A. Pendahuluan
Perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap sumber daya wilayah pesisir dan lautan yang besar akhir-akhir ini membawa kepada keputusan politik untuk lebih mengintensifkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Keputusan ini bukan hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi nasional yang sedang dilanda krisis tetapi juga oleh kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh sumber daya kelautan tersebut. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 adalah sebuah ironi jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap sektor ini.
Selain itu, 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritime utamanya seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.
Selama ini sektor kelautan belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap kegiatan pembangunan. Pada tahun 1997, kontribusi sumber daya sektor kelautan (kontribusi kegiatan pembangunan kelautan seperti perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi, dan lainnya) terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 12,4 persen (Rp 56 triliun). Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi pembangunan kelautan yang dimiliki. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, RRC, Jepang dan Denmark yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia kontribusi sekor kelautan mereka terhadap PDB-nya sudah di atas 30 persen, (Republika, 22-12-1999).
Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia masih melimpah dan belum dieksploitasi secara optimal. Potensi lestari sumber daya perikanan laut mencapai 6,6 juta ton dan baru termanfaatkan sekitar 60 persen. Lebih rinci, potensi sumber daya perikanan ini terdiri dari ikan pelagis 3,5 juta ton/tahun, ikan demersal 2,5 juta ton/tahun, tuna 166,0 ribu ton/tahun, udang 69,0 ribu ton/tahun, cakalang 275,0 ribu ton/tahun, dan ikan karang 48,0 ribu ton/tahun. Sumbangan sektor perikanan terhadap sektor pertanian adalah sekitar 10,3 persen per tahun dengan tingkat pertumbuhan yang positif, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Data menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi sebesar 2 persen terhadap PDB tahun 1992, (ADB, 1996) dan sampai pada kuartal III tahun 1998, sektor ini telah menyumbang sekitar 1,87 persen, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Sektor ini juga memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 4,3 juta nelayan dan petani nelayan serta menyediakan pendapatan tambahan bagi penduduk di wilayah pesisir Indonesia (ADB, 1996). Namun demikian, beberapa masalah seperti tangkap lebih (over-fishing), penangkapan secara illegal, penurunan kualitas sumber daya dan habitat, dan polusi mengancam sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia yang pada gilirannya dapat mempercepat penurunan ketersediaan ikan pesisir dan penurunan hasil tangkapan ikan oleh masyarakat nelayan kecil yang bermukim di wilayah pesisir. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengeksploitasian sumber daya wilayah pesisir dan lautan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat diperlukan suatu strategi dan pendekatan pengelolaan yang terpadu dan menyeluruh (integrated and comprehensive management) yaitu dengan melibatkan semua pihak terkait (stakeholders) dalam seluruh proses pengelolaan mulai dari persiapan, perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Makalah ini akan mencoba mengidentifikasi berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan dan menawarkan beberapa alternatif strategi dan pendekatan yang mungkin dilakukan agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
B. Potensi dan Permasalahannya
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas kearah darat dari wilayah pesisir mencapkup batas administratif seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MREP). Sementara batas kearah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MREP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LIPI) dengan skala 1:50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri. et.al: 1996). Secara umum wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Dalam konteks ekologis wilayah pesisir dapat mencakup daerah pedalaman pesisir (coastal hinterland), daerah rendah (lowlands), perairan pesisir (coastal waters), dan laut dalam sampai dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang diantaranya mempunyai hubungan saling keterkaitan satu dengan lainnya. Wilayah pesisir juga dicirikan oleh sejumlah bentuk ekologis seperti pantai berbatu (rocky shores), pantai pasir (sandy beaches), estuaria (estuaries), laguna (lagoons), daerah pasang surut (intertidal flats), lahan basah (wetlands), dan pulau-pulau kecil (small islands). Wilayah-wilayah tersebut membentuk habitat-habitat bagi sejumlah komunitas biologis spesifik termasuk komunitas pasang surut (intertidal communities), hutan mangrove (mangroves), padang lamun (sea grass beds), terumbu karang (coral reefs), dan komunitas-komunitas laut dalam/lepas. Habitat-habitat yang berbeda ini memiliki hubungan yang dekat dan dapat dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem. Kesemua ekosistem ini mengandung sejumlah sumber daya yang merupakan sumber kehidupan utama bagi sebagian besar masyarakat miskin di pesisir. Berikut ini akan dibahas secara garis besar potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan yang menjadi perhatian utama kebijakan sektor kelautan dan permasalahan yang dihadapinya.
Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang sangat produktif dan khas terdapat di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, (Nybakken, 1992). Unit dasar dari pembentuk terumbu adalah polip karang yang bersimbiosis dengan alga yang hidup pada jaringan karang. Hubungan simbiosis ini adalah faktor kunci yang menjelaskan persyaratan lingkungan yang ketat bagi pertumbuhan karang karena alga yang bersimbiosis ini memerlukan cahaya untuk melakukan fotosintesis dan dengan mudah dapat di musnahkan oleh sedimentasi.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivitas organiknya dibandingkan dengan ekosistem lainnya dan juga keanekaragaman hayatinya. Selain memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan bermain bagi berbagai biota; ekosistem terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Selain itu, terdapat beberapa spesies yang berasosiasi dengan terumbu karang – anemon laut, kuda laut, dan lain-lain - yang merupakan bahan pembuatan obat-obatan seperti antibiotik, anticoagulant, antileukemic, cardioactive, dan penghambat pertumbuhan kanker.
