Kampusku.Com: MENGKRITISI RUU KUHPIDANA DALAM PERSPEKTIF HAM

Cari Makalah

Wednesday, January 6, 2010

MENGKRITISI RUU KUHPIDANA DALAM PERSPEKTIF HAM

Abdul Hakim Garuda Nusantara

Memulai tulisan ini, saya ingin mengutip pendapat Jan Remmelink, ahli hukum pidana tentang KUHPidana Belanda ( Straftrecht ) sebagai berikut :

“Tidak dapat dipungkiri bahwa KUHPidana Belanda (Sr.) qua struktur dan perumusan merupakan karya besar dan sampai dengan sekarang setelah 100 tahun lewat belum ketinggalan zaman. Bahkan, KUHPidana tersebut masih diberlakukan di Suriname, Kepulauan Antillen dan Aruba, serta Indonesia, tanpa memunculkan persoalan besar, setidak-tidaknya demikian menurut Penulis.” ( Remmelink 2003, hal. 39 - 40). Pendapat Remmelink menggarisbawahi dua hal yaitu, KUHPidana Belanda qua struktur dan perumusannya merupakan karya besar yang walaupun telah berusia 100 tahun belum ketinggalan zaman. Para penggunanya termasuk Indonesia tidak menghadapi kesulitan besar. Kalangan masyarakat hukum Indonesia, dan khususnya para ahli hukum pidana boleh tidak sependapat dengan Jan Remmelink. Pihak yang tidak setuju biasanya akan berkata bahwa KUHPidana yang diberlakukan di Indonesia itu merupakan warisan hukum pemerintah kolonial Belanda, karena itu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat bangsa merdeka. Mereka berkata pula, bahwa perkembangan masyarakat, ekonomi dan teknologi yang melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang melahirkan kebutuhan hukum baru, yaitu perlindungan yang lebih memadai bagi individu, masyarakat dan negara menuntut pembaharuan KUHPidana Nasional. Argumentasi ini sah-sah saja.
Namun, satu hal yang tidak dapat mereka dan kita bantah adalah fakta sejarah bahwa KUHPidana Nasional peninggalan Belanda itu telah menjadi sarana legitimasi hukum bagi pemberantasan kejahatan sepanjang usia Republik Indonesia yang mencapai 60 (enam puluh) tahun. Ia menjadi sarana hukum yang memberikan sumbangan pada upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban pada masa Orde Baru. Bahkan, pada era ini beberapa bagian KUHPidana Nasional itu digunakan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya dan bersamaan dengan itu ia menjadi legitimasi hukum untuk mengadili, menghukum dan memenjarakan tokoh-tokoh gerakan pro-demokrasi. Serentak dengan itu, ia menjadi salah satu sarana hukum yang ampuh untuk mengembangkan suasana dan rasa ketakutan di kalangan masyarakat, khususnya lawan-lawan politik pemerintah otoriter Orde Baru. Oleh karena itu, sangat bisa dimengerti bila masyarakat Indonesia dewasa ini, khususnya mereka yang peduli terhadap berlangsungnya demokrasi dan perlindungan HAM bersikap cermat, cerdas dan waspada terhadap RUU KUHPidana itu. Masyarakat, kalaupun tidak seluruhnya, sebagian besar tidak ingin melihat lagi bagian-bagian dari KUHPidana kita itu membuka peluang bagi avenue kembalinya otoritarianisme dan kesewenangan, yang pada ketikanya membunuh demokrasi dan mengeliminasi HAM.

Menurut Mardjono Reksodiputro, konsep ke-1 RUU KUHPidana yang diajukan pada tahun 1993 telah juga memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi warga masyarakat, dengan didukung oleh 3 (tiga) prinsip yaitu sebagai berikut :

a. Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam negara kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara Pancasila);
b. Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan kefektifannya; dan
c. Hukum pidana (yang telah mempergunakan kedua pembatasan, a dan b di atas), harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern.

