Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
PENDAHULUAN
Perjalanan panjang penyusunan Rancangan Undang-undang KUHP (Baru) – selanjutnya akan ditulis R KUHP - , yang gagasannya telah digulirkan sejak tahun 1970-an, akhirnya telah merumuskan R KUHP/final/2000, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI 2002.
Gagasan perlunya suatu KUHP Baru untuk Indonesia, menurut Prof. Soedarto (alm) mempunyai landasan filosofis, sosiologis, dan praktis, karena itu di dalam R KUHP ini terdapat hal-hal yang berbeda dengan KUHP yang selama ini kita gunakan, yang tidak lain mengikuti concordantie beginsel dari Wvs Belanda, hampir seratus tahun yang lalu.
Sepanjang yang saya ketahui, konsep R KUHP berawal dari konsep tahun 1971/1972 (LPHN) yang terus menerus di sempurnakan sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu hukum yang tejadi.
R KUHP,yang menjadi bahasan sosialisasi hari ini, berangkat dari ajaran daad dader-straf recht, yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana. Di Indonesia ajaran ini dikemukakan pertama kali oleh Prof.Moelyatno (alm) dalam pidato Dies Universitas Gajah Mada, pada tahun 1955, yang berjudul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana”.
Ajaran ini sekaligus mengubah ajaran van Bemmelen “onrecht + schuld = mogelijkheid van straf” yang selama ini tercermin dalam KUHP yang masih kita pergunakan. Perubahan ini kelak akan mempengaruhