Ifdhal Kasim©
I. PENDAHULUAN
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) telah rampung dirancang oleh Tim Perumus, yang diketuanya Prof. Muladi, S.H., dan kini sudah berada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, untuk diteruskan ke Presiden. Pada Rapat Paripurna ke-13 DPR, 01 Februari 2005 -- yang membahas Program Legislasi Nasional periode 2005-2009 -- Hamid Awaluddin menyampaikan bahwa pemerintah akan memprioritaskan pembahasan terhadap RUU-KUHP pada tahun pertama program legislasi, yakni tahun 2005. RUU ini memang sudah lama disiapkan pemerintah dan tertunda-tunda diajukan ke DPR. Maka, wajar apabila Menteri Hukum dan HAM bertekad menjadikan RUU ini sebagai prioritas untuk diajukan pembahasannya ke DPR.
Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi obsesi bangsa ini. Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht -- produk hukum pidana pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara demokratis. Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang berada dalam transisi, yakni transisi dari meninggalkan rezim politik otoriter Orde Baru menuju sistem politik baru yang belum sepenuhnya terbentuk (demokratis atau bukan). Konteks atau “semangat zaman” inilah yang harusnya dijawab dalam penyusunan hukum pidana baru (RUU-KUHP). Lebih tegas lagi, artinya, penyusunan RUU-KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi saat ini.
Tulisan ini ingin memberikan tinjauan menyeluruh (general observation) terhadap naskah RUU-KUHP : apakah naskah RUU-KUHP tersebut diletakkan dalam kerangka proyek besar Reformasi yang sedang bergulir atau tidak ? Inilah yang menjadi fokus pembahasan, bukan pada dataran analisis pasal per-pasal. Bagian pertama dari tulisan ini akan menyinggung secara ringkas dimulainya prakarsa penyusunan RUU, dan pada bagian kedua tulisan ini memasuki pembahasan mengenai politik hukum pidana (criminal law politics) yang terkandung dalam RUU ini, kemudian diikuti dengan pembahasan terhadap materi RUU secara menyeluruh pada bagian tiga tulisan ini, dan akhirnya ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi.
II. MENYUSURI JALAN PENYUSUNAN
Naskah RUU KUHP yang sekarang hendak diajukan ke DPR itu memiliki riwayat yang panjang : ia telah disiapkan dalam waktu yang sangat lama. Lebih dari 10 (sepuluh) tahun lamanya. Langkah penyusunan konsepnya sudah dimulai Maret 1981. Disusun oleh dua Tim yang bekerja secara bersamaan, yaitu Tim Pengkajian dan Tim Rancangan -- yang kemudian dileburkan ke dalam satu Tim. Berturut-turut yang menjadi pimpinan Tim ini adalah : Prof. Sudarto, S.H. (meninggal tahun 1986); Prof. Mr. Roeslan Saleh (meninggal 1988); dan terakhir, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H. (sejak tahun 1987-1993). Tim yang terakhir inilah yang berhasil memformulasinya dalam bentuk RUU. Pada 13 Maret 1993, Tim Mardjono Reksodiputro ini menyerahkan draft tersebut kepada Menteri Kehakiman yang pada waktu itu dijabat oleh Ismail Saleh, S.H. Tetapi draft ini berhenti di tangan Menteri Kehakiman, dan direvisi kembali oleh Menteri Kehakiman berikutnya dengan Tim yang baru, sampai akhirnya direvisi kembali di bawah Tim yang baru (saat ini) yang dipimpin oleh Prof. Muladi.