Mari kita kaji satu per satu 3 (tiga) prinsip yang disebutkan oleh Mardjono Reksodiputro tersebut di atas :

Pertama, hukum pidana dalam fungsinya untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar yang mengacu pada ideologi negara Pencasila. Prinsip ini terbuka bagi multi-tafsir tentang apa dan mana yang dimaksudkan nilai-nilai sosial dasar yang sesuai dengan Pancasila. Di masa Orde Baru yang lalu, penafsiran dari kelompok-kelompok sosial dominan-lah yang berlaku. Ini pada gilirannya membawa akibat hancurnya kehidupan bernegara hukum, dan bersamaan dengan itu langgengnya sistem pemerintahan otoriter yang syarat dengan KKN. Kalau demikian halnya, apa pegangan kita untuk mencegah penafsiran yang sewenang-wenang terhadap makna nilai-nilai sosial dasar itu. Saya belum menemukan suatu produk hukum yang memuat suatu kesepakatan tentang nilai-nilai sosial dasar itu, terkecuali yang dimuat dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001 dan TAP MPR No. VII Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Visi Indonesia Masa depan. TAP MPR No. VII Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan mencerminkan pula nilai-nilai sosial dasar itu. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya akan mengutipnya sebagai berikut :

1. Religius
a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku keseharian;
b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.

2. Manusiawi
a. Terwujudnya masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab;
b. Terwujudnya hubungan harmonis antar manusia Indonesia tanpa membedakan latar belakang budaya, suku, ras agama dan lain-lain;
c. Berkembangnya dinamika kehidupan bermasyarakat ke arah peningkatan harkat dan martabat manusia;
d. Terwujudnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. Bersatu
a. Meningkatnya semangat persatuan dan kerukunan bangsa;
b. Meningkatnya toleransi, kepedulian, dan tanggung jawab sosial;
c. Berkembangnya budaya dan perilaku sportif serta menghargai dan menerima perbedaan dalam kemajemukan;
d. Berkembangnya semangat anti kekerasan;
e. Berkembangnya dialog secara wajar dan saling menghormati antar kelompok dalam masyarakat.


4. Demokratis
a. Terwujudnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga penyelenggara negara dan hubungan kekuasaan antara pemerintahan nasional dan daerah;
b. Menguatnya partisipasi politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, efektifitas peran dan fungsi partai politik dan kontrol sosial masyarakat yang semakin meluas;
c. Berkembangnya organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik yang bersifat terbuka;
d. Terwujudnya mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. Berkembangnya budaya demokrasi : transparansi, akuntabilitas, jujur, sportif, menghargai perbedaan;
f. Berkembangnya sistem kepemimpinan yang egaliter dan rasional.”

5. Adil
a. Tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi;
b. Terwujudnya institusi dan aparat hukum yang bersih dan profesional;
c. Terwujudnya penegakan hak asasi manusia;
d. Terwujudnya keadilan gender;
e. Terwujudnya budaya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum;
f. Terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya ekonomi dan penguasaan aset ekonomi, serta hilangnya praktik monopoli;
g. Tersedianya peluang yang lebih besar bagi kelompok ekonomi kecil, penduduk miskin dan tertinggal.

6. Sejahtera
a. Meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya penduduk sehingga bangsa Indonesia menjadi sejahtera dan mandiri;
b. Meningkatnya angka partisipasi murni usia sekolah;
c. Terpenuhinya sistem pelayanan umum, bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelayanan kepada penyandang cacat dan usia lanjut, seperti pelayanan transportasi, komunikasi, penyediaan energi dan air bersih;
d. Tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat melalui sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dari berbagai resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan merata;
e. Meningkatnya indeks pengembangan manusia (human development index) yang menggambarkan keadaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan secara terpadu;
f. Terwujudnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil, merata, ramah lingkungan dan berkelanjutan;
g. Terwujudnya keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Saya hanya mengutip 6 dari 9 butir Visi Indonesia Masa Depan yang tertuang dalam TAP MPR No. VII Tahun 2001. Enam butir visi itu mendeskripsikan secara rinci pandangan Indonesia masa depan. Deskripsi pandangan itu merefleksikan nilai-nilai sosial dasar yang disepakati wakil-wakil rakyat di MPR. Seandainya benar demikian, sudah semestinya RUU KUHPidana berpedoman pada nilai-nilai tersebut. Yang berarti, RUU KUHPidana dalam konsepsi dan perumusannya tidak boleh membuka peluang bagi penafsiran yang akan menegasikan nilai-nilai sosial dasar yang direfleksikan dalam Visi Indonesia Masa Depan tersebut. Nanti dalam uraian di belakang, akan saya tunjukkan konsep dan rumusan dari bagian RUU itu yang mengandung potensi melawan nilai-nilai sosial dasar itu.

Kedua, hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan cara melakukan pengendalian sosial tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya. Ini berarti hukum pidana sebagai Ultimum Remedium. Pandangan ini adalah pandangan yang umum dianut di banyak negeri, termasuk negeri Belanda. Dalam salah satu pidatonya, Menteri Modderman menyatakan sebagai berikut :

“Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum remedium. Memang, terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikiran sehat akan dapat mengerti hal itu tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.” (J.M. van Bemmelen l984 : 14)

Namun, JM van Bemmelen mengingatkan bahwa hukum pidana sebagai “ultimum remedium” itu hendaknya diperhatikan, karena hukum acara pidana juga memberikan wewenang yang luas kepada Polisi dan Kejaksaan. Itu berarti, apakah hukum pidana sebagai ultimum remedium pada akhirnya akan ditentukan oleh keputusan pihak penyidik Polisi dan Jaksa selaku Penuntut dan Hakim. Tanpa adanya rambu-rambu yang jelas dan kontrol masyarakat, prinsip ultimum remedium itu dapat disalahgunakan. Karena itu, menurut van Bemmelen “Dalil remedium harus dipandang tidak semata-mata sebagai ‘sarana’“ untuk perbaikan pelanggaran hukum yang dilakukan atau sebagai pengganti kerugian, akan tetapi sebagai sarana menenangkan kerusuhan yang timbul dalam masyarakat, karena jika pelanggaran hukum dibiarkan saja akan terjadi “tindakan sewenang-wenang“ (van Bemmelen l984 : 15). Guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam menerapkan konsep hukum pidana sebagai ultimum remedium diperlukan aturan Acara Pidana yang jelas dan secara ketat mengatur kewenangan Polisi, Jaksa dan Hakim. Selain itu diperlukan pula kontrol dari Parlemen dan masyarakat.

Ketiga, hukum pidana harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang moderen (Mardjono Reksodiputro 2005 : 3). Pernyataan ini menegaskan bahwa penerapan hukum pidana itu harus mengedepankan keseimbangan antara kepentingan kolektif yang diwakili negara dengan kepentingan individu. Dalam kenyataannya, kita melihat ada kepentingan kelompok, kepentingan umum dan kepentingan negara. Siapa yang diberi tugas untuk menyeimbangkan penerapan hukum pidana di antara kepentingan-kepentingan yang bertabrakan. Van Bemmelen menunjuk pada pembuat undang-undang dan Hakim. Ia mengatakan, “makin berhasil pembuat undang-undang dan Hakim dalam hal ini dengan sarana pidana bersyarat dan tindakan yang masuk akal, maka fungsi sebagai penegak hukum dari hukum pidana semakin sesuai dengan dengan fungsi hukum perdata dan hukum administrasi” (van Bemmelen l984 : 14 - 15). Proses pengambilan keputusan apakah hukum pidana akan diterapkan dalam kasus-kasus konkrit berdasarkan doktrin keseimbangan itu hanya dapat berjalan dengan benar bila ada sistem pemerintahan yang demokratis dan imparsialitas kekuasaan yudisial.

Pada waktu konsep ke-1 RUU KUHPidana disusun, belum terjadi perkembangan hukum Hak Asasi Manusia Indonesia yang memuat secara rinci konsep HAM. Norma hukum HAM itu termuat dalam dokumen-dokumen, yaitu :

1. Amandemen UUD l945, khususnya Amandemen ke-II;
2. UU No. 39 Tahun l999 tentang HAM;
3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
4. UU tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
5. Dan UU lainnya yang berkaitan dengan HAM.

Perkembangan hukum HAM Indonesia itu semestinya dipertimbangkan dan menjadi acuan ketika menyusun konsep RUU KUHPidana tersebut. Setidak-tidaknya, dihindarkan rumusan delik pidana yang melanggar hak-hak dasar tersebut, serta seberapa jauh delik-delik khusus kejahatan terhadap HAM dapat dirumuskan. Konsep “final” RUU KUHPidana yang disiapkan oleh pemerintah, dalam beberapa pasalnya perlu dicermati secara kritis karena kandungan normanya bertentangan dengan hukum HAM Indonesia, yaitu UUD l945, UU tentang HAM, dan Kovenan-kovenan Internasional HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 209

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan jika perbuatan itu dilakukan untuk kegiatan ilmiah.

Perumus Pasal 209 itu menyelipkan kata- kata, yaitu “melawan hukum“ dan “dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila“… dst. Lalu dalam Rancangan Penjelasan Pasal 209 diterangkan pengertian ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan ‘Komunisme/Marxisme-Leninisme’ adalah paham atau ajaran Karl Mark yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.”

Dimasukkannya kata-kata atau kalimat “melawan hukum” dan “dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila” itu, saya duga barangkali dimaksudkan oleh para penyusunnya untuk mencegah penafsiran yang berlebihan atau penyalahgunaan yang dapat melanggar HAM, khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Karena, untuk dapat dipidana dua syarat harus dipenuhi, yaitu melawan hukum dan maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Itu berarti menyebarluaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme itu melalui media apapun boleh asalkan tidak secara melawan hukum dan tidak berkehendak untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Atau, bisa pula dimaksudkan oleh penyusun pasal tersebut, bahwa perbuatan menyebarluaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme itu sendiri sudah merupakan tindakan melawan hukum ? Kalau demikian halnya, jelas yang hendak dilarang itu ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme itu dan lebih-lebih lagi penyebarluasannya.

Dalam literatur hukum pidana kita mengenal berbagai pendapat tentang ajaran melawan hukum. Satu pendapat menyatakan melawan hukum dipandang telah terjadi bila tindakan itu telah memenuhi syarat-syarat delik. Inilah yang acap disebut sebagai melawan hukum formal. Pendapat lain menyatakan melawan hukum berarti melanggar aturan pidana yang sah, yaitu tindakan yang bertentangan dengan materi yang terkandung dalam hukum pidana inilah yang dimaksud melawan hukum pidana materiil. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menguraikan aspek teoritik dari ajaran melawan hukum itu. Tapi yang ingin saya tunjukkan adalah ketidakjelasan maksud penyusun Pasal 209 itu dengan memasukkan kata “ melawan hukum “ dan “dengan maksud mengubah atau mengganti…dst”. Apa yang dimaksud dengan mengubah atau mengganti. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga keluaran Departemen Pendidikan Nasional mengartikan kata mengubah yaitu :
1. Menjadikan lain dari semula
2. Menukar bentuk (warna, rupa, dsb)
3. Mengatur kembali

Kamus itu tidak menjelaskan bentuk tindakan mengubah, misalnya apakah melalui tindakan mengecat atau memotong dan lain sebagainya. Kata mengganti menurut kamus itu berarti :

1. Menukar
2. Memberi ganti
3. Mewakili

Bentuk perbuatan mengganti atau mengubah adalah sesuatu yang kasat mata ketika merujuk pada benda-benda fisik. Tapi perubahan atau penggantian ideologi adalah sesuatu proses yang ada dalam pikiran dan hati seseorang atau kelompok orang yang dapat dinilai dari pandangan dan perilakunya. Penilaian inipun bersifat subyektif. Perubahan atau penggantian pandangan sosial atau ideologi seseorang atau kelompok orang adalah sesuatu yang tak terelakkan dalam dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang dan berubah. Ini adalah sesuatu yang wajar dan alamiah yang mustahil dilarang oleh hukum pidana dan hukum lainnya. Kalau kita mencermati nilai-nilai sosial yang terefleksi dalam TAP MPR No. VII Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, disana kita akan menemukan perubahan nilai-nilai sosial yang dianut bangsa Indonesia yang bisa diartikan pula perubahan pandangan sosial atau ideologi itu. Misalnya, visi tentang Adil yang menyatakan :

“Terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya ekonomi dan penguasaan asset, serta hilangnya praktik monopoli.”

Visi ini merefleksikan nilai sosial yang digali dari berbagai sumber, antara lain nilai keadilan sosial yang dikembangkan oleh Karl Marx. Jika benar demikian, dengan merujuk pada rumusan Pasal 209 RUU KUHPidana, para penyusun TAP MPR No. VII Tahun 2001 dapat dituduh telah menyebarkan dan mengembangkan ajaran Marxisme. Para penyusun Pasal 209 itu tidak menjelaskan bagian-bagian mana dari ajaran Marxisme-Leninisme yang bertentangan dengan Pancasila. Seluruh uraian di atas menunjukkan, walaupun para penyusun telah memasukkan kalimat “melawan hukum” dan “dengan maksud mengubah atau mengganti…dst” sebagai cara untuk mencegah penggunaan pasal secara abusive, namun Pasal 209 tetap menjadi pasal karet yang membuka diri bagi penyalahgunaannya. Pasal 209 jelas bertentangan dengan hukum HAM Indonesia, yaitu :
 Pasal 28 E ayat (2) , Pasal 28 F dan Pasal 28 I UUD l945;
 Pasal 4 dan Pasal 14 UU No. 39 Tahun l999 tentang HAM;
 UU tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Baik Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 F UUD l945 dan UU tentang HAM maupun Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) menegaskan suatu prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Semua orang harus memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya tanpa paksaan.
b. Semua orang harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi. Hak ini harus meliputi kebebasan mencari, menerima, dan menyebarluaskan segala jenis informasi dan ide, tanpa melihat batasan, baik secara lisan, tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, ataupun melalui media lain sesuai pilihannya.

Bahwa kebebasan berekspresi dapat ditundukkan kepada peraturan publik yang bisa saja membawa akibat sebuah pembatasan.Namun, peraturan publik (public policy) tidak boleh menghilangkan prinsip tersebut. Pasal 209 RUU KUHPidana itu bukan saja menghilangkan prinsip-prinsip perlindungan HAM tersebut di atas, tetapi yang lebih memprihatinkan dan menakutkan sifat multi-tafsir pasal tersebut.

Pasal 210
“(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dimuka umum dengan lisan, tulisan, dan/ atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.”

Penjelasan Pasal 210 menyatakan, “Lihat Penjelasan Pasal 207”. Namun, ternyata Penjelasan Pasal 207 hanya menyatakan “Cukup jelas.” Seperti halnya Pasal 209, Pasal 210 mengandung sejumlah ketidakjelasan yang mengundang multi-tafsir yang dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpastian, yang berarti mengundang penyalahgunaannya oleh penguasa. Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan melawan hukum ? Apakah berarti penyebaran dan pengembangan Komunisme/Marxisme-Leninisme di muka umum melalui media apapun boleh asal tidak secara melawan hukum atau penyebaran ajaran itu di muka umum sudah merupakan pelanggaran hukum ? Lalu apa hubungan logis atau kausa antara penyebaran ajaran itu dengan timbulnya kerusuhan ? Apakah maksud penyusun Pasal 210 hendak menyatakan bahwa penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme itu dapat menimbulkan kerusuhan ? Atau penyusun pasal itu bermaksud menyatakan bahwa meskipun pihak penyebar ajaran itu melakukannya secara damai, namun bila mengundang reaksi pihak lain yang menolaknya, dan kemudian pihak lain yang menolak melakukan kerusuhan, fakta ini sudah cukup untuk menjadi syarat dijatuhkannya pidana 10 (sepuluh) tahun kepada pihak yang menyebarluaskan ajaran itu. Esensinya, asal terjadi kerusuhan pada saat atau setelah penyebaran ajaran itu, tanggung jawab pidana ada pada pihak yang menyebarkan. Apakah demikian maksud penyusun pasal itu ? Seandainya benar demikian maksud penyusun Pasal 210 itu, maka jelas bertentangan dengan asas fairness, keadilan dan obyektifitas dalam perumusan norma hukum. Kerusuhan sebagai suatu perbuatan yang acap menimbulkan kerugian fisik, nyawa dan benda jelas merupakan perbuatan pidana yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak yang membuatnya. Namun, mengkaitkan penyebaran suatu ajaran dengan timbulnya kerusuhan harus dijelaskan oleh penyusun pasal tersebut. Karena penyebaran suatu ajaran apakah itu Komunisme atau kapitalisme atau isme-isme yang lain secara universal diakui sebagai perbuatan yang sah dan dijamin oleh UU HAM Internasional. Yang dilarang oleh hukum HAM Internasional maupun hukum HAM nasional adalah anjuran untuk menggunakan kekerasan secara melawan hukum untuk mencapai suatu tujuan. Jadi persuasi, dorongan, anjuran, hasutan untuk melakukan kekerasan itu yang baik akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan sekarang ini dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Jadi, kekerasannya yang melawan hukum itu bukan soal penyebarluasan suatu ajarannya. Pasal 210 jelas bertentangan dengan Hukum HAM nasional dan Internasional.

Pasal 211
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) setiap orang yang :

a. mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme;
b. mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan maksud mengubah dasar Negara; atau
c. mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.”

