Kampusku.Com: POLITIK HUKUM PIDANA, DASAR KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI SERTA BEBERAPA PERKEMBANGAN ASAS DALAM RUU KUHP

Cari Makalah

Thursday, January 7, 2010

POLITIK HUKUM PIDANA, DASAR KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI SERTA BEBERAPA PERKEMBANGAN ASAS DALAM RUU KUHP

Prof. Dr. Muladi, S.H.

Berbicara tentang Plitik Hukum pidana (criminal law politics) pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Dengan demikian terkait disini proses pengambilan keputusan (decision making proses) atau pemilihan melalui seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambuil keputusan dan pilihan tersebut, disusun pelbagai kebijakan (policies) yang berorientasi pada berbagai permasalahan pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternaif sanksi yang baik yang merupakan pidana (straf) maupun tindakan (maatregel).

Dalam kerangka di atas didengar pelbagai aspirasi yaitu dari sisi suprastruktural, infrasutruktural, akademis dan kecenderungan internasional yang sejauh mungkin selalu berorientasi pada tujuan publik (public goals) dan tujuan individual yang bersifat subjektif (private goals).

Dalam merumuskan pembaharuan hukum pidana (criminal law reform) yang bersifat sistemik, tidak bersifat ad hoc dan tambal sulam (semacam lappedekken) cukup dirasakan berat, mengingat sifat multidemensi masyarakat Indonesia yang di satu pihak ingin terus memperhitungkan aspek-aspek partikularistik yang melekat pada agama, etika, moral bahkan kepercayaan pada kekuatan ghaib yang bersifat pluraristik dan di lain pihak menginginkan keberadaan hukum pidana modern yang memenuhi standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka hubungan internasional dan proses globlisasi.

Pemilihan yang diadasarkan atas pendapat konseptual keahlian yang berlaku (communis oppinio doctorum) juga tidak mudah mengingat banyaknya aliran dalam hukum pidana dan asosiasi profesional hukum pidana yang berkembang serta perbedaan system hukum atau keluarga hukum yang ada. Dengan demikian melalui metoda perbandingan hukum dan sistem hukum anatar negara yang juga pernah mengalami pembaharuan hukum pidana, sejauh mungkin digali common denominators dan pelbagai kecenderungan jangka panjang yang sekiranya dapat diadopsi setelah melalui adaptasi yang akurat.

Sepanjang mengenai perbandingan hukum, pelbagai KUHP negara-negara modern telah di kaji baik yang masuk kategori keluarga hukum Eropa Kontinental, Negara-negara Anglo Saxon, Sosialis, Timur Tengah dan Timur Jauh, kecenderungan Internasional di amati melalui pelbagai konvensi Internasional, model-law, resolusi PBB, code of conduct, standar minimum rules, deklarasi, priciple, rules, safeguards, basic principles, guidelines, model treaty, hasiul pelbagai kongres Internasional, hasil seminar asiosiasi hukum pidana, kriminologi, viktimologi Internasioanl, jurnal-jurnal ilmiah dan hasil-hasil riset dari lembaga-lembaga terkemuka.


Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana yang telah berumur 100 tahun lebih sama sekali tidak gampang. (Nedherlandse Wetboek van Strafrecht lahir berdasarkan UU tanggal 2 Maret 1881 Stb.35 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886 atas dasar UU Pengesahan (invoeringswet) tnaggal 15 April 1886 Stb.640. KUHP Belanda ini mempengaruhi hukum pidana Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu pertama melalui asas konkordasi zaman Hindia Belanda, melalui doktrin hukum yang berkembang pada saat KUHP tersebut disusun (MvT) dan melalui Text Book hukum pidana yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda serta melalui kajian yurispudensi. Di samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan akibat harmonisasi dengan perkembangan Internasioanl. Catatan : Di Era reformasi “criminal law reform” mendapat misi baru yaitu melakukan demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan perlindungan HAM dan sebagainya.

************

Untuk dapat memahami hukum pidana yang berlaku disuatu bangsa (hukum positif) termasuk “ius constituendum” hukum pidana Indoneia berupa RUU KUHP Indonesia, secara strategis perlu di pahami aliran hukum pidana yang dianut dan tujuan pemidanaan yang diadopsi.

Aliran pertama yang tumbuh sebagai rekasi terhadap “ancien regim” yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis adalah aliran klasik. Karekteristik aliran ini adalah; (a) legal defenition of crime, (b) let the punishmant fit the crime, (c) doctrine of free will, (d) death penalty for some offenses, (e) anecdotal method-no empirical research, (f) definite sentence.