Selain itu, terumbu karang merupakan sumber dari pembuatan hiasan dari karang (ornamental corals); karang yang luas dan batu kapur karang yang keras digunakan sebagai bahan pembuatan jalan dan bangunan serta bahan baku industri. Karang batu juga ditambang secara intensif untuk pembuatan kapur. Kegunaan tersebut di atas sering menimbulkan konflik dengan kebutuhan untuk memelihara terumbu karang guna mendukung produksi ikan dan mempertahankan struktur fisik terumbu yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap abrasi. Pengeksploitasian terumbu karang dengan jalan mengambilnya akan mengakibatkan terjadinya kerusakan habitat ikan dan berbagai hewan laut lainnya. Selanjutnya, tutupan karang menjadi berkurang dan pada akhirnya menurunkan tingkat produktifitas organisme yang berdiam disana. Lebih dari itu, keindahan pemandangan taman laut akan memudar sehingga peranan terumbu karang sebagai atraksi wisata akan menghilang dan berpengaruh negatif terhadap penerimaan devisa melalui pariwisata bahari.
Terumbu karang di perairan laut Indonesia diperkirakan seluas 75.000 km2 (Direktur Bina Sumber Hayati, 1997) dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 25-45 ton/km2/tahun pada kondisi yang masih baik. Pada kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan berat produksi ikan akan turun secara drastis menjadi sekitar 2-5 ton/km2/tahun. Pada terumbu karang yang baik panenan lestari yang dianjurkan adalah 20 ton/km2/tahun, (Soekarno et. al, 1995). Jika terumbu karang di Indonesia sebagian besar dalam keadaan baik maka dapat dibayangkan betapa besar produksi ikan yang bisa dihasilkan setiap tahun. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tinggal 7 persen dari seluruh terumbu karang di Indonesia yang kondisinya sangat baik, sementara sisanya sebagian besar dalam keadaan jelek dan sangat jelek, (Suharsono, 1996). Jika dihitung secara ekonomis maka nilai terumbu karang saat ini kurang lebih 70 ribu dolar Amerika per kilometer persegi dari hasil perikanan, pariwisata dan sebagai pelindung pantai terhadap abrasi. Total nilai terumbu karang Indoneisa paling sedikit 4,2 miliar dolar Amerika yang setiap tahun mengalami penurunan paling sedikit 12 juta dolar akibat kerusakan. Jika penangkapan dengan racun diganti dengan cara yang ramah lingkungan maka keuntungan yang akan dicapai diperkirakan sebesar 14,8 juta per tahun, (Republika, 12 Februari 2000).
Walaupun memiliki banyak kelebihan dan kegunaan, terumbu karang merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah rusak akibat tekanan dari aktifitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang secara tidak langsung yang berasal dari aktifitas manusia adalah sedimentasi, limbah industri dan rumah tangga, limbah air panas, hydrocarbon, pestisida, herbisida dan limbah radio aktif. Sementara faktor penyebab secara langsung kerusakan terumbu karang akibat perbuatan manusia adalah penambangan batu karang untuk pembuatan kapur dan penambangan pasir; pengambilan karang dan kerang untuk koleksi dan perdagangan; penangkapan ikan dengan jaring murami, racun, tombak, dan bahan peledak; dan dampak sampingan dari pengembangan pariwisata seperti pembuangan jangkar pada saat menyelam, menginjak karang bagi penyelam pemula dan sebagainya.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan dipercaya memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan sebagainya. Secara ekonomis hutan mangrove berfungsi secara langsung sebagai penyedia kayu yang dapat dipergunakan untuk berbagai jenis konstruksi bangunan, kayu bakar, arang, bahan kertas, dan lain-lain. Sementara daun-daunannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan, pupuk untuk pertanian, dan sebagainya. Adapun secara tidak langsung, hutan mangrove merupakan tempat rekreasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam (ecotourism) yang menarik seperti yang telah dikembangkan di banyak negara antara lain Malaysia dan Australia. Kedua kegunaan secara langsung tersebut sudah lama dikenal dan dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, sementara kegunaan secara tidak langsung belum dikembangkan dengan optimal.
Indonesia terkenal memiliki hutan mangrove luas dan sangat kaya dengan keaneka-ragaman hayatinya. Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sebesar 5.209.543,16 ha pada tahun 1982 dan kemudian mengalami penurunan menjadi sekitar 2.496.185 ha pada tahun 1993, (Dahuri, 1996). Sementara itu, keragaman jenis yang dimiliki oleh hutan mangrove di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dengan total spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, 5 spesies terna dan 2 spesies parasitik, (Nontji, 1993). Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi maka hutan mangrove merupakan aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi ekologisnya tetapi juga dari fungsi ekonomisnya.