RUU KUHP di bawah Tim Muladi tersebut boleh dikatakan merupakan produk pemikiran generasi baru ahli hukum pidana Indonesia. Di antaranya terdapat nama-nama seperti Prof. Barda Nawawi, Prof. Muladi, Prof. Dr. Emong Komariah, dan Dr. Mudzakkir. Generasi baru ini tentu memiliki kompetensi akademis dan semangat zaman yang berbeda dengan generasi ahli hukum pidana sebelumnya (generasi Prof. Sudarto, S.H.). Perbedaan kompetensi akademis, konteks zaman, dan kepentingan antar generasi perancang RUU KUHP, tak dapat dipungkiri akan mempengaruhi pula hasil masing-masing Tim Penyusunan. Sebagai sebuah produk pemikiran dari generasi baru ahli hukum pidana Indonesia, maka menjadi relevan masalah yang menjadi fokus bahasan tulisan ini. Pertanyaan berikutnya dalam kaitan ini adalah, apakah mereka menangkap atau merespon semangat zaman dan konteks dalam merancang RUU ini ?
RUU-KUHP produk Tim yang baru tersebut memang secara fundamental dengan produk Tim Penyusunan 1987-1993 (diketuai oleh Prof. Mardjono Reksodiputro). Tim Penyusunan yang baru (2005), kelihatannya berambisi menyusun sebuah kodifikasi baru hukum pidana, dengan mengubah sistematikanya dan menambah delik-delik baru. Sedangkan, Tim-tim Penyusunan sebelumnya, dengan rendah hati menyebut pekerjaan mereka terbatas melakukan re-kodifikasi atas KUHP Hindia Belanda (yang sudah berlaku sejak tahun 1915 di Indonesia). Dengan demikian, dalam naskah yang baru (yang dirancang oleh Tim Muladi), pemerintah berusaha memformulasi sebanyak mungkin tindak pidana “baru” yang berkembang dalam suatu masyarakat modern -- yang belum dicakup dalam KUHP Hindia Belanda, yakni melakukan kebijakan kriminalisasi. Selain, tentu saja, menghapuskan aturan-aturan yang dianggap archaic (kebijakan dekriminalisasi). Tetapi, diletakkan dalam kerangka tujuan apa kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi itu diambil ? Apakah dalam kerangka tujuan menciptakan tatanan demokratis -- yang merupakan proyek besar Reformasi, atau bukan ?
III. POLITIK HUKUM PIDANA : MENUJU DEMOKRASI ?
Pertanyaan di atas membawa kita kepada pembahasan terhadap politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan RUU-KUHP. Yang dimaksud dengan ‘politik hukum pidana’ adalah kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi (criminalization) atau dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu perbuatan. Di sini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, dan menyeleksi di antara pelbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana di masa mendatang. Dengan ini, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakan tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau delik.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, ketika merancang naskah 1987-1993, pendekatan Tim dalam melakukan kriminalisasi dan de-kriminalisasi adalah mencari sintesa antara hak-hak induvidu (civil liberties) dan hak-hak masyarakat atau kepentingan umum (public interest). Selain menjaga kepentingan politik Negara (State’s policy). Tim Perumus yang menyiapkan naskah yang sekarang (Tim Muladi) juga mempertahankan pendekatan sintetik atau proporsional tersebut. Menurut kami, disinilah titik krusial criminal law politics yang terkandung dalam naskah RUU ini, karena tidak mudah menyeimbangkan ketiga domain tersebut. Jika sintesa ketiga kepentingan ini (induvidu, masyarakat dan negara) tidak berhasil dirumuskan dengan tepat, maka sangat besar kemungkinan terjadi “overcriminalization” ke dalam salah satu domain tersebut.
Persis inilah yang telah terjadi dalam naskah RUU. RUU KUHP ini memberat kepada perlindungan kepentingan politik negara (State’s policy) dan kepentingan hak-hak masyarakat atau kepentingan umum (public interest), sehingga mengancam kebebasan induvidual (civil liberties) . Hal ini terlihat dengan gamblang dari kebijakan kriminalisasinya atas perbuatan yang berada di ranah privat (hak-hak individu), yang cenderung berlebihan atau “overcriminalization”. Karena terlalu jauh memasuki wilayah paling personal seseorang. Kriminalisasi di ranah ini berdampak menghidupkan begitu banyak delik yang bercorak “victimless crimes”, yang sudah banyak ditinggalkan negara-negara demokratis. Sebab, perbuatan-perbuatan tersebut sebetulnya berada dalam tataran moralitas dan kesopanan yang tidak semestinya dihadapi dengan hukum pidana. Kalau hampir semua perbuatan di wilayah privat ini dikriminalisasi, tidak berlebihan apabila kita katakan akan terjadi gejala “more laws but less justice !”.
