Kampusku.Com: ARAH HUKUM PIDANA DALAM KONSEP RUU KUHPIDANA

Cari Makalah

Wednesday, January 6, 2010

ARAH HUKUM PIDANA DALAM KONSEP RUU KUHPIDANA

ardjono Reksodiputro

I. PENGANTAR

Sejak tahun anggaran 1981/1982, Pemerintah telah secara serius menyusun Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru. Konsep ke-1 ini diserahkan pada tanggal 13 Maret 1993 kepada Menteri Kehakiman, Ismail Saleh. Dasar-dasar untuk konsep ke-1 ini telah diletakkan, antara lain oleh : Prof. Mr. Roeslan Saleh (wafat 1998). Sayangnya konsep ke-1 ini dilupakan selama masa tugas Menteri Oetojo Oesman, dan baru teringat kembali pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan Menteri Kahakiman Yusril Ihza Mahendra. Pada waktu itulah terbit konsep ke-2 (1999/2000) dan konsep ke-3 (2004). Sekarang, setelah + 23 tahun sejak dimulai prakarsa penyusunan konsep ke-1 oleh Prof. R. Sudaro, SH, konsep ke-3 yang sudah jauh berubah (dari konsep ke-1) mulai diajukan ke DPR untuk dibahas. Dalam perjalanan penyusunan selama 23 tahun ini memang konteks dan tantangan dalam masyarakat Indonesia (maupun dunia) sudah berbeda. Karena itu memang menarik untuk mengkaji apakah naskah konsep ke-3 ini sudah menjawab konteks dan tantangan masyarakat Indonesia tahun 2005 dan selanjutnya.


II. BEBERAPA PRINSIP PEMBAHARUAN WvS

WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918) merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum materiil, dengan berbagai pengubahannya selama hampir 90 tahun ini. Ketika pada tahun 1993, pada saat WvS berumur 75 tahun, konsep ke-1 diperkenalkan kepada masyarakat, oposisinya cukup keras. Oposisi ini datang dari mereka yang cenderung berada di bawah naungan WvS, ketimbang konsep ke-1 Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Gagasan-gagasan baru yang dimasukan dalam konsep ke-1 ini misalnya tentang pemindanaan serta delik-delik baru seperti pencucian uang dan perzinahan (kumpul kebo), menimbulkan reaksi keras, baik dari pihak Pemerintah maupun dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Yang perlu dicatat adalah bahwa konsep ke-1 yang telah dilakukan tahun 1993 ini, telah juga memperlihatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat, dengan didukung oleh tiga prinsip (Reksodiputri; Januari, 1994) :
(a) Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam negara kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah ideologi negara Pancasila);
(b) Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengadilan sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
(c) Hukum pidana (yang tekah dipergunakan kedua pembatasan) (a dan b di atas) harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik modern.

Di samping ketiga prinsip tersebut, konsep ke-1 juga mengusahakan, agar perumusan :
(i) perbuatan apa yang merupakan tindakan pidana; dan
(ii) kesalahan (schuld, culpability) macam apa yang disyaratkan untuk meminta pertanggungjawaban pidana (criminal liability) kepada seseorang pelaku, dilakukan secara jelas dan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh warga.

Agar sistem peradilan pidana tidak terlalu terganggu, maka merumuskan hukum pidana Indonesia oleh orang Indonesia untuk masyarakat ini, dilakukan dengan cara re-kodifikasi terhadap WvS 1918 (sebagaimana telah diubah sampai tahun 1993).

Konsep ke-1 RUU KUHP ini telah diusahakan agar mencerminkan asas-asas utama hukum pidana dan aturan-aturan umum penerapannya. Hal ini dirumuskan dalam Buku Kesatu - Ketentuan Umum, yang terbagi dalam sejumlah bab. Begitu juga konsep ke-1 ini mencoba merumuskan sejumlah tindak pidana yang dianggap serius dan yang merupakan keprihatinan masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat yang sedang beralih dari masyarakat industri modern. Dalam masyarakat transisi inilah terlihat adanya keinginan menegakan kembali nilai-nilai moral dan agama, untuk perilaku hidup bermasyarakat. Bagian ini dirumuskan dalam Buku Kedua - Tindak Pidana, yang juga terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab.

III. PENGARUH KRIMINOLOGI PADA RE-KODIFIKASI WvS

Aspek yang menonjol dalam kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan empirik, adalah penelitiannya mengenai tindak pidana (crimes) dan pelakunya (criminals). Sumbangan kriminologi pada pembaharuan politik kriminal (criminal policy), melalui kesimpilan yang diperoleh dari penelitian-penelitiannya, tekah terasa pula pada re-kodifikasi WvS 1918 menjadi konsep ke-1 (lihat Reksodiputro, November 19994). Pengaruh kriminologi ini terlihat, baik dalam Buku Kesatu - Ketentuan Umum, maupun dalam Buku Kedua - Tindak Pidana.

Para sarjana pada umumnya memahami tujuan hukum pidana itu sebagai suatu pernyataan celaan resmi masyarakat tentang perilaku yang dilarang. Celaan resmi ini didukung oleh sanksi pidana, dengan maksud mencegah terjadi atau terulang perilaku tersebut. Perilaku yang dicela dan dilarang ini tentunya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar (fundamental social values) yang hidup dan ditaati masyarakat Indonesia. Dalam konteks pengakuan atas kemajemukan masyarakat Indonesia, dengan budaya-budayanya masing-masing, maka asas legalitas yang tetap nerupakan salah satu sendi hukum pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula ”delik adat”. Unsur kesalahan, tetap merupakan persyaratan dalam memidana pelaku dan dijatuhkan dalam bentuk ”pemenuhan kewajiban anak” (Reksodiputro, Desember 1994).

Sendi hukum pidana yang lain, adanya kesalahan (schuld, dolus atau culpa), dan ini berakibat adanya konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Di samping keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena ”mental defect” dan ”mental abnormality”, maka keadaan tidak dapat kurang dipertanggungjawabkan, karena ”mental defect” dan ”mental abnormality”, maka keadaan kurang bertanggung jawab (diminised responsibility) digagaskan pula sebagai suatu alat pembelaan (defense) bagi pelaku. Masih dalam rangka asas ”criminal liability”, maka konsep ke-1 juga mengajukan adanya ”corporate criminal liability”, yang terutama ditunjukan untuk melawan ”crime by corporations” (kejahatan oleh koporasi/ organisasi-KOO) (Reksodiputro, Juni 1993).

Selanjutnya, dengan memperlihatkan perkembangan ilmu pengetahuan tentang perilaku anak serta perlunya perlindungan terhadap hak-hak anak (rights of the child), maka dalam konsep ke-1 diajukan ketentuan ditiadakannya pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur 12 ( dua belas) tahun. Juga dalam bab khusus diatur tentang jenis-jenis pidana khusus (dibedakan dari orang dewasa) untuk anak antara 12-18 tahun. Hal ini adalah sesuai dengan ”the Beijing Rules” yang disponsori PBB dalam tahun 1985.

Yang juga merupakan hak baru dalam re-kodifikasi WvS adalah dirumuskan Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemindanaan dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan kepada hakim, pegangan dalam memilih sanksi pidana yang tersedia dalam konsep ke-1. Di sini perlu juga dicatat bahwa dalam konsep ke-1 ini pidana mati (death sentence) dijadikan pidana khusus di luar pidana pokok. Juga diatur bahwa di samping sanksi berupa pidana, terdapat sanksi berupa ”tindakan” (maatregel).

IV. PENEGASAN ATAU PENEGAKAN KEMBALI NILAI DASAR SOSIAL DASAR

Kritik yang pada awal tahun 1990-an ditunjukan pada konsep ke-1 adalah sekitar pada :
(a) Masih tetap dipertahankan bab tentang keamanan negara dan pejabat negara;
(b) Diperluasnya perbuatan yang dilarang dalam bab tentang kesusilaan;
(c) Dalam kaitan dengan butir (b) ini dipermasalahkan pula kurang pekanya para penyusun pada permasalahan jender, khususnya korban perempuan.
Pada tahun 2004 dan 2005 ini, kritik ditambahkan pula pada masalah :
(d) Pembatasan terlalu ketat terhadap kebebasan menyampikan pendapat (freedom of speech) dan kemerdekaan pers (freedom of the press).