Walaupun memiliki kemanfaatan yang sangat tinggi keberadaan hutan mangorve di Indonesia mengalamai keterancaman yang serius. Keterancaman tersebut terlihat dari tingginya aktifitas konversi lahan mangrove untuk tujuan tertentu yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi lahan pertanian pasang-surut, perikanan, pemukiman dan industri adalah ancaman yang paling besar terhadap eksistensi hutan mangrove. Selain itu, sekitar 300.000 ha hutan mangrove telah hilang akibat penebangan liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan yang terjadi di kawasan Indonesia bagian barat. Lebih dari 1 juta ha lainnya di peruntukkan sebagai hutan produksi. Sementara di kawasan Indonesia bagian timur kondisinya tidak separah di bagian barat, (Jameson et al., 1995). Di wilayah pesisir utara pulau Jawa misalnya, berdasarkan data Landsat-TM diketahui bahwa kini tinggal 21.195 ha hutan mangrove, sementara luas tambak sudah mencapai 118.383 ha, (Republika, 12-04-2000).
Ancaman lainnya terhadap keberadaan hutan mangrove yang cukup serius saat ini berasal dari program pemerintah untuk meningkatkan ekspor produksi perikanan khususnya udang yang dikenal dengan PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003. Program ini ditujukan untuk meraih target perolehan devisa negara sebesar 10 miliar dolar dari sektor perikanan pada tahun 2003. Diharapkan sebanyak 6,79 miliar dolar (66,6%) diperoleh dari kegiatan budidaya tambak udang. Untuk itu pemerintah akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya tambak baik melalui pembangunan maupun rehabilitasi jaringan irigasi teknis yang ada. Khusus untuk ekstensifikasi, program ini menargetkan untuk membuka tambak baru seluas 123.800 hektar, sedangkan untuk intensifikasi akan diarahkan pada areal tambak seluas 256.555 hektar sehingga pada tahun 2003 nantinya luas tambak seluruhnya adalah 380.355 hektar. Untuk mencapai target tersebut tidak ayal lagi akan terjadi konversi hutan mangrove menjadi tambak yang makin memperbesar tekanan terhadap eksistensi sumber daya hutan mangrove. Lebih dari itu, perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak akan mengurangi benefit mangrove, hilangnya pendapatan masyarakat lokal, kerusakan lingkungan pesisir, dan tekanan internasional akibat kerusakan biodiversitas sehingga berimplikasi pada penolakan ekspor udang Indonesia.
Untuk mendukung program tersebut dibutuhkan faktor pendukung lainnya seperti benur, pakan, pupuk, pestisida, kapur, bahan bakar minyak, oli, induk udang, artemia dan pakan buatan. Selain itu diperlukan paling sedikit 540 unit panti pembenihan berskala besar (kapasitas produksi 67,5 miliar) dan 4.000 unit skala kecil (kapasitas 12 miliar benur). Keberadaan faktor pendukung berupa berbagai bahan kimia seperti pakan dan obat-obatan (pestisida, pupuk dan antibiotik) dalam jumlah yang relatif banyak akan berdampak pada berkurangnya usia tambak disebabkan oleh sisa makanan dan akumulasi sisa-sisa bahan kimia sera kelebihan dosis pupuk yang dalam waktu tertentu bisa menjadi racun yang mematikan udang dan ikan.
Program ini cenderung berfokus pada pencapaian target ekspor sehingga strategi yang digunakan mengarah pada investasi padat modal (capital intensive). Akibatnya program ini akan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemodal untuk berinvestasi pada sektor tersebut dan membesar jurang antara petani dengan pengusaha besar. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut perlu dicari format dan aturan yang jelas sehingga tidak mengekploitasi lingkungan dan petani, termasuk juga aturan yang dapat menjamin keselamatan dan hak-hak masyarakat setempat.
Padang Lamun (Sea grass beds)
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup diperairan dangkal dan hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini tersusun dari rhizome atau batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta berbuku, daun dan akar. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan berakar jalan, dan membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh sinar matahari. Pada buku-buku dari rhizoma ini tumbuh akar dan batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, dan berbunga. Dengan rhizoma dan akar inilah tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Berbeda dengan tumbuhan lain yang hidup terendam di dalam laut (seperti ganggang atau alga laut), lamun berbuah dan menghasilkan biji. Untuk menghasilkan buah, lamun memiliki sistem pembiakan yang bersifat khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination). Pada umumnya lamun dapat hidup pada semua tipe dasar laut, tetapi padang lamun (sea grass beds) yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal dan biasanya terdapat di perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Padang lamun ini merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivitas organiknya.