Selain itu, RUU ini juga mengandung bahaya akan terjadinya kriminalisasi atas civil liberties, terutama dengan mengkriminalisasi kebebasan berpikir -- dalam hal ini kriminalisasi terhadap ajaran ‘Komunisme/Marxisme-Leninisme’. Dengan ini, perancang RUU telah merumuskan sesuatu yang tak pernah dilakukan di negara-negara demokratis, yakni mengkriminalisasi pikiran! Ini sebetulnya merupakan warisan “proyek” politik Orde Baru, mengkriminalkan lawan-lawan politiknya sebagai musuh negara (state’s political foes), yang sudah kehilangan relevansi dan konteks politiknya saat ini. Tetapi para perancang RUU ini, yang merupakan generasi baru ahli hukum pidana kita, masih mempertahankan warisan politik Orde Baru tersebut. Kelihatannya persepsi menjadikan hukum pidana sebagai instrumen politik negara menghadapi musuh-musuh politiknya masih besar dalam pemikiran perancang RUU.
Tinjauan atas criminal law politics RUU-KUHP seperti dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa perancang RUU ini belum menempatkan penyusunan RUU-KUHP dalam konteks politik yang berubah saat ini. Dengan menempatkan penyusunan RUU ini ke dalam bagian proyek besar Reformasi, sehingga RUU ini nantinya dapat memfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis. Tetapi sayang sekali perancang RUU ini masih terjebak dalam warisan otoritarianisme Orde Baru.
IV. MATERI RUU KUHP : “the misuse of criminal sanction ”
Sekarang kita tiba pada pembahasan yang lebih spesifik terhadap materi yang terkandung dalam naskah RUU KUHP tersebut. Kalau pemaparan di atas mencoba menganalisis criminal law politics yang mendasari perumusan RUU tersebut, maka pemaparan berikut ini mencoba meninjau isi atau materi RUU KUHP. Tetapi seperti telah dikemukakan di depan, pembahasan dilakukan bukan pada tataran pasal per pasal, melainkan menganalisisnya secara menyeluruh (general observation).
Di muka sudah dikatakan, bahwa perancang RUU ini berambisi membuat kodifikasi baru hukum pidana. Bukan melakukan re-kodifikasi atas KUHP Hindia Belanda. Makanya, perancang RUU memasukkan semua ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP ke dalam RUU ini, sehingga RUU ini menjadi sangat tebal (lebih kurang terdapat 700 pasal). Selain itu, perancang RUU mengubah sistematika KUHP selama ini (yang terdiri dari tiga buku) menjadi dua buku, yakni Buku I memuat tentang Ketentuan Umum, dan Buku II memuat tentang Tindak Pidana. Jadi, sudah tidak ada lagi pembedaan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) -- sebagaimana terdapat dalam KUHP sekarang. Di bawah ini dipaparkan garis-garis besarnya :
BUKU I : ASAS UMUM DAN PEMIDANAAN
Perancang UU merumuskan ke dalam Buku I semua hal yang berkaitan dengan asas-asas umum hukum pidana. Mulai dari asas legalitas, kesalahan, pertanggungjawaban pidana, alasan pemaaf, hingga kepada pemidanaan. Perancang UU mengintroduksi beberapa konsep baru di dalam Buku I ini, antara lain dimasukkannya pertanggungjawaban pidana perusahaan (corporate criminal responsibility) dan diterapkannya asas ‘vicarious liability’. Langkah ini jelas merupakan suatu kemajuan.