Di bawah ini akan dicoba dijelaskan bagaimana pemikiran dalam konsep ke-1 tentang hal-hal yang memperoleh kritik.

a. Tentang Bab Keamanan Negara dan Pejabat Negara

Dalam WvS 1918, empat bab pertama dalam Buku Kedua tentang Tindak Pidana adalah sehubungan dengan : keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Negara sahabat dan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Pada dasarnya kepentingan yang dilindungi adalah memang ”kepentingan negara”, yaitu berfungsinya organisasi negara (termasuk hubungan dengan negara sahabat). Dalam beberapa negara asing, tindak pidana seperti ini dikenal sebagai ”crimes against state security”.

Tindak pidana yang paling serius di sini adalah yang dikategorikan sebagai “high treason” (membunuh Presiden, membantu musuh yang berperang terhadap Indonesia, dll) dan ”treason” (mengulingkan Pemerintah yang sah, pemberontakan, dll). Rumusan dalam keempat bab ini dalam konsep ke-1 (dan sebenarnya ± 75% dari RUU KUHP) pada dasarnya diambil pada rumusan lama WvS (karena itu dilakukan dengan re-kodifikasi), dengan pengecualian 4-5 pasal pertama dalam Bab I Buku Kedua. Pasal-pasal tersebut berhubungan dengan ajaran Komunisme dan Marxisme. Adapun dari masuknya pasal-pasal tersebut adalah untuk mengganti atau mempersiapkan ganti pada aturan UU Subversi. Tim perumusan konsep ke-1 tidak mempunyai mandat untuk mengusulkan pencabutan UU Subversi (pada awal tahun 1990-an) dan dengan masuknya pasal-pasal tersebut, mengharapkan Pemerintah dapat menerima dicabutnya undang-undang yang oleh Tim perumusan dianggap sebagai tidak sejalan dengan pembaruan undang-undang pidana nasional.

Meskipun tetap berpendoman pada rumusan tindak pidana Bab I sampai dengan IV Buku Kedua WvS, namun perumusan tindak pidana dalam bahasa Indonesia telah diusahakan agar jelas dan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh warga (clearly and understandably) perbuatan apa yang dilarang dan unsur-unsur apa yang diperlukan untuk pertanggungjawaban pidana pelaku. Sejumlah perbuatan yang dilarang juga dirumuskan sebagai delik materiil, yang berarti bahwa dalam perumusan harus disebut apa yang merupakan akibat dari perbuatan tersebut, yang dianggap membahayakan kepentingan keamanan Negara. Remmelink juga menyebut tindak pidana ini sebagai “kejahatan politik” (Remmelink, 2003, hal. 73 dstnya). Diakui tindak pidana ini bisa disalahgunakan oleh Negara (Pemerintah) untuk menghambat ”kebebasan berbicara” (speech), yang dijamin Konstitusi kita (Pasal 28 dan 28 E ayat (3)).

Konsep ke-1 mengakui adanya ”kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” (Pasal 28 UUD 1945), namun juga berpendapat tetap harus dibatasi ”free speech” yang melampaui batas-batas perlindungan Konstitusi. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tetap harus dilindungi, namun penyalahgunaannya yang (dapat) menimbulkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat tentunya sudah melampaui batas perlindungan Konstitusi. Terutama yang harus diancam pidana adalah ”penyebar kebencian” (inciting hate), yang menimbulkan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. Penyebaran ”kebencian” ini adalah pernyataan pikiran dengan lisan atau tulisan yang sama sekali tidak ada artinya, kecuali mengekspresikan kebencian terhadap Pemerintah atau kelompok orang tertentu dan (dapat) menimbulkan kekerasan terhadap manusia atau barang.

Di sini penting untuk merumuskan tindak pidana ini menjadi delik materiil. Dalam delik materiil yang dicegah adalah timbulnya suatu bahaya konkrit, karena itu yang dilarang adalah suatu tindakan (misalnya : menghina atau menghasut) dan munculnya suatu akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan hukum tertentu (misalkan : keonaran dalam masyarakat yang memecah kesatuan bangsa atau membahayakan jiwa atau barang).

Struktur Buku Kedua dapat saja diganti dan disesuaikan dengan alam demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, sehingga strukturnya menjadi mendahulukan ancaman terhadap hak-hak individu (crimes against the person, seperti : tindak pidana terhadap nyawa, penganiayaan, kemerdekaan orang, kesusilaan, penghinaan, hak asasi manusia, dll), kemudian ancaman terhadap hak-hak kebendaan (crimes against property, seperti : tindak pidana pencurian, penggelapan, perbuatan curang/penipuan, merugikan kreditor, korupsi), selanjutnya ancaman terhadap hak-hak masyarakat (communal rights, seperti : tindak pidana terhadap ketertiban umum, penyelenggaraan peradilan, agama dan kehidupan beragama, keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup, dll); baru terakhir ancaman terhadap kepentingan negara (crimes against satate’s policy and governmental order, seperti : tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden, kewajiban dan hak kenegaraan, kekuasaan umum dan lembaga negara, dll).

b. Tentang Diperluasnya Perbuatan yang Dilarang dalam Bab tentang Tindak Pidana Kesusilaan

Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam WvS, berasal dari judul bahasa Belanda : ”Misdrijven tegen de zaden”. Bagian awal dari bab ini membuat tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan dalam pengertian ”kehidupan seksual”, namun pada akhir bab terdapat tindak pidana yang berkaitan dengan penganiayaan hewan (dieren mishandeling) perjudian (kansspelen), pemabukan dan pengemisan. Pengertian ”zeden” memang seharusnya tidak berkaitan dengan kehidupan seksual. Dapat diartikan pula tata-susila, sopan satun, kesopanan dan karena itu berkaitan pula dengan ”moral masyarakat” atau ”akhlak”(crimes against public morals).

Kehidupan seksual yang merupakan inti perbuatan yang dilarang dalam bab ini semula memang ditunjukan hanya pada ”intergritas” ”badan dan jiwa” (bodily and psychological integrity) dan karena itu mengatur tindak pidana perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, incest (persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah), pelacuran dan perzinahan. Yang bersinggungan dengan kehidupan seksual adalah pornografi (tulisan, gambar atau benda, serta menyanyikan dan mengucapkan pidato yang melanggar kesusilaan).

Perzinahan atau permukahan (overspel) memang berada juga di ”daerah perbatasan” tentang ”crimes against public morality”. Pertama, karena tidak ada ”kekerasan” terhadap ”bodily and psychological intergrity”, dan kedua tidak dilakukan di muka umum atau tempat umum. Oleh karena itu, sifat delik ini adalah delik pengaduan (klacht delict). Pengaduan yang dilakukan oleh suami/istri yang ”tercemar” atau keluarga, kepala adat atau kepala desa/lurah setempat. Ini cara konsep ke-1 melindungi ”privacy”, agar tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”.

c. Tentang Kepekaan pada Permasalahan Jender, Khususnya Korban Perempuan

Kritik yang diberikan kepada perumusan dalam konsep ke-1, dalam masalah jender dan korban perempuan adalah : (a) kurangnya perhatian kepada korban kejahatan kesusilaan seksual (sexual violence victims), dan (b) kurangnya perhatian kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence victims).
Tim perumus konsep ke-1 menyadari pula permasalahan ini dan mencoba memberikan perhatian dengan cara memperluas dan memperinci pengertian tentang perkosaan. Terdapat 8 perbuatan yang dapat diancam pidana sebagai perkosaan dan di samping ancaman maksimum 12 tahun, untuk pertama kali dalam sejarah hukum pidana Indonesia dirumuskan ancaman pidana minimum 3 tahun. Dirumuskan pula perbuatan yang dikenal sebagai ”statutory rape”, laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan persetujuan perempuan yang belum berusia 14 tahun. Untuk melindungi perempuan, juga diancam pidana laki-laki yang ingkar janji mengawini perempuan yang berzinah dengannya, ataupun tidak mau mengawini perempuan yang hamil karena berzinah dengannya.

Memang cara yang dilakukan di atas diakui belum dapat sepenuhnya melindungi perempuan korban kejahatan kesusilaan, maupun korban kekerasan dalam rumah tangga. Di luar negeri perlindungan ini dilakukan, antara lain melalui : (a) perlindungan terhadap korban sebagai saksi dan larangan untuk mempublikasi identitas korban/saksi; (b) menyediakan ”guidance centers” dan ”shelters” untuk para korban; (c) erat kaitan dengan di atas adalah memberikan bantuan dana untuk pengobatan, rehabilitasi, dan juga melakukan gugatan terhadap pelaku (litigation expenses), (d) mempersiapkan tenaga-tenaga yang ahli (expert) dalam menangani kasus, sejak dari pengaduan, rehabilitasi sampai ke pengadilan; dan (e) mempermudah pengaduan sehubungan dengan kekerasan rumah tangga, khususnya pengaduan terhadap kekerasan suami, yang tidak memerlukan prosedur hukum acara pidana yang biasa (Purnianti, 2002). Tim berpendapat bahwa cara perlindungan seperti diuraikan di atas bukanlah wewenang Tim dan tempatnya bukan dalam hukum pidana materiil (substansi), tetapi dalam hukum acara pidana (prosedural) atau peraturan tersendiri.

d. Tentang Pembatasan terhadap Kebebasan Berpendapat Maupun Kemerdekaan Pers

Kritik terhadap rumusan yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan/ atau kemerdekaan pers, baru diajukan dalam + 2 tahun terakhir. Kritik ini tidak mempergunakan konsep ke-1 sebagai acuan melainkan konsep ke-1 dan karena itu dapat dijawab makalah ini.

Terdapat 49 (empat puluh sembilan) rumusan tindak pidana yang oleh para pengeritik dianggap membatasi atau mengancam ”kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan” (Pasal 28 UUD) maupun ”kebebasan mengeluarkan pendapat” (Pasal 28 E ayat (3) UUD’45). Rumusan yang dilarang itu tersebar dalam 18 jenis tindak pidana. Dengan mempergunakan sistematik dan penomoran pasal-pasal dalam konsep ke-3 (2004) akan diperoleh gambaran seperti di bawah ini. Ternyata bahwa dari 49 pasal tersebut, 9 pasal adalah baru dan 40 pasal dari WvS :

1. Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara (4 pasal) : Pasal 209, 210, 211, 212 (tidak ada padanan dalam WvS);
2. Tindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara (3 pasal) : Pasal 218, 226, 227 (118, 112, 113 WvS);
3. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (3 pasal) : Pasal 262, 263, 264 (131, 137 WvS);
4. Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (3 pasal) : Pasal 269, 270, 271 (142, 143, 144 WvS);
5. Penghinaan dalam Simbol Negara dan Pemerintah (3 pasal) : Pasal 284, 285, 287 (154, 155, 157 WvS);
6. Penghasutan (4 pasal) : Pasal 288, 289, 290, 291 (160, 161, 162, dan 163 WvS);
7. Gangguan terhadap Ketertiban dan Ketentraman Umum (2 pasal) : Pasal 307, 308;
8. Tindak Pidana terhadap Agama (3 pasal) : Pasal 336, 339, 340 (156a Wvs);
9. Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (2 pasal) : Pasal 400, 401 (207 dan 208 WvS);
10. Pornografi dan Pornoaksi (5 pasal) : Pasal 469, 470, 471, 472, 473 (282 WvS);
11. Mempertunjukan Pencegahan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan (3 pasal) : Pasal 481, 482, 483 (283 WvS, -Wvs);
12. Pencemaran (1 pasal) : Pasal 511 (310 WvS);
13. Fitnah (1 pasal) : Pasal 512 (311 WvS);
14. Penghinaan Ringan (2 pasal) : Pasal 514, 515 (315 dan 316 WvS);
15. Persangkaan Palsu (1 pasal) : Pasal 517 (318 WvS);
16. Pencemaran Orang Mati (2 pasal) : Pasal 519, 520 (320 WvS);
17. Tindak Pidana Pembocoran Rahasia (4 pasal) : Pasal 522, 521, 523,524, 525 (483, 484, 485 WvS);
18. Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan (3 pasal) : Pasal 723, 724, 725 (483, 484, 485 WvS);