Menggulingkan pemerintah yang sah jelas merupakan kejahatan yang pengaturannya sudah diatur dalam pasal-pasal 215, 216, dan 217. Karena itu, tidak tepat dicampur-adukkan dengan ajaran tertentu. Pencampuradukan yang demikian itu justru akan menimbulkan kekacauan, ketidakjelasan dan ketidakpastian. Memang rumusan Pasal 211 mengandung sejumlah ketidakjelasan, misalnya butir (a)… yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran menganut ajaran…dst. Apa itu yang dimaksud dengan diduga keras ? Apa itu ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme ? Rumusan Pasal 211 membuka jalan bagi sebuah dasar untuk menuntut setiap orang yang mendirikan organisasi yang diduga penguasa menganut ajaran yang ditafsirkan oleh penguasa itu menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Disinilah sifat karet pasal tersebut yang membuka avenue bagi kesewenang-wenangan oleh kekuasaan.

Pasal 211 secara keseluruhannya bertentangan dengan hukum HAM Indonesia dan Internasional, yaitu:
Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD l945;
 Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU tentang HAM;
 UU Ratifikasi KIHSP dan KIHESB;
 UU Ratifiikasi Konvensi ILO No. 98.

Pasal 262
“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”

Penjelasannya
“Yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Penghinaan terhadap orang biasanya merupakan tindak pidana aduan, akan tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut dengan tidak perlu ada pengaduan. Pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden.”
Sebagaimana dapat pada rumusan tersebut di atas, Pasal 262 RUU KUHPidana tidak mendefinisikan secara rinci apa itu yang dimaksud dengan menghina. Penjelasan pasal tersebut memperluasnya dengan menyatakan “perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden”. Perluasan ini mengundang kekhawatiran, yaitu terbukanya peluang untuk penyalahgunaannya oleh penguasa. Seorang Presiden dan Wakil Presiden adalah pimpinan pemerintahan, yang berarti merupakan figure public yang mengemban tugas melayani kepentingan publik. Untuk itulah pimpinan pemerintah diberikan sejumlah hak dan kewenangan. Penggunaan hak dan wewenang sebagai penguasa itulah yang dalam demokrasi akan selalu memperoleh sorotan dari publik sebagai wujud dari kontrol publik terhadap pemerintah. Kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Presiden dan Wakil Presiden selaku pimpinan pemerintah mempunyai dinamikanya sendiri. Sehingga bisa saja dalam proses menjalankan fungsi kontrolnya itu digunakan kata atau kalimat-kalimat keras dengan tujuan untuk menekan atau memperoleh perhatian dari pimpinan pemerintah. Ini sesuatu yang lumrah dalam demokrasi. Namun, bisa saja kata atau kalimat yang keras, tajam dan acap menyinggung perasaan dipersepsi sebagai sebuah penghinaan oleh yang bersangkutan. Bila pimpinan pemerintah merasa dihina atau difitnah, ini adalah reaksi dari sikap subyektif dari yang bersangkutan. Hukum dimanapun memberi hak kepada yang bersangkutan untuk menuntut pihak yang didakwa melakukan penghinaan. Selanjutnya, kita serahkan kepada hakim untuk menilainya. Jadi, seharusnya merupakan delik aduan. Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 262 yang menyatakan penghinaan dapat dituntut tanpa perlu pengaduan tidak tepat dan malahan membuka peluang penyalahgunaannya oleh penguasa yang berakibat terlanggarnya hak atas kebebasan berekspresi.

Pasal 284
“Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”

Pasal 285
“(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”

Penjelasan Pasal 284
“Pasal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya perbuatan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.”

Pasal 400
“Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.”

Penjelasan Pasal 400
“ Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, boleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini.”

Sebagaimana dapat dibaca pada kutipan pasal-pasal tersebut di atas, selalu kita jumpai kata-kata atau kalimat “…menghina yang berakibat terjadinya keonaran…dst”. Saya menduga para penyusun ini merumuskan pasal tersebut dengan maksud pada satu sisi ingin melindungi kehormatan dan martabat pemerintah, kekuasaan umum atau lembaga negara. Pada sisi yang lain, para penyusun pasal-pasal itu juga tidak ingin kalimat “menghina“ itu ditafsirkan terlalu luas sehingga membunuh kebebasan berekspresi. Karena itulah dimasukkan kata “berakibat terjadinya keonaran” untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan. Jadi, untuk dapat dipidana tindakan “menghina” itu harus mengakibatkan timbulnya keonaran. Namun, cara pencegahan yang demikian belum tentu tepat dan bisa melindungi hak atas kebebasan berekspresi yang diperlukan untuk memperkuat civil society, khususnya membangun tradisi kontrol sosial yang kuat yang diperlukan bagi bekerjanya sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “onar” berarti : 1) huru-hara, gempar; 2) keributan, kegaduhan.

