Posted on Oktober 7, 2010 by devidarmawan
Sepintas terlihat bahwa disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para pencari keadilan. Masyarakat tentunya akan membandingkan putusan hakim secara general dan menemukan bahwa disparitas telah terjadi dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum. Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman yang berbeda. Misalnya dalam kasus perkosaan yang sifat dan karakteristikanya sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang jauh berbeda. Bercermin dari hal itu maka masih dapatkah Negara ini dikatakan sebagai Negara hukum?
Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, yakni:
“Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari ini akan Nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem unutk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus yang sebanding.”[1]
Disparitas pemidanaan merupakan permasalahan pada pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari diangkatnya permasalahan tersebut dalam musyawarah Nasional VII Ikatan Hakim Indonesia di Pandaan Jawa Timur 1975, Musyawarah Nasional VIII Ikatan Hakim Indonesia di Jakarta Tahun 1992.
Adanya disparitas pidana dalam penegakan hukum ini juga mendapat tanggapan dari Harkristuti Harkrisnowo yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa:
Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.[2]
Dari tulisan Harkristuti Harkrisnowo tersebut dapat pula dipahami bahwa pendapatnya tersebut adalah salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi dipenuhi atau diberikan oleh Hakim dalam menegakkan hukum.
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa continental, yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.[3]
Sebelum mengulas lebih dalam mengenai problematika disparitas pidana, terlebih dahulu baiknya dipahami mengenai pengertian disparitas pidana, yakni:
Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.[4] Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama
2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama[5]
Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.
Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu sendiri. Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang pernah dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya teori-teori dan kebijakan pidana sebagai berikut:[6]
- Prof. Sudarto
yang dimaksud dengna pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
- Prof. Ruslan Saleh
Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu
- Fitzgerald
Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan
- H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:[7]
1. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan.
2. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar-benar melakukan tindak pidana
3. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar ketentuan hukum
4. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana
5. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana.
- Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang: [8]
1. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum
2. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar
3. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan
4. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.
Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut, oleh Muladi disimpulkan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:[9]
1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan pada sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut Undang-Undang. Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar bagi pelaku tindak pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap para pelaku tindak pidana sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengadilan telah berlaku tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara ideologis sebenarnya disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai pencerminan salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan penjahat.[10]
Seperti kata pepatah tidak akan ada asap jika tidak ada api, maka begitu pula yang terjadi dalam hal adanya disparitas pidana yang tumbuh di Indonesia, tentu ada pemicu sehingga terbentuklah disparitas pidana dalam penegakan hukum selama ini.
Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum sendiri. Didalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana
(straafsoort) yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana dalam Undang-Undang.
Contoh system alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal 188 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidnna denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum- bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.”
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat adanya bebarapa pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana yang sama secara alternatif. Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang akan diterapkan. Disamping itu hakim juga bebas untuk memilih beratnya pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja.
Sehubungan dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh sudarto bahwa: kebebasan hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk) bagi masyarakat, maka pedoman memberikan pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya sama sekali.[11]
Muladi juga menyatakan bahwa disamping hal-hal yang bersumber pada hukum, maka ada hal-hal lain yang menyebabkan disparitas pidana, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa dipisahkan karena sudah terpbaku sebagi atribut seseorang yang disebut sebagai human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang social, pendidikan agama, pengalaman dan perilaku social. Hal-hal itu yang seringkali memegang peranan penting di dalam menentukan jenis dan beratnya hukuman daripada sifat perbuatannya sendiri dan kepribadian dari pelaku tindak pidana yang bersangkutan.
Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik lebih baik berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik lebih baik daripada aliran positif akan memidana lebih berat sebab ia beranggapan bahwa pidana itu harus disesuaikan dengan kejahatan. Jadi yang menjadi sorotan disini adalah kejahatan itu sendiri. Dan sebaliknya hakim yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan sebab orientasinya bukan lagi kejahatan tetapi kepada sipenjahat itu sendiri. Jadi pemidanaan harus sesuai dengan penjahat.
Dengan adanya aliran modern tersebut dimana kepercayaan digantikan oleh masa ilmu pengetahuan yang didasarkan atas penemuan penemuan ilmu social maupun ilmu ilmu alam, guna menunjang pembinaan narapidana berdasarkan filsafat individualisasi, maka faktor faktor penyebab disparitas pidana makin banyak. Hal ini disebabkan karena diakui adanya keadaan tertentu, baik fisik, mental, maupun lingkungan sebagai keadaan keadaan yang meringankan.[12]
Sebagai contoh dalam hal ini faktor-faktor jenis kelamin (Sex), residivisme dan umur (age). Wanita cenderung dipidana lebih ringan dan jarang sekali dipidana mati. Pidana terhadap residifis akan lebih berat dan bahkan menurut KUHP Indonesia (Pasal 486, 487, dan 488) secara formal dapat dijadikan dasar hukum untuk memperkuat pidana.
