Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH
1. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Prof.Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH) melalui suratnya Nomor UM. 01-10.297 tertanggal 30 Agustus 2004 meminta saya untuk memberikan pembahasan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP) , Khususnya Buku II Bab XVI Hingga Bab XXXIII. Dalam surat tersebut , antara lain dinyatakan demikian: “Topik makalah kami serahkan sepenuhnya kepada saudara, namun tetap berhubungan subtansi Rancangan Undang-Undang tersebut …” Yang dimaksud tentu adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tengah kita bicarakan saat ini.
2. Dalam rangka memenuhi permintaan dan menaati rambu-rambu yang diberikan, maka ini saya beri judul “Telaah Kritis dan sumbangan Konstruktif terhadap RUU KUHP”. Selain karena RUU KUHP ini telah memakan waktu demikian lama, yakni lebih-kurang 38 tahun (terhitung sejak tahun 1966 hingga 2004), juga mengingat RUU ini pembahasannya telah dilakukan berulang-kali dengan melibatkan sejumlah pakar dan banyak pihak. Belum termasuk di dalamnya kegiatan sosialisasi yang telah juga dilakukan lebih-kurang tiga hinga empat kali banyaknya sejak bulan Juli hingga September 2004 ini. Lamanya perjalanan perumusan RUU KUHP ini pada satu sisi boleh jadi menimbulkan kejenuhan bahkan mungkin menjengkelkan sebagian masyarakat, tetapi pada saat yang bersamaan, juga sangat mungkin memberikan kesempatan yang lebih luas dan lebih komprehensif bagi perbaikan RUU KUHP itu sendiri. Alasannya selain pada rentang waktu beberapa tahun terakhir ini telah hadir sejumlah peraturan perundang-undangan baru yang langsung maupun tidak langsung perlu mendapatkan perhatian seperlunya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, juga mengingat perhatian serius berbagai pihak di tengah-tengah masyarakat luas terhadap perkembangan RUU KUHP itu sendiri. Termasuk di dalamnya masyarakat agamis yang menghendaki agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang segera akan dimiliki bangsa Indonesia, itu seberapa dapat harus menyerap nilai-nilai hukum agama sebagai konsekuensi logis dari sebuah bangsa dan negara yang mengaku diri religius.
3. Aspirasi demikian tentu saja sangat Pancasilais dan benar-benar kontitusional. Sebab, seperti kita tahu, Pancasila terutama sila pertamanya Ketuhanan Yang maha Esa -- memberikan landasan/asas yang sangat kokoh bagi setiap pembangunan peradabandan kebudayaan yang ingin ditegakkan di bumi Indonesia. Termasuk di dalamnya -- untuk tidak menyatakan terutama -- pembangunan di bidang hukum. Landasan/asas teologis ini semakin memperoleh bentuknya yang konkrit dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.“ (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu“. Dalam pandangan umat Islam termasuk ke dalam pengertian ibadah (literal maupun terminologis) ialah mematuhi dan menghormati hukum yang telah ditetapkan oleh addin (agama) .
Tentu dalam konteksnya yang sangat luas, seluas kawasan hukum itu sendiri yang oleh para pakar hukum dinyatakan hampir hampir tidak bertepi. Sama halnya dengan sistem hukum konvensional, sistem hukum Islam juga mengenal luas hukum pidana (al-ahkam aljina iyyah) di samping hukum perdata (al-ahkam al- madaniyayah) dan lain sebagainya. Dan dalam banyak hal antara keduanya (hukum konvensional dan hukum Islam) terdapat persamaan dan saling melengkapi. Di sinilah terletak arti penting dari penyertaan hukum pidana Islam di samping pelibatan sistem hukum pidana yang lain dalam upaya menggantikan hukum pidana peninggalan pemerintah Kolonial Belanda dengan hukum pidana nasional yang berbasiskan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
4. Senafas dengan pemikiran di atas, Prof. Dr. Muladi, S.H., ketika masih menjabat sebagai menteri Kehakiman RI dalam sambutanya yang disampaikan Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH, pada kegiatan seminar Hukum Pidana Islam di kampus Institut agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (tahun 1998), antara lain menegaskan bahwa: “Dalam sistem hukum pidana dari zaman kolonial itu termasuk keluarga hukum civil law system atau the Romano-Germanic Family, yang berorientasi pada nilai-nilai individualism/liberalisme. Masih ada konsep atau sistem hukum lain yang sepatutnya dikaji untuk lebih memantapkan upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu, memang sepatutnya dilakukan “kajian perbandingan atau kajian alternatif” (Prof. Dr. Muladi, SH., dalam Muhammad Amin Suma dkk., 2001, hlm. 23). Masih kata Prof.Dr. Muladi, SH, salah satu kajian alternatif/ perbandingan yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional saat ini ialah kajian terhadap keluarga hukum (law family) yang lebih dekat dengan karateristik masyarakat dan sumber hukum di Indonesia. Karakteristik masyarakat Indonesia lebih bersifat monodualistis dan pluralistis. Berdasarkan berbagai kesimpulan seminarnasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang bersumber dari nilai-nilai hukum adat dan hukum agama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian perbandingan dari sudut keluarga hukum tradisional dan agama (traditional and religianus law family). “Kajian komparatif yang demikian yang demikian tidak hanya merupakan suatu kebutuhan, akan tetapi juga (merupakan) suatu keharusan “ (Prof. Dr. Muladi, SH., dalam Muhammad Amin Suma, dkk., 2001, hlm.24).