Sebaran geografis lamun berpusat di dua wilayah yaitu Indo Pasifik Barat dan Karibia dimana jenis yang terdapat di Indo Pasifik Barat lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di Karibia. Jenis tumbuhan berbunga di laut lebih sedikit dibandingkan dengan di darat karena di laut terdapat hanya 12 jenis (spesies) yang tergolong dalam tujuh marga. Ke tujuh marga yang terdiri dari tiga marga suku Hydrocharitaceae dan 4 marga suku Potamogetonaceae banyak dijumpai di perairan Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang memiliki berbagai fungsi penting dan kegunaan. Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut. Dengan perkataan lain lamun merupakan sumber utama produktivitas primer dan sumber makanan penting bagi berbagai organisme laut. Padang lamun juga berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan daerah perlindungan bagi berbagai jenis udang dan ikan serta biota laut lainnya. Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari. Vegatasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan disekitarnya tenang. Oleh karena itu, padang lamun dapat mencegah terjadinya erosi dan dapat menangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan hewan dan juga manusia serta sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas dan pupuk. Masyarakat di pulau Seribu telah lama memanfaatkan biji samo-samo (Enhalus acoroides) sebagai bahan makanan setelah dicampur dengan kelapa, (Hutomo et.al. 1987).
Tekanan terhadap ekosistem lamun terutama berasal dari kegiatan pengerukan dan reklamasi (penimbunan) laut yang dilakukan untuk keperluan industri maupun pembangunan pelabuhan yang merupakan faktor penyebab kerusakan ekosistem padang lamun. Hal ini mengakibatkan berkurangnya luas areal padang lamun serta rusaknya ekosistem padang lamun yang pada gilirannya akan mempengaruhi biota yang hidup dan mencari makan di ekosistem tersebut. Faktor lain penyebab rusaknya padang lamun adalah pencemaran air laut termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak, pencemaran oleh aktivitas industri, limbah air panas dari pembangkit listrik dan sebagainya.
4. Sumber Daya Lainnya
Disamping sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut juga menyimpan berbagai macam sumber daya lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Sumber daya-sumber daya lainnya itu antara lain adalah berupa bahan-bahan bioaktif seperti omega-3, sunchlorela dan sebagainya serta sumber daya tidak dapat pulih. Sumber daya tidak dapat pulih ini meliputi mineral dan geologi. Mineral dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu mineral strategis terdiri dari minyak, gas, dan batu bara; mineral vital seperti emas, timah, nikel, bijih besi, dan cromite; dan mineral industri termasuk bahan bangunan seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir, (Dahuri et. al. 1996).
Wilayah pesisir dan lautan juga memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan yang sangat penting bagi pembangunan dan kelangsungan hidup manusia serta menyimpan potensi sumber daya energi yang besar. Jasa-jasa lingkungan dimaksud adalah fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Sumber daya energi yang dimiliki oleh kawasan pesisir dan lautan antara lain adalah arus pasang-surut, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan yang dikenal dengan nama Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Potensi-potensi energi tersebut sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan sumber daya yang kita miliki.
Hukum dan Kelembagaan
Pertumbuhan penduduk dan perkembangan kegiatan pembangunan yang makin pesat dewasa ini menyebabkan tekanan terhadap pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan menjadi bertambah. Kondisi ini perlu diantisipasi dengan mengembangkan suatu model pembangunan yang mampu mengintegrasikan prinsip pemanfaatan dan pelestarian. Model ini diperlukan untuk mendorong laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi baik secara nasional maupun regional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat termasuk masyarakat pesisir. Hal ini dapat terwujud apabila tersedia perangkat peraturan dan perundang-undangan yang mampu mendorong proses pemanfaatan potensi laut secara efektif dan efisien dengan dilengkapi oleh kelembagaan yang mampu menanganinya secara profesional dan terintegrasi dengan sektor terkait.
1. Aspek Hukum
Selama ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sebagai landasan hukum bagi pemanfaatan sumber daya alam. Khusus yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara menyeluruh (comprehensive) dan terpadu (integrated) sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangannya. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir masih bersifat parsial dan fokusnya lebih kepada aspek ekonomi dan daripada aspek lingkungan. Kebijakan-kebijakan yang ada menyangkut bidang kehutanan, perikanan, pertambangan, pariwisata, transportasi laut, dan lingkungan hidup telah memasukkan aspek lingkungan didalamnya tetapi kebijakan tersebut umumnya berkaitan dengan pengendalian lingkungan bukan memfasilitasi pengelolaan lingkungan secara terpadu.
Peraturan-peraturan sektoral yang dibuat sebagai bagian dari kebijakan pembangunan dengan lebih memperhatikan kepentingan sektoral telah pula memasukkan aspek pengelolaan lingkungan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut secara individu belum cukup untuk dijadikan landasan bagi pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Ini berarti bahwa dibutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan terpadu dan terkoordinasi yang dapat memfasilitasi pengelolaan secara menyeluruh (comprehensive). Selama ini yang terjadi adalah bahwa tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan terbagi dalam berbagai instansi pemerintah sehingga diperlukan koordinasi lintas sektoral untuk mengakomodasi kebutuhan pengendalian lingkungan dan kepentingan sektoral.