Catatan : Aliran ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya sebagai pengaruh KUHP Perancis , tentunya dengan beberapa modifikasi sebagai akibat pengaruh aliran modern. Hukum pidana dalam kerangka aliran klasik disebut “Daastrfrecht” atau “Taatsstrafrecht” yakni hukum pidana yang berorientasi padaperbuatan (offense-oriented).

Aliran yang kedua adalah aliran modern yang timbul pada abad 19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat (offender-oriented). Aliran ini sering disebut Aliran Positif, karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mnempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat diperbaiki.

Karakter aliran Modern adalah; (a) rejected legal definition of crime and subtitulted natural crime, (b) let the punishment fit the criminal, (c) doctyrine of determinism, (d) abolition of the death penalty, (e) empirical research; use of individuctive method, (f) indeterminate sentence.

Catatan : sekalipun KUHP secara sistemik didominasi aliran klassik, namun secara sporadic juga sudah dipengaruhi aliran Modern, seprti pengaturan tentang pidana bersyarat, masuknya sistem tindakan dan sebagainya. Aliran Modern disebut sebagi “Daderstrafrecht” atau “Taterstrafrecht”.

Aliran yang ketiga adalah aliran Neo-Klasik (aliran Klasik baru). Aliran ini berkembang bersamaan dengan aliran Modern dan mendasarkan juga pada “Doctrine of Free Will” dengan modiufikasi. Aliran ini berusaha secara simultan untuk memperhatikan baik perbuatan maupun si pelaku (offence-offender oriented). Karakteristiknya adalah : (a) modifikasi dari doctrine of free will yang dapat di pengaruhi oleh patologi, ketidak mampuan, penyakit jiwa, atau keadaan lain (b) diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (migating circumtances) baik fidikal, lingkungan maupun mental, (c) modifikasi doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal khusus seperti gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada saat terjadinya kejahatan (d) diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menetukan derajat pertanggungjawaban. Catatan : aliran neo Klasik pada dasarnya merupakan gabungan unsur-unsur positif aliran klasik dan aliran modern dan banyak dianut pelbagai negara di dunia.

Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti aliran perlindungan masyarakat (de leer van de Defense Sociale), aliran Perlindungan masyarakat baru dan mazhab Utrecht yang menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan pernyataan seluruh kepribadian pelaku dan dikembangkan. kepada para penjahat aliran Perlindungan masyarakat ingin memberikan kekuatan mengekang diri sendiri dan memupuk perasaan tanggungjawab penjahat, sebagai pertanggungjawaban sesama manusia terhadap penjahat (de’verantwoordelijkhheid van de medemens” togenover de deliquent).

Dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan, maka pemahaman akan aliran-aliran tersebut akan membawa pembuat kebijakan kepada cakrawala yang lebih luas, sebelum mengambil putusan tentang tujuan pemidanaan yang akan digariskan. Dari Pasal 50 RRU KUHP nampak bahwa secara selektif para perancang ingin mengadopsi Teori Gabungan dari teori Absolut yang berorientasi pada pembalasan dengan toeri relatif yang bernuansa kemanfaatan, dengan menyertakan pula pengalaman sistem pemasyarakatan yang telah diterapkan di Indonesia selama bertahun-tahun. Pandangan penyelesaian konflrik dalam kerangka equilibrium mendapatkan pembenaran dari pandangan adat. Teori Pembalasan tidak nampak secara eksplisit, sebab secara implisit pembalasan dalam kontrukstif dan positif yang dibatasi oleh kesalahan si pelaku dan tidak membabi buta dianggap telah tercakup dalam tujuan pemidanaan yang lain. Tujuan pemidanaan yang pertama berupa “mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat” merupakan refleksi dari teori Prevensi General (menegakkan wibawa pemerintah , menegakkan norma damn membentuk norma). Disini sekaligus dimasukkan fungsi perlindungan (de beveiligende werking), sedangkan tujuan yang kedua berupa “memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna “mencerminkan teori Prevensi Spesial (mendidik dan memperbaiki).

Tujuan pemidanaan Ketiga (menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat) di samping mendapatkan dukungan cultural hukum adat berupa mengembalikan “evenwicth”, nampaknya secara konseptual mengadopsi pandangan LHC Hulsman yang menyatakan bahwa dua tujuan penting dari pidana adalah mempengaruhi tingkah laku dan penyelesaian perselisihan (gedragsbeinvloeding en de conflictopolossing). Hal ini mencakup memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu perbuatan, memperbaiki hubungan yang putus dan mengembalikan kepercayaan terhadap sesama manusia.