Dari perincian di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pasal yang ditakuti akan mengancam “freedom of speech” dan/atau “freedom of the press”, adalah sebenarnya juga bertujuan melindungi warga masyarakat terhadap pengingkaran haknya oleh sesama masyarakat lainnya. Permasalahan butir 1 sampai dengan 4 telah didiskusikan sebelumnya, mungkin juga butir 5 dapat diperiksa kembali.

Namun, sehubungan dengan 6 butir sampai 18, perlu kita sadari bahwa :

(1) Perbuatan penghinaan terhadap golongan penduduk dan penghasutan terhadap publik pada dasarnya adalah ”crimes against society in general”, karena bertujuan untuk mengganggu keharmonisan dalam masyarakat (social harmony). Tujuan pelaku adalah ”to promote feelings of ill will and hostility between different group in the community” (ingat kasus Ambon dan Poso !).
(2) Perbuatan yang berkaitan dengan pornografi dan pencegahan kehamilan, memang menyangkut masalah “public morals”. Justru apabila kita ingin lebih baik melindungi perempuan dari korban pelecehan dan kekerasan, maka jenis tindak pidanan ini harus tidak dianggap menganggu kebebasan berekpresi.
(3) Pencemaran (slander, smaad), penghinaan (belediging) dan fitnah (libel, defamation, laster) selalu ada dalam setiap Kitab Undang-Undang Pidana (Penal Code) dari negara demokratik dan modern. Selama ”perbuatan” tersebut bukan ”hate crimes” dan selama dilakukan untuk membela diri (in his own necessary defense) atau dengan itikad baik pelaku berasumsi bahwa tuduhannya adalah benar dan dilakukan untuk kepentingan umum (required in the public interest), maka perbuatanya adalah pencemaran, penghinaan atau fitnah.
(4) Tindak pidana pembocoran rahasia ditunjukan kepada seseorang dalam profesi (beroep) tertentu atau karena jabatan (by reason of his office) dan dimaksudkan agar publik yang memerlukan bantuan mereka tersebut tidak takut memberitahu permasalahannya, karena pasal ini mencegah dibukanya rahasia atau permasalahannya kepada umum (misalnya dokter, advokat dan pendeta). Karena itu pasal ini sama sekali tidak mengancam ”freedom of speech” dan/ atau ”freedom of the press”.
(5) Tindak pidana penerbitan dan pencetakan termasuk dalam bab tentang pemudahan (beganstiging, cooperation after the fact) dan ditujukan kepada penerbit dan pencetak yang menerbitkan atau mencetak bahan yang menurut sifatnya telah dapat dipidana (of a criminal nature). Apakah pasal ini dapat dipertahankan atau dihapus karena sudah ada undang-undang pers dapat didiskusikan.

V. PENUTUP - KESIMPULAN

Uraian di atas ingin menunjukan bahwa tuduhan seakan-akan konsep RUU KUHP adalah anti-demokrasi, atau in-konstitusional adalah keliru sekali. Apalagi pendapat yang meminta agar DPR menolak seluruh RUU KUHP. Dua pepatah mungkin dapat mejelaskan cara berpikir keliru dari pemuat saran terakhir ini : ”Ia mendengar bunyi lonceng, tetapi tidak tahu di mana adanya” dan atau ”secara sembrono membuang bayi secara bersama-sama dengan air mandinya”. Apa yang harus dilakukan adalah mengkaji apakah memang perbuatan yang dilarang itu benar, kemudian melihat apakah perumusannya tidak keliru karena terlalu luas jangkauannya. Kalau begitu sempurnakan perumusannya!

No comments:

Post a Comment