Kondisi yang sama juga terjadi di daerah-daerah dimana peraturan-peraturan daerah (Perda) yang dibuat bertendensi mengikuti kebijakan nasional yang ada. Peraturan-peraturan daerah dibuat untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam kebijakan operasional agar dapat memenuhi kebutuhan daerah. Keberadaan kebijakan di tingkat nasional sangat penting guna menstimulasi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan daerah. Hal ini jelas terlihat bahwa selama ini perumusan kebijakan regional khususnya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam tergantung pada keberadaan kebijakan nasional tertentu mengenai pengelolaan lingkungan dan pada kebijakan sektoral lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Peraturan perundangan nasional yang sering menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan adalah sebagai berikut:
Undang-Undang (UU)
Undang-Undang Dasar 1945
b. Garis-garis Besar Haluan Negara
c. UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE)
d. UU No. 9/1985 tentang Perikanan
e. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
f. UU No 9/1990 tentang Kepariwisataan
g. UU No. 24/ 1992 tentang Penataan Ruang
h. UU No. 5/1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati
i. UU No. 6/1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Rencana Aksi untuk Perubahan Iklim
j. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
k. UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah
Peraturan Pemerintah (PP)
a. PP No. 17/1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Lepas Pantai dan Gas Alam
b. PP No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan
c. PP No. 15/1990 tentang Usaha Perikanan
d. PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air
e. PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya
f. PP No. 25/2000 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
C. Keputusan Presiden (Keppres)
a. Keppres No. 43/ 15 December 1978 tentang Pengesahan Konvensi Perdagangan Internasional Mengenai Spesies Langka dari Flora dan Fauna
b. Keppres No. 39/1980 tentang Penghapusan Pukat Harimau
c. Keppres No. 32/ 25 July 1990 tentang Kawasan Lindung
D. Keputusan Menteri (Kepmen)
a. Kepmen Pertambangan dan Energi KpK
No.4/1973 tentang Polusi dan Pengurangan Polusi Air dalam Eksplorasi dan Eksplotasi Minyak dan Gas Alam
b. Kepmen Negara Lingkungan Hidup No. 02/1/1988 tentang Petunjuk Mengenai Standar Kualitas Lingkungan untuk Air, Limba dan Air Laut
c. Kepmen Negara Lingkungan Hidup No. 45/11/1996 tentang Program Pantai Lestari
d. Kepmen Negara Lingkungan Hidup No. 50/12/1998 tentang Indek Kualitas Terumbu
Karang
Peraturan Daerah (Perda)
Di bawah ini adalah salah satu contoh mengenai keberadaan peraturan dan kebijakan di daerah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir dan lautan di daerah Nusa Tenggara Barat.
a. Perda No. 14/1980 tentang Usaha Perikanan
b. Perda No. 9/1989 tentang Pembangunan Kawasan Kepariwisataan
c. Perda No. 19/1993 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat
d. Perda No. 11/1993 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nusa Tenggara Barat
e. Perda No. 9/1994 tentang Usaha Pertambangan Galian Golongan C
f. Perda No. 6/1996 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
g. Keputusan Gubernur No.453 tahun 1993 tentang Pembentukan Tim Pembina Laut Lestari Dati I NTB
h. Beberapa Keputusan Gubernur tentang Penataan Ruang bagi Kawasan Wisata
i. Instruksi Gubernur No. 2/1986 tentang Pelarangan Pembongkaran atau Penambangan Karang Laut di Wilayah Perairan Nusa Tenggara Barat.
Dari daftar peraturan perundangan di atas terlihat bahwa belum ada peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan jelas mengatur tentang pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Setiap peraturan memfokuskan diri lebih kepada kepentingan ekonomi dan kurang memberikan perhatian terhadap isu-isu lingkungan.
2. Aspek Kelembagaan
Beberapa waktu yang lalu pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan tersebar pada beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Kehutanan, Pertanian, Perhubungan, Pertambangan dan Energi, Pariwisata dan Telekomunikasi, dan Departemen Dalam Negeri. Kementerian Negara Lingkungan Hidup secara formal bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan lingkungan khususnya berkaitan dengan formulasi kebijakan dan koordinator antar lembaga. Kementerian ini tidak memiliki kewenangan untuk mengimplementasikan kebijakan. Kementrian ini menugaskan empat asisten menteri untuk merumuskan kebijakan, perencanaan, koordinasi dan pengawasan. Tidak ada unit khusus dalam kementerian ini yang ditugaskan untuk pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Peran dari kementerian ini penting khususnya dalam proses pengembangan kebijakan baru dan penyadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian, kementerian ini sepertinya tidak dapat memainkan peranan yang penting dalam proses penegakan hukum dalam kaitannya dengan pengendalian dan perlindungan lingkungan khususnya dalam kawasan pesisir dan laut karena tidak ada unit kerja dibawahnya di tingkat provinsi dan kabupaten.
Sejak dibentuknya kabinet reformasi terlihat bahwa perhatian yang lebih besar dari pemerintah terhadap keberadaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan telah diberikan dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Departemen ini memiliki empat Direktorat Jenderal yang salah satunya berkaitan erat dengan isu pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Direktorat jenderal tersebut adalah Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil. Diharapkan departemen yang baru ini dapat memainkan perannya dengan baik sebagai koordinator dari berbagai instansi dan lembaga yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Selain itu, diharapkan pula bahwa kementerian ini dapat mengoptimalkan pengusahaan sektor kelautan untuk mendukung kegiatan pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum dan masyarakat pesisir khususnya, menghilangkan kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat dan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu, departemen ini harus memiliki program yang jelas untuk mengelola sumber daya wilayah pesisir dan lautan sehingga memberikan manfaat yang besar dan berkelanjutan kepada masyarakat dan bangsa.
D. Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan
Kompleksnya permasalahan yang ada membutuhkan penanganan dan pengelolaan yang terpadu. Keterpaduan penanganan dan pengelolaan ini bukan hanya menyangkut tata laksana pengelolaannya tetapi juga muatan atau materi dan prinsip-prinsip yang mendasari keseluruhan aspek manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta evaluasi. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk mengatasi berbagai masalah yang ada saat ini dan masa yang akan datang, memberdayakan masyarakat wilayah pesisir (para pengguna sumber daya wilayah pesisir dan lautan /stakeholders) agar dapat menikmati keuntungan yang diperoleh secara berkesinambungan, mengembangkan program dan kegiatan yang mengarah pada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya wilayah pesisir dan lautan, meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan, dan meningkatkan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu kerangka kerja (framework) yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan agar tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus konservasi lingkungan dapat terwujud. Framework tersebut berisi empat elemen pokok yaitu pengelolaan (management), pengembangan sumber daya manusia dan kemampuan kelembagaan (capicity building), penelitian dan pemantauan (research and monitoring), dan tinjauan kembali dan evaluasi (review and evaluation).
1. Pengelolaan (Management)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT) adalah sebagai berikut:
Menyusun kebijakan yang lebih terpadu karena selama ini tingkat keterpaduan antara kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan lokal masih sangat rendah.
Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) dalam semua kegiatan manajemen mulai dari perumusan ide dan gagasan, perencanaan, pelaksanan sampai dengan monitoring dan evaluasi serta review kegiatan.
Merumuskan mekanisme koordinasi antar lembaga pemerintah agar dapat memfasilitasi kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Meningkatkan kerjasama antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT).
Mengkonsolidasikan dan mengembangkan peraturan perundang-undangan serta penegakkannya berkaitan dengan analisis dampak lingkungan, polusi, perusakan lingkungan, perikanan dan sebagainya.
Dalam rancangan program pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan sebaiknya memasukkan analisa ekonomi (economic costs and benefits analysis) secara lengkap. Termasuk didalamnya adalah rencana perubahan peruntukkan (konversi) lahan hutan mangrove menjadi tambak harus didahului dengan adanya analisis ekonomi secara menyeluruh.
Kawasan pesisir dan lautan perlu diidentifikasi dan dimasukkan sebagai salah satu prioritas utama dalam kebijakan pemerintah.
Lembaga-lembaga ditingkat regional sebaiknya membantu pemerintah mengintegrasikan berbagai sektor yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT).
Lembaga-lembaga pemerintah ditingkat lokal, masyarakat lokal, LSM, dan sektor swasta sebaiknya secara langsung ikut dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu.
Pengimplementasian program pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management) harus mempertimbangkan kondisi khas setiap lokasi.
Dalam kegiatan penyusunan rencana pengelolaan sebaiknya memperhatikan dan mempertimbangkan perbedaan pemanfaatan dan penggunaan dari wilayah pesisir tertentu. Perbedaan karakteristik wilayah pesisir membawa pengaruh pada perbedaan penggunaan (misalnya wilayah pesisir yang dibatasi oleh wilayah perkotaan kota atau perdesaan).
Perlu dibuat zonasi (mintaket) di kawasan pesisir dan lautan yang terdiri dari zonasi untuk preservasi dan konservasi (kawasan lindung) serta pemanfaatan (budidaya). Hal ini diperlukan untuk melindungi species langka dan penting serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya.
Polusi yang berasal dari kegiatan didaratan harus dimasukkan dalam skema manajemen, dan lembaga pengelolaan daratan harus diikut-sertakan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan PWPLT.
Menghilangkan segala kegiatan yang dapat merusak ekosistem sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Sebelum dilakukan rehabilitasi hutan mangrove perlu diselesaikan terlebih dahulu berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat termasuk konflik pertanahan pantai dengan pemerintah dan pengusaha.
Pelaksanaan PWPLT memerlukan dana yang besar, oleh karena itu perlu dijalin dan dikembangkan hubungan kerjasama dengan berbagai lembaga penyandang dana baik di tingkat nasional maupun internasional.
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kemampuan Kelembagaan (Capacity Building)
Pengembangan kapasitas tidak hanya diperlukan oleh aparat dan lembaga pemerintah pelaksana program pengelolaan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengembangan kapasitas masyarakat pesisir yang selama ini hidupnya jauh dibawah rata-rata kesejahteraan kelompok masyarakat lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kapasitas dalam rangka pengelolaan sumber daya kawasan pesisir dan lautan secara terpadu adalah sebagai berikut:
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat pesisir serta stakeholder lainnya tentang arti penting sumber daya wilayah pesisir dan lautan melalui program penyadaran masyarakat yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
Melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi seluruh anak bangsa dalam ikut mendukung suksesnya program pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu.
Perlu dikembangkan sumber mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan bagi masyarakat pesisir agar tidak terlalu tergantung pada sumber daya perikanan yang bagi masyarakat kecil sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Pengembangan sumber mata pencaharian alternatif tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pelatihan dan bimbingan lapangan pasca pelatihan.