Disparitas pemidanaan ini menurut barda nawawi tidak dapat dilepaskan dari sistem perumusan dan pengancaman pidana dalam perundang-undangan yang ada. Dengan perkataan lain dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya sumber disparitas pidana. Dan apabila ini dibiarkan akan berakibat timbulnya sikap apatis, sinis dan ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan main hakim sendiri atau mengadakan reaksi langsung terhadap si pelaku tindak pidana dan aparat penegak hukum, maka undang undanglah yang menjadi sumber tidak langsung terjadinya disparitas pidana.
Jika dilihat dari uraian diatas maka dapat disimpulkan terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya disparitas pidana, faktor penyebab itu antara lain sebagai berikut:
1. Masalah Falsafah Pemidanaan
Dalam KUHP perumusan falsafah pemidanaan yang dianut dalam WvS yang diundangkan tahun 1881 itu adalah pembalasan (werking der vergelding). Falsafah ini pada tahun 1886 ditinggalkan karena pengaruh aliran klasik baru yang mendapat ilmu yang baru muncul waktu itu yaitu psikologi yang menghendaki agar pidana yang dijatuhkan hakim itu haruslah sesuai pula dengan keperibadian si pelanggar, asas ini kemudian dikenal sebagai asas individualisasi.
Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam pasal baru yang disisipkan pada tahun 1927 yaitu pasal 14 a. dalam memori van toelichting dari wvs tersebut dijelaskan :[13]
“dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar- dengan adanya tindak pidana itu, kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang si pembuat dulu? Apakah kesalahan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak-watak jahat yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimal dan minimal harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan diatas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimal pidana yang biasa itu sudah memadai. “
Dengan adanya perubahan teori pemidanaan yang dianut, prof. sudarto mengatakan, [14]
“MvT ini berlaku juga untuk WvS kita, karena Wvs ini meneladani Wvs Belanda tahun 1886 tersebut dengan penyimpangan penyimpangan yang disesuaikan dengan keadaan khas hindia belanda sebagai Negara jajahan juga karena keadaan masyarakatnya berlainan. Namun karakteristiknya atau jiwa dan falsafah yang menjadi dasar adalah sama.”
Hukum pidana yang berlaku sekarang meskipun hasil dari aliran neo klasik dengan adanya pengaruh aliran modern disebut juga schuld strafrecht (hukum pidana kesalahan) yang mengandung arti bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat itu. Jadi meskipun dalam wvs kita tidak ada pasal yang memberikan pedoman pemberian pidana tetapi dengan adanya penjelasan tersebut diatas maka dapat juga dikatakan ada pedoman yang memberi ukuran kepada hakim dalam menentukan pidana.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa ada beberapa bentuk atau macam falsafah atau tujuan pemidanaan yaitu berupa pembalasan (aliran klasik) dan berupa pembinaan dan perbaikan terpidana menurut aliran modern.
Menurut Andi Hamzah, dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (dari Retribusi ke Reformasi), halaman 15-16, tujuan pidana yang berkembang dari dulu sampai kini telah menjurus pada arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri atau pihak yang dirugikan atau korban kejahatan. … Tujuan yang dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), …; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang disebut terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja tujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Pandangan ini merupakan salah satu pemikiran dari ahli hukum Indonesia bahwa filosofi pemidanaan yang menekankan pada aspek balas dendam (retributive) telah ditinggalkan oleh sistem hukum di Indonesia. Filosofi pemidanaan di Indonesia lebih dititikberatkan pada usaha rehabilitasi dan reintegrasi social bagi pelaku tindak pidana. Hal ini pun telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the Guardian of Constitution yang memutuskan dalam putusan 013/PUU-1/2003, :
Bahwa asas non retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di Negara kita yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif.[15]
Jadi untuk menghindari terjadinya disparitas pidana yang menyolok maka sebaiknya dalam KUHP kita yang akan datang, falsafah pemidanaan ini dirumuskan dengan jelas. Dengan kata lain falsafah yang kita anut harus dirumuskan secara tertulis dan diaplikasikan secara konsisten dengan apa yang telah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
1. Pedoman Pemidanaan
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Prof. Sudarto mengatakan[16] bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.[17]
Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:
“untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).
Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru buku I tahun 1982, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:[18]
Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:
1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
3. Cara melakukan tindak pidana
4. Sikap batin pembuat
5. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
1. Masalah Patokan Pidana
Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan. Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan dengan saat ini.
Senator Edward M. Kennedy, seperti yang dikutip Eddy Djunaedy[19] mengatakan bahwa dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana, keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin.
Maksud dari patokan pemidanaan menurut Edward M. Kennedy adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta. Dengan demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat dibatasi. Patokan tersebut tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut asal saja dengan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya.