5. Menindaklanjuti hasil seminar Hukum Pidana Islam di atas, pada tanggal 1-2 Oktober 2001, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) – kini Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) – Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI menyelenggarakan lokakarya di Jakarta Selatan, dengan mengangkat tema: “Kontribusi Syariah terhadap RUU KUHP“ hasil lokakarya yang dimaksudkan, setebal 82 halaman, telah diserahkan ke pihak Departemen Kehakiman dan HAM cq Direktorat Peraturan Perundang-Undangan beberapa hari setelah lokakarya tersebut. Hasil lokakarya tidak hanya diserahkan kepada Departemen Kehakiman dan HAM RI, akan tetapi juga disebarluaskan kepada beberapa lembaga terkait di samping sejumlah pakar hukum pidana yang terlibat dengan penyelenggaraan lokakarya. Usulan serupa juga dimaksudkan oleh beberapa Institut Agama Islam Negeri yang lain, diantaranya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Wali Songo Semarang. Hasil lokakarya intinya memberikan masukan dan usulan perubahan pasal demi pasal berikut alasan/argumentasinya mengapa bunyi pasal yang bersangkutan perlu diubah/diperbaiki/dilengkapi. Sebagai ilustrasi, dalam naskah RUU KUHP yang lama Buku I Bab II Pasal 26 ayat (3) dirumuskan: Jika wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga“. Oleh Tim ahli IAIN Jakarta diusulkan supaya pasal ini berbunyi: “Jika wakil sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga atau orang lain yang kebenarnya dapat diterima secara hukum“. Alasanya, “Hukum (seperti dimaksud UUD 1945), harus melindungi semua orang, termasuk yang hidup sebatang kara (Hasil lokakarya “Konstribusi Syariah terhadap RUU KUHP”, 2001, hlm.1).
6. Dari sekian banyak usulan hasil lokakarya yang disampaikan itu, sebagian tampak diterima/diakomodir oleh tim perumus/revisi RUU KUHP, tetapi sebagian yang lain, jelas belum/tidak diterima untuk tidak mengatakan ditolak. Diantara contoh yang diterima ialah semisal penempatan alasan pemaafan yang kini termuat dalam Bab II (Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana) Bagian Kedua (Pertanggungjawaban Pidana) Paragraf 5. Sedangkan diantara contoh yang belum/tidak diterima ialah perumusan tentang delik zina. Dalam hukum pidana Islam, zina didefinisikan dengan hubungan kolamin (persenggamaan) antara seorang pria dan wanita yang bukan suami istri, itu dilakukan oleh orang dewasa maupun belum dewasa, dan apakah itu dilakukan atas dasar suka sama suka maupun atas dasar paksaan (perkosaan), dan apakah pelaku zina itu bersuami istri atau tidak bersuami/tidak beristri. Pendeknya, setiap persetubuhan/persenggamaan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan di luar hubungan perkawinan yang sah, maka tergolong ke dalam zina. Sedangkan RUU KUHP (perhatikan Pasal 419 dan seterusnya) masih “ mentolerir” kemungkinan perbuatan zina menurut definisi yang telah dirumuskan di atas.
7. Lepas dari penerimaan terhadap sebagian dan penolakan terhadap sebagia yang lain dari materi yang diusulkan lokakarya, yang jelas, secara umum RUU KUHP ini dapat dikatakan sesuai atau sekurang-kurangnya – insya Allah tidak ada yang bertentangan dengan hukum pidana Islam (HPI). Seperti dikenal luas oleh masyarakat Muslim, bahwa pidana (jarimah jamaknya jara im) itu dalam hukum pidana Islam secara umum dan global lazim dibedakan ke dalam tiga kelompok besar yakni jarimah (pidana) hudud, jarimah qishash- diyat dan jarimah takzir ( Abdul Qadir Audah,jil. 1, (t.t), h. 78-79).