Kemampuan masyarakat dalam kaitannya dengan usaha perikanan melalui budidaya perikanan laut (mariculture) perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan bimbingan untuk mendukung program PWPLT. Keterampilan seperti pembuatan rumpon, terumbu karang buatan (artificial reefs) dan keramba apung sangat diperlukan oleh masyarakat pesisir dalam upaya mengembangkan daerah penangkapan (fishing ground) sehingga hasil tangkapan ikan mereka dapat ditingkatkan. Selain itu, nelayan juga perlu dibekali dengan pengetahuan manajemen dan pemasaran serta teknologi pengawetan ikan agar usaha perikanan mereka dapat berkembang dan menjadi usaha (business) yang menguntungkan dan memberi manfaat yang lebih besar.
Menyediakan sumber daya kapital berupa kredit atau dana bergulir (revolving fund) bagi masyarakat pesisir untuk mendukung kegiatan ekonominya. Pemberdayaan masyarakat akan sulit dilakukan jika tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan langkah awal dalam memberdayakan masyarakat.
Meningkatkan kapasitas institusi lokal dalam merumuskan aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku serta menegakkannya dalam rangka pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan terpadu.
Melakukan berbagai kegiatan pelatihan teknis khususnya metodologi riset, analisis dampak lingkungan, manajemen strategis, teknologi komputer seperti Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh (remote sensing) dan ekonomi perikanan serta wisata bahari bagi pelaksana dan manajer program PWPLT baik di pusat maupun di daerah.
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan PWPLT melalui pendidikan formal seperti S1, S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri perlu terus dilakukan.
Mendirikan pusat data dan informasi serta perpustakaan lengkap mengenai pesisir dan kelautan. Juga menyelenggarakan pendidikan dan latihan, seminar dan forum-forum ilmiah lainnya dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dan pelaksana PWPLT.
Penelitian dan Pemantauan (Research and Monitoring)
Penelitian dan pemantauan (research and monitoring) merupakan dua hal yang harus terus menerus dan secara teratur dilakukan guna mengembangkan berbagai kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Selain itu, penelitian dan pemantauan diperlukan untuk mengantisipasi dinamika perkembangan wilayah pesisir dan lautan serta untuk memenuhi kebutuhan informasi dan melengkapi basis data pesisir dan kelautan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam kaitannya dengan penelitian dan pemantauan adalah sebagai berikut:
Penelitian dan pemantauan perlu dilakukan sebagai sebuah proses yang terus-menerus karena kedua-duanya saling melengkapi. Penelitian dan pemantauan dapat memberikan informasi mengenai proses manajemen yang sedang berlangsung.
Penelitian mengenai hambatan dan peluang secara sosial ekonomi di tingkat lokal dalam penerapan pengelolaan berbasis masyarakat dalam rangka PWPLT perlu dikembangkan.
Penelitian mengenai rancangan kawasan perlindungan laut dalam hubungannya dengan dinamika populasi, proses migrasi, sebaran larva (larval dispersion), dan proses-proses biologi, fisik dan sosial perlu dilakukan.
Melalui penelitian yang berkesinambungan perlu dikembangkan teknis penilaian cepat (rapid assessment techniques) untuk mengevaluasi kondisi berbagai sumber daya wilayah pesisir dan lautan seperti terumbu karang, padang lamun, ikan, mangrove dan sebagainya.
Penilaian terhadap polusi laut yang bersumber dari daratan perlu diberikan perhatian lebih besar lagi.
Perlu dilakukan evaluasi secara sosial ekonomi manfaat dari sumber daya wilayah pesisir dan laut secara berkesinambungan.
Pemantauan kondisi fisik dari ekosistem sumber daya wilayah pesisir dan lautan perlu dilakukan secara teratur agar dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang memberi efek negatif terhadap keberlangsungan hidup dari organisme yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Perubahan gelombang permukaan air laut sebagai dampak tsunami atau tumpahan minyak di laut akan dapat segera diantisipasi jika dilakukan pemantauan secara terus menerus.
Penelitian yang dilakukan diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen sehingga tujuan konservasi disatu pihak dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dilain pihak dapat diwujudkan. Beberapa topik penelitian yang perlu diperhatikan antara lain adalah saling keterkaitan antar ekosistem dari berbagai sumber daya pesisir dan lautan, luas areal perlindungan, ekotoksikologi, ambang batas limbah (levels of discharge) yang dapat ditolerir, penelitian yang memiliki implikasi terhadap manajemen, metode pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, penelitian sosial ekonomi, penelitian kebijakan, isu-isu yang berkaitan dengan hak pemanfaatan sumber daya (access issues) termasuk konflik diantara stakeholders (user conflict), penelitian mengenai kepemilikan lahan (research on tenure), dan hak milik (property right).
Penelitian bersama dengan negara lain yang memiliki masalah yang sama perlu dikembangkan.
Perlu dikembangkan sebuah sistem informasi manajemen di daerah dengan memanfaatkan sistem informasi geografis sehingga data mengenai daerah tersebut dapat diakses dengan mudah oleh berbagai pihak. Selain itu, sistem informasi manajemen ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.