Kegaduhan, keributan atau huru-hara itu gambaran faktanya berbeda-beda dari satu kasus ke kasus yang lain. Sebuah informasi yang benar tentang perilaku seorang pejabat pemerintah atau lembaga negara yang diungkapkan oleh seorang wartawan, bisa saja dipersepsikan oleh si Pejabat sebagai penghinaan. Dan bila terungkapnya fakta itu timbul keributan maka adalah tidak adil bila pihak yang mengungkapkan berita kritis itu dipidana 3 (tiga) tahun. Tanggung jawab pidana bagi timbulnya kegaduhan itu semestinya ada di pundak pejabat pemerintah itu yang telah menutupi kebenaran atau tidak jujur. Rumusan pasal ini mengandung potensi untuk disalahgunakan dengan mengurangi atau melanggar hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan informasi yang justru diperlukan untuk membangun tata hubungan yang lebih simetris antara civil society dengan pemerintah dan negara dalam sebuah bangunan negara hukum yang demokratis.

RUU KUHPidana dalam BAB IX memuat secara khusus Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia yang terdiri atas :
1. Genosida;
2. Tindak Pidana Kemanusiaan;
3. Tindak Pidana Perang dan Konflik Bersenjata;
4. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana HAM;
5. Penyiksaan.

Ini tentu masih belum memadai, karena masih banyak bentuk pelanggaran HAM lainnya seperti diskriminasi atas dasar ras, gender, agama, keyakinan politik dan lain sebagainya yang memerlukan perlindungan hukum, akan tetapi belum tentu tepat digunakan pendekatan hukum pidana. BAB XX RUU KUHPidana tentang Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan sesungguhnya merupakan tindak pidana terhadap HAM. Dengan demikian, lebih tepat diintegrasikan ke dalam Bab IX.

Pada sisi yang lain, RUU KUHPidana masih mempertahankan kebijakan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif menunjukkan pula, bahwa hak hidup yang dijamin oleh UUD l945, UU HAM dan UU Ratifikasi KISP dan KIHESB belum sepenuhnya dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh para penyusun RUU tersebut. Para penyusun RUU KUHPidana nampaknya telah berusaha untuk memenuhi standar penyusunan KUHPidana modern yang meletakkan prinsip keseimbangan antara perlindungan hak-hak individu, masyarakat dengan kepentingan negara. Namun, pada sisi lain RUU KUHPidana ini masih menyisakan sejumlah persoalan fundamental, yaitu berkenaan dengan materi muatan pasal-pasal 209, 210, 211, 262, 284, 285, 400 yang rumusannya membuka peluang luas bagi penyalahgunaannya oleh penguasa yang bisa berakibat terlanggarnya hak-hak dasar yaitu, hak atas keyakinan politik, hak atas kebebasan berpikir, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul, dan hak atas kebebasan informasi, hak hidup yang semuanya diakui dan dijamin oleh Hukum HAM Indonesia. Khusus pasal-pasal 209, 210, dan 211 qua materi jelas bertentangan dengan UUD l945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU tentang Ratifikasi KIHSP dan KIHESB. Karena eksistensinya jelas membuka peluang bagi kesewenang-wenangan kekuasaan yang membawa akibat terampasnya hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak atas kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan informasi yang semuanya sangat vital bagi berlangsungnya sistem pemerintahan demokratis dalam sistem Negara Hukum Indonesia (NHI). Oleh karena itu, para penyusun RUU sangat perlu mempertimbangkan untuk merevisi atau meniadakan keberadaan pasal-pasal tersebut.



Jakarta, 24 November 2005

BAHAN RUJUKAN

Jan Remmelink, “HUKUM PIDANA : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. 
J.M. van Bemmelen, “HUKUM PIDANA 1 : Hukum Pidana Material Bagian Umum”, Binacipta, l984. 
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, Balai Pustaka, 2002.
Mardjono Reksodiputro, 2005. 
RUU KUHPidana, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM, 2004. 
UUD l945 
UU No. 39 Tahun l99 tentang Hak Asasi Manusia 

No comments:

Post a Comment