8. Dibandingkan dengan tindak pidana hudud dan qishash- diyat, yang jumlahnya sangat terbatas, tindak pidana takzir justru memiliki ruang gerak yang sangat luas dan elastis. Dalam Buku II RUU KUHP, kita jumpai sejumlah pasal pidana ancaman hukumanya dapat dikatagorikan ke dalam pidana takzir. Berlainan dengan jarimah hudud dan qishash diyat yang pada dasarnya bersifat dogmatif meskipun tetap filosofis, pidana takzir lebih dinamis dan kompromi. Dalam hal pidana takzir, wewenang untuk menerapkan jenis dan kadar hukum kepada pelaku tindak pidana justru diserahkan kepada ulil amri (pemerintah) dan atau lembaga lain yang berwenang untuk itu. Lagi pula , pembentukan undang-undang memang merupakan sesuatu yang penting, tetapi yang tidak kalah penting untuk tidak mengatakan yang lebih penting lagi adalah penegakan hukum (law enforcement-nya). Sebab, seperti pernah diingatkan Umar bin al-Khaththab, la-uanfa u takallumun bihaqqin la-nafadzalah. Maksudnya, percuma saja berbicara tentang kebenaran (dan keadilan) yang tidak ada realisasinya.
9. Buku Kesatu, yang pada intinya memuat Ketentuan Umum tentang Pidana berikut asas dan filsafat pemidanaan, telah lebih dahulu disosialisasikan dan telah mendapatkan tanggapan positif dari sejumlah pembahas maupun peserta yang mengikutinya. Kini, seperti yang pernah diingatkan pada bagian awal makalah ini, pembahasan lebih difokuskan terhadap isi Buku II Bab XVI hingga Bab XXXIII. Secara umum, Buku II sebagaimana halnya Buku I, dapat dikatakan telah cukup memadai. Namun demi kelengkapan dan kesempurnaan RUU KUHP ini, masih perlu ditinjau kembali beberapa pasal yang ada di dalamnya, baik yang berhubungan dengan materi hukum maupun hal-hal yang bersifat redaksional. Diantara contohnya ialah:
a. Bab XVI, mengatur perihal Tindak Pidana Melantarkan Orang .
Dalam pasal 445 dikatakan bahwa: pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 442, Pasal 443, atau Pasal 444 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf d. Bunyi Pasal 84 ayat (1) huruf d, yaitu pencabutan “hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan. “Pertanyaanya, apa relefensi hukum pencabutan “hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan” bagi seseorang yang melakukan tindak pidana menelantarkan orang lain terutama yang diatur dalam Pasal 443 dan Pasal 444? Untuk itu, mungkin yang dimaksud dalam Pasal 445 atas adalah Pasal 84 ayat (1) huruf e yakni hak menjadi wali, wali pengawas, atau pengampu pengawas, dan seterusnya...
b. Bab XVII dengan judul Tindak Pidana Penghinaan, pemakalah
Mengusulkan untuk ditambah dengan kata-kata dan pemfitnahan sehingga Bab XVII ini mengatur perihal penghinaan dan pemfitnahan. Alasannya karena pasal-pasal yang termuat dalam Bab XVII ini ternyata sering pula menyebut-nyebut pemfitnahan di samping penghinaan.
10. Selain peninjauan kembali terhadap pasal-pasal yang ada di dalam Buku II, juga masih perlu dipertegas tentang beberapa persoalan yang diatur dalam Buku II RUU KUHP ini. Diantaranya ialah tentang ancaman hukuman yang diatur dalam Buku II hampir atau bahkan selalu menyatakan hukuman denda yang mengiringi pidanaa penjara. Klarifikasi yang ingin pemakalah peroleh adalah untuk siapa uang yang dibayarkan oleh terhukum/terpidana itu? Apakah untuk Negara atau pihak korban/keluarganya? Kalau uang denda yang dimaksudkan itu untuk negara, tentu tidak pada tempatnya mengingat ini berarti bahwa negara memperoleh uang di atas penderitaan warga-negaranya. Sebaliknya, jika uang denda yang dimaksudkan untuk pihak korban/keluarganya, maka seyogyanya dicantumkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang.
11. Masih melengkapi KUHP yang baru nanti, saya masih ingin menyampaikan dan memperkuat kembali usulan yang pernah saya sampaikan pada saat revisi RUU KUHP tanggal 20-21 Oktober 2003 di Hotel Aryaduta, tentang perlunya penambahan Bab dan Pasal dalam KUHP ini. Bab yang dimaksudkan adalah BAB XXXIII dengan judul KETENTUAN LAIN. Isinya:
a. Barang siapa yang terbukti melanggar undang-undang yang dinyatakan berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun, atau denda paling banyak denda katagori III.
b. Ketentuan pidana yang disebutkan dalam ayat (1) pasal ini hanya dikenakan kepada pelanggaran undang-undang yang pemindanaannya belum/tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini..
Bab XXXIII, berubah menjadi Bab XXXIV dengan judul dan isi pasal yang sama.
Demikianlah makalah singkat ini saya sampaikan, semoga kehadiranya tetap memberikan manfaat bagi perbaikan dan pelengkapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah kita dambakan. Amin, semoga !
Jakarta, 08 September 2004
Disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
No comments:
Post a Comment