangunan yang bersifat fisik, sehingga sangat mungkin terjadi bahwa program pendidikan dasar di daerah akan terbengkalai yang dapat mempersulit kita membangun pemerataan tingkat pendidikan secara nasional. Hal ini belum lagi dikaitkan dengan persoalan mutu dan relevansi program pendidikan itu sendiri untuk kebutuhan membangun keberdayaan masyarakat kita di daerah-daerah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menyadar bahwa politisi kita di daerah-daerah mengenai pentingnya pendidikan dan bahwa kebijakan pendidikan itu perlu dikembangkan sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian dan keunggulan masyarakat daerah. Itu sebabnya, sejak beberapa tahun belakangan ini, makin gencar usulan agar di daerah-daerah dapat dikembangkan kebijakan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (community based education).
No comments:
Post a Comment