Tujuan pidana yang keempat (membebasksan rasa bersalah pada terpidana) mengandung makna destigmatisasi, disamping mengadopsi mereka yang menganut teori perlindungan Masyarakat di atas, yakni bagaimana memupuk perasaan tanggung jawab penjahat sebagai pertanggungjawaban sesamam manusia. Salah satu tokohnya Kempe menyatakan “jika pada si penjahat timbul perasaan bersalah sehingga dengan menyesal dapat menerima bahwa ia merupakan pelaku perbuatan tersebut. (wanner bij de dader shculdbewustzinj onstaat, zodat de dader zichzelf berouwvol kan aanvaarden als de dader van zinj daad).

Catatan: Dalam kenyataan prinsip yang dianut dalam menyusun RUU KUHP adalah “offense-offender and victim oriented”. Yang terakhir ini (victim’s right) banyak dipengaruhi oleh UN Declaration of basic Principles of justice for Victims of Crime and abuse of Power.

**************

Makna asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dekriminalisasi adalah sebaliknya. Dalam perkembangan selanjutnya kriminalisasai dapat diartikan pula sebagai mengaktualisasikan peraturan hukum pidana agar supaya lebih effektif. Contohnya adalah apabila delik lingkungan pada masa lalau dapat dianggap sebagai “ultimum remedium” tetapi tuntutan internasional menghendaki agar fungsi hukum pidana dalam “echo-crime” menjadi “primum remedium”.

Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai usaha untuk memperluas berlakunya hukum pidana. Sebagai contoh diaturnya “corporate criminal liability” yang bersifat umum dalam RUU KUHP seperti Pasal 51 KUHP Belanda saat ini.

Konsep ‘tindak Pidana” yang dianut tetap mempertahankan asas legalitas, dengan perkecualisan diakuinya secara positif hukum yang hidup atau hukum adat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 RUU). Selanjutnya dalam Pasal 15 RUU sepanjang menyangkut unsur sifat melawan hukum dimasukkan unsur materiil berupa “bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”. Dan apabila terjadi perbenturan keadilan dan kepastian hukum, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Dalam hal ini adagium sebagai berikut perlu diperhatikan. “Penegakan hukum tanpa moral merupakan kezaliman, sebaliknya penegakan moral tanpa hukum merupakan anarkhi”.

Mengenai ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doctinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
a. Kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing), bisa actual bisa pula potensial.
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium;
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”
f. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support);
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit” (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun lecil sekali);
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu;

Sepanjang mengangkut dekriminalisasi, di samping pedoman kriminalisasi tersebut yang secara terbalik bisa dimanfaatkan, kiranya perlu diingat bahwa Pasal V UU No.1 Tahun 1946 yang memberlakukan WvS ke seluruh wilayah Indonesia juga memberikan ukuran sebagai berikut: “V. Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku”.

**********

Hal-hal lain yang dapat ditonjolkan antara lain adalah :
1. Pangakuan hukum adat;
2. Penonjolan keadilan di atas kepastian hukum;
3. Denda dengan sistem kategoris;
4. Diaturnya vicarious liability dan strict liability dalam hal tertentu;
5. Diaturnya “corporate criminal liability” secara umum;
6. Dirumuskannya tujuan pemidanaan secara jelas;
7. Dirumuskannya pedoman pemberian dana (standard guidelines of sentencing);
8. Pengaturan system tindakan secara tegas;
9. Diaturnya sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial dan pidana pengawasan serta pidana tutupan (custodia honesta)
10. Pidana tambahan berupa ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat;
11. Pidana minimum khusus untuk tindak pidana tertentu;
12. Pidana mati sebagai pidana perkecualian dan diatur pula pidana mati bersyarat (conditional capital punishment)
13. Ada pengaturan khusus tentang Pidana dan Tindakan bagi Anak; ditentukan pula “the age of criminal resposibility”: 12 tahun; sanksi alternatif sangat dikembangkan bagi anak antara 12-18 tahun.
14. Pengertian “barang” meliputi benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak terwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa, jasa telepon, jasa telekomunikasi atau jasa komputer.
15. Surat selain yang tertulis diatas kertas, juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetic atau media penyimpanan komputer atau media penyimpanan data elektronik lain;


Jakarta, 1 November 2001

Disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli “Meninjau RUU Tentang KUHP dalam konteks Perlindungan HAM”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

No comments:

Post a Comment