Tetapi yang menarik adalah, perancang memasukan ketentuan mengenai berlakunya hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam RUU ini. Dengan memasukkan ketentuan ini, maka asas legalitas (principle of legality) dapat dikesampingkan. Artinya, dengan rumusan ini, maka Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak berlaku secara absolut, tetapi dapat diterobos dengan berlakunya hukum adat --seperti ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan : ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan”. Dimana terhadap pelaku tindak pidana ini pidana yang dijatuhkan adalah berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang ditetapkan oleh hakim (Pasal 93 ayat (1) RKUHP).
Asas legalitas – yang bermakna nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali (tiada delik, tiada pidana tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dulu) -- dipandang sebagai palladium (safeguard) negara hukum. Asas ini merupakan penghubung antara rule of law dan Hukum Pidana, yang penyimpangannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan darurat saja. Tetapi, asas legalitas ini telah kehilangan maknanya sebagai safeguard terhadap Negara Hukum. Kata lainnya adalah konsep Rule of Law telah kehilangan signifikansinya dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP. Sebab di luar tindak pidana yang diatur dalam RUU ini, terdapat tindak pidana lain yang tak tertulis yang berlaku bagi setiap orang di Indonesia, yang tidak dapat diperkirakan ketentuannya (unpredictable). Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) terhadap hukum pidana. Yang kita kuatirkan adalah, disalahgunakannya ketentuan ini oleh aparat penegak hukum dan masyarakat.
Selain itu, dalam Buku I ini juga diatur mengenai jenis-jenis pidana. Sama seperti KUHP yang berlaku saat ini, RUU masih mempertahankan jenis-jenis pidana yang ada dalam KUHP selama ini, yakni pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan (Pasal 60 ayat (1) RUU KUHP). Tetapi tidak begitu jelas paradigma yang dianut perancang UU dalam merumuskan kebijakan pemidanaan ini, apakah bertolak dari paradigma distributive atau restorative, atau bahkan bertolak dari paradigma utilities.
Yang menarik adalah tetap dipertahankannya hukum mati (capital punishment) sebagai sebagai pidana terberat. Tidak kurang dari 13 pasal yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya. Perancang undang-undang tampaknya tidak terganggu sedikitpun dengan Amandemen ke-2 UUD 1945, yang menegaskan jaminan konstitusional terhadap hak atas hidup (right to life). Bahkan, UUD menyebutkan hak ini sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, dan dengan alasan apa pun (non derogable rights). Karena itu, jelas ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi.
BUKU II : TINDAK PIDANA
Dalam Buku II perancang undang-undang mulai merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana (kriminalisasi). Tindak pidana apa saja yang dimasukkan dalam RUU ini. Perancang UU masih mempertahankan sebagian besar jenis-jenis tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP lama, begitu juga pengklasifikasiannya. Misalnya tindak pidana makar, diklasifikasi ke dalam ‘tindak pidana terhadap keamanan negara’(crime against State). Tetapi pengelompokkan yang dibuat terlihat ada yang kurang tepat, misalnya memasukkan tindak pidana terorisme ke dalam klasifikasi tindak pidana terhadap keamanan negara. Jelas ini kurang tepat, karena sasaran serangan teroris bukan hanya tertuju pada keamanan negara tetapi lebih luas dari itu, yakni keamanan manusia (human security). Kejahatan terorisme adalah kejahatan serius yang merupakan musuh umat manusia, yang karena itu tidak dapat disetarakan dengan tindak pidana makar atau tidak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara.