1. Faktor yang bersumber dari diri Hakim sendiri
- Faktor eksternal Yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada UU
Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan perundang-undangan pidana. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 12 ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut. Sedangkan dalam ayat (4)nya diatur bahwa pidana penjara selam waktu tertentu sekali sekali tidak boelh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula dengan halnya pidana kurungan dalam pasal 18 ayat 1 KUHP, dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan dalam pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Didalam pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
- Faktor Internal yang bersumber dari diri hakim sendiri
Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda.[20]
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh UU dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.
Problematika mengenai disparitas pidana yang telah tumbuh dalam penegakan hukum ini tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakkan. Akibat dari disparitas pidana yang menyolok ini, menurut Edward M. Kennedy, sebagaimana juga dikutip Barda Nawawi ialah:[21]
1. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada
2. Gagal mencegah terjadinya tindak pidana
3. Mendorong terjadinya tindak pidana
4. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.
Dari pandangan Edward M. Kennedy tersebut dapatlah kita ketahui bahwa akibat dari adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang sepele oleh masyarakat.
Suatu fakta hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas hanya membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Oemar seno Adji berpendapat bahwa disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:
1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas
2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar. [22]
Pendapat lain pun mengungkapkan hal yang hampir serupa dengan pandangan Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa terhadap pengaruh negatif disparitas pidana tidaklah diatasi dengan cara menyeragamkan pidana dalam kasus yang sama, tetapi hendaknya putusan tersebut mendasarkan alasan atau dasarnya yang rasional.[23]
Dari pandangan Oemar Seno Adji, dapat kita lihat bahwa pandangannya tentang disparitas pemidanaan merupakan sebuah pembenaran, dengan ketentuan bahwa disparitas harus didasarkan pada alasan alasan yang jelas dan dapat dibenarkan. Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan padanya. Pandangan ini pun merupaka bentuk refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum, harus dapat mempertanggungjawabkan putusan yang dihasilkannya dengan memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. jika hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan hakim dan juga tidak mengoyak rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Problematika mengenai Disparitas pidana dalam penegakkan hukum di Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Yang dapat ditempuh hanyalah upaya upaya dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya dapatlah kita gunakan pandangan dari Muladi yang menyatakan bahwa upaya terpenting yang harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.[24]
Sehubungan dengan ini hazewinkel suringa dan remmelink menyimpulkan bahwa soal penjatuhan pidana tidak akan dan tetap tidak akan memberi pemecahan yang memuaskan, ia sukar memungkinkan adanya garis yang tetap untuk itu. Oleh Karena itu, untuk menghilangkan disparitas pidana sama sekali adalah tidak mungkin, yang perlu dusahakan adalah pemidanaan yang tepat dan serasi (consistency of sentence). Dalam hal ini pemidanaan tidak dimaksudkan untuk mencapai uniformitas mutlak, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, aturan batas maksimal dan minimal pemidanaan dan bertentangan pula dengan rasa keadilan dan keyakinan hakim. Dalam keadaan ini, untuk dapat menempuh jalan tengah, ia mengutip Oimen dengan menyatakan bahwa yang menjadi hal pokok bukanlah untuk memberikan pidana yang sama, tetapi untuk berusaha dengan menggunakan kata-kata almarhum Robert Kennedy-“ Not making sentence equal, but in making sentencing philosiophies agree” (bukan memjadikan pidana sama, tetapi menjadikan falsafah pemidanaan serasi).[25]
[1] Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal. 54
[2] Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta:KHN,2003) hal.28.
[3] Muladi, “Dampak Disparitas Pidana dan Usaha mengatasinya”, Bandung: Alumni, hal. 52.
[4] Muladi-Barda Nawawi Arief, op.cit, hal.52.
[5] Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003.
[6] Muladi, op.cit, hal. 2
[7] Ibid, hal. 2
[8] Ibid, hal.2
[9] Ibid, hal. 23
[10] Ibid, hal. 58
[11] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, bandung: Alumni, 1977, hal. 61
[12] Muladi-Arief, op.cit, hal 60
[13] Eddy Djunaedy, Beberapa pedoman pemidanaan dan pengamatan narapidana: tanpa penerbit, tanpa tahun, Hal. 7
[14] Ibid, hal 7
[15] Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, 63
[16] Eddy Djunaedi, Op.cit, hal. 9
[17] Ibid, hal. 20
[18] Muladi-Arief, op.cit, hal. 68
[19] Ibid, hal. 68
[20] Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta), Op. cit, hal.33
[21] Barda Nawawi Arief, op.cit, hal. 8
[22] Oemar Seno Adji, “Hukum-hukum pidana”, (Jakarta-Erlangga, 1984), hal 28-29
[23] Nurul Widiasih (Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar lampung). Tesis Jakarta, juli 2009
[24] Muladi, Op.cit, hal.8-9.
[25]Oemar Senoadji, Op.cit, hal 24
No comments:
Post a Comment