Perlu dilakukan pelatihan dan bantuan teknis agar masyarakat setempat (local) dapat melakukan kegiatan pemantauan (monitoring) setiap saat.
4. Tinjauan Kembali dan Evaluasi (Review and Evaluation)
Kegiatan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah meninjau kembali (review) apa telah dilakukan selama ini. Peninjauan kembali dilakukan secara teratur guna mengevaluasi semua kegiatan dan perubahan yang terjadi selama proses implementasi manajemen. Hasil review digunakan untuk menyempurnakan rencana strategis yang ada dan menyusun kembali rencana, kebijakan dan pendekatan baru untuk meningkatkan kinerja manajemen sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Peninjauan kembali dilakukan disemua tingkat baik lokal, regional, nasional dan juga internasional. Ini penting karena isu pesisir dan lautan merupakan isu internasional dan dibahas secara khusus dalam Agenda 21 pasal 17. Pertemuan dalam berbagai forum dan level ini diharapkan dapat dijadikan ajang tukar menukar informasi dalam rangka penyempurnaan strategi, pendekatan dalam PWPLT dan juga untuk menggalang kerjasama.
E. Penutup
Pendekatan secara menyeluruh dan terpadu adalah solusi yang paling tepat untuk pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Keterpaduan dari berbagai pihak termasuk pemerintah di berbagai departemen dan tingkat, sektor swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal adalah syarat utama berhasilnya pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Apa yang tersaji di depan merupakan sumbangan pemikiran yang tentu saja masih jauh dari memadai mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada. Oleh karena itu, forum ini dapat setidaknya memberikan kontribusi seberapapun nilainya bagi pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan sebagai wujud kepedulian kita terhadap isu tersebut. Semoga semboyan “Jalesveva Jayamahe” dapat terwujud dan lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” kembali didendangkan dengan bangga oleh anak cucu kita yang merupakan penerus perjuangan nenek moyang kita.
Daftar Pustaka
Asian Development Bank (ADB): Technical Assistance to the Republic of Indonesia for the
Coral Reef Rehabilitation and Management Project, Jakarta 1996.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat: Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Lautan. 1998.
Bengen, Dietrich; Amiruddin (ed). Prosiding Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL IPB dan CRC URI, Bogor 1999.
Cesar, Herman: Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank and Environmental Sustainable Development Vice Presidency, Jakarta 1996.
Cicin-Sain, Biliana; Knecht, Robert W: Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, Washington DC 1998.
COREMAP: COREMAP Project Documents, P30 LIPI Jakarta 1998.
Dahuri, Rokhmin; Rais, Jacub; Ginting, SP; Sitepu, J: Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1996.
Dahuri, Rokhmin: Ekonomi Politik Sektor Perikanan: Dalam ‘Harian Umum Republika, 10 Mei 1999.
Direktur Bina Sumber Hayati Dirjen Perikanan Departemen Pertanian: Peranan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Bagi Kepentingan Perikanan. Dalam ‘Prosidings Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang, Jakarta, 10-12 Oktober 1995. Panitia Program MAB Indonesia, LIPI, 1997.
Harian Umum Republika: Sarwono: Budidaya Kelautan Mendesak Dikembangkan. Republika, 22-12-1999.
Hutomo, M; Azkab, MH: Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Dalam ‘Oseana’, Vol XII, Nomer 1, hal. 13-23, 1987.
Jameson, S.C; McManus, J.W; Spalding, M.D: State of the Reefs; Regional dan Global Perspectives. ICRI, Washington 1995.
Kay, Robert; Alder, Jackie: Coastal Planning and Management. E & FN SPON, London and New York 1999.
Kenchington, R.A; Hudson, B.E.T.: Coral Reef Management Handbook. 2nd Edition, UNESCO, ROSTEA Jakarta 1987.
Moosa, Kasim: The Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). This paper was presented in National Meeting for COREMAP Preparation, in Bali, February 1996.
Nybakken, James W: Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Jakarta 1992.
Soekarno; Suharsono: Terumbu Karang Indonesia Potensi, Manfaat dan Masalah yang Dihadapi. Makalah disajikan dalam Workshop/Pertemuan Teknis Perdagangan (ekspor) Bunga Karang di Jakarta 27-28 September 1994.
Suharsono: The Status of Coral Reef Resource Systems and Current Research Needs in Indonesia. p. 30-32. In. Munro, JL; Munro, PE (eds): The Management of Coral Reef Resource Systems. ICLARM Conf. Proc. 44, 124 p, 1994.
The International Coral Reef Initiative: Partnership Building and Framework Development. Silliman University Dumaguete City, The Philippines, 1995.
Tomascik, T. (1993): “Coral Reefs Ecosystem: Environmental Management Guidelines”. In: EMDI Environmental Report No.35, Halifax and Jakarta.
*) Makalah ini disampaikan dalam lokakarya bidang lingkungan dengan tema, “Menuju Eksplorasi Laut dan Pesisir Pantai yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Institute for Science and Technology Studies ISTECS Europa, Hamburg, 15 Juli 2000
**)Karya siswa S3 pada Geographisches Institut, Ruhr Universität Bochum dengan bidang kajian pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
No comments:
Post a Comment