Di samping mempertahankan tindak pidana yang sudah ada dalam KUHP lama, RUU ini memasukkan pula jenis-jenis tindak pidana baru. Tindak pidana baru tersebut, antara lain : (i) tindak pidana terhadap ideologi negara; (ii) tindak pidana terorisme; (iii) tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat; (iv) tindak pidana penyiksaan; (v) tindak pidana kesusilaan dan pornografi; (vi) tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga; (vii) tindak pidana perdagangan manusia; (viii) tindak pidana oleh pers; dan (x) tindak pidana lingkungan. Tetapi seperti sudah disinggung di atas, pengklasifikasian tindak-tindak pidana tersebut ke dalam satu bab tertentu seringkali kurang tepat. Di samping contoh yang sudah disajikan di atas, kita bisa ambil contoh lainnya. Mari kita ambil, tindak pidana yang diklasifikasikan ke dalam tindak pidana terhadap kewajiban dan hak kewarganegaraan, yang isinya ternyata tindak pidana terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat dan tindak pidana terhadap Pemilihan Umum.
Beberapa tindak pidana baru yang dirumuskan di atas, menurut pandangan kami memang relevan dan tepat dikategorikan sebagai tindak pidana. Tetapi terdapat beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan terlihat sudah terlalu jauh masuk ke wilayah paling personal orang (privacy rights) yang berada dalam domain civil liberties, seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan privat lainnya. Selain itu, terlihat perumusan tindak pidana “baru” telah mencampur aduk antara moralitas, dosa, adab kesopanan dengan norma hukum, akibatnya hampir-hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana -- seperti memberi salam dengan ciuman (yang tentunya dilakukan di depan umum). Kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tersebut bisa jadi akan meningkatkan gejala ‘victimless crime’, selain terampasnya kebebasan fundamental atau civil liberties yang dijamin Konstitusi.
Marilah kita ambil salah satu tindak pidana yang sebetulnya berada dalam domain civil liberties, yaitu tindak pidana yang terkait dengan pornografi. Dirumuskan sebagai berikut : “dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV, setiap orang yang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik : (a) bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa; (b) ketelanjangan tubuh; (c) tubuh atau bagian-bagian tubuh orang menari erotis atau bergoyang erotis; (d) aktivitas orang berciuman bibir; dan seterusnya”. Tindakan yang dirumuskan di sini terkait dengan medium seni seperti tulisan, film, syair lagu, puisi atau lukisan, yang merupakan medium kebebasan berekspresi. Batasan mengeksploitasi daya tarik dari (a) hingga (d) itu jelas mematikan kebebasan berekspresi dalam seni film, tari, puisi, lukisan, syair lagu dan seterusnya itu.
Contoh lainnya adalah terkait dengan kebebasan berpikir (freedom of thought), yang juga berada dalam ranah civil liberties. Hak politik yang paling dasar ini berpotensi dilanggar dengan ketentuan mengenai “tindak pidana terhadap ideologi negara” yang terdapat dalam Bab I tentang Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara. Persisnya bunyi ketentuannya adalah : “barangsiapa secara melawan hukum menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk, dan perwujudannya” dan “setiap orang yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat dipidana”. Menurut perancang, ketentuan ini dimasukkan sebagai konsekuensi dari TAP MPRS No. XXV /1966 mengenai Larangan Penyebarluasan Paham Komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia. Tetapi menurut kami, dimasukkannya ketentuan ini sebagai tindak pidana lebih menunjukkan diakomodasinya kepentingan politik negara (yang diwariskan rezim politik Orde Baru), ketimbang mengakomodasi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan civil liberties.
Pada sisi yang lain, kriminalisasi atas pemikiran tersebut pada gilirannya berimplikasi pada ketidakpatuhan Negara pada kewajiban internasionalnya dalam melindungi hak asasi manusia internasional. Seperti diketahui, hak atas kebebasan berpikir merupakan salah satu sendi terpenting rezim hak asasi manusia internasional, yang dengan demikian memberikan kewajiban kepada Negara untuk menghormatinya. Karena itu, jika RUU ini nanti disahkan DPR tanpa revisi atas hal ini, maka Negara di sini telah melakukan pelanggaran atas kewajibannya untuk menghormati hak asasi manusia (obligation to respects). Pelanggaran dalam bentuk ini biasanya dikategorikan ke dalam pelanggaran atas obligation of conduct, dimana Negara melalui proses legislasi telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma internasional hak asasi manusia.
V. CATATAN PENUTUP
Kita memahami bahwa tujuan pembaharuan KUHP nasional adalah untuk mewujudkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di samping itu, tujuan pembaruan KUHP adalah untuk menyesuaikan materi hukum pidana nasional dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Dan sekarang, perkembangan kehidupan kita bernegara, sedang bergerak tertatih-tatih menuju demokrasi. Pembaruan hukum pidana dengan demikian harus diletakkan dalam kerangka perkembangan tersebut, yaitu memperkuat landasan bagi kehidupan bernegara secara demokratis.
Tetapi dari tinjauan menyeluruh (general observation) terhadap RUU KUHP itu yang dipaparkan di atas, terlihat bahwa semangat pembaruan KUHP tidak diletakkan dalam kerangka politik yang telah berubah tersebut, yang mengarah ke sistem demokrasi. Masih kental terlihat kesadaran atau cara berpikir warisan sistem otoriter Orde Baru dalam penyusunan RUU tersebut, yaitu besarnya keinginan mengendalikan kebebasan warga negara. Makanya alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, politik kriminal (criminal law politics) yang terkandung dalam RUU KUHP justru sebaliknya; mengancam kekebebasan dasar (civil liberties) dan hak asasi manusia (human rights). Yang tampak dari politik kriminal demikian adalah, melindungi kepentingan politik negara dan masyarakat, ketimbang mencari keseimbangannya dengan “civil liberties” dan hak-hak individu (human rights). Sehingga dapat dikatakan, politik kriminal yang mendasari perumusan RUU KUHP masih belum mengarahkan kepada demokratisasi hukum pidana, yakni mempromosi, menjaga dan melindungi hak asasi manusia.
Bahaya “overcriminalization” di dalam naskah RUU KUHP sangat kentara. Seperti ditunjukkan dalam uraian di atas, hampir semua perbuatan yang tak patut (baik dari segi agama, moral atau etika) atau tidak disukai dikualifisir sebagai tindak pidana (delik). Terjadi kriminalisasi besar-besaran di dalam RUU ini, sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang merupakan pelanggaran terhadap adab kesopanan, dosa, dan mana yang merupakan delik! Kriminalisasi besar-besaran ini pada gilirannya akan mengarah kepada apa yang disebut dengan “the misuse of criminal sanction”. Hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai “ultimum remedium”, tetapi difungsikan terutama sebagai instrumen “penekan” atau “pembalasan”. Hukum pidana dianggap sebagai ‘panacea’ untuk menjawab semua penyakit masyarakat.
Bertitik tolak dari kesimpulan observasi di atas, tulisan ini tiba pada rekomendasi sebagai berikut :
RUU KUHP ini harus direvisi. RUU ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar Reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana (criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics inilah yang lebih diperlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik dan tetek bengek lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.
Revisi RUU KUHP ini harus ditempatkan pula dalam rangka mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen “penekan” bagi rezim yang berkuasa. Makanya, penyusunan RUU ini harus sedapat mungkin mendekatkan KUHP yang baru itu pada standar baku hukum pidana modern, yang pada akhirnya membuat kita dapat “berdiri sama tegak” dan “duduk sama rendah” di tengah pergaulan antar bangsa.
• Berkaitan dengan poin rekomendasi di atas, maka kriminalisasi yang dirumuskan dalam RUU ini harus menghindari jebakan ‘overcriminalization’, dan karena itu kriminalisasi yang mengarah kepada ‘victimless crime’ dalam RUU ini harus ditinjau kembali.
Tetapi semua ini tergantung pada kita semua. Nasib RUU KUHP ini terletak pada itikad dan kemauan kita untuk membawanya kemana : ke arah demokrasi atau tidak?
No comments:
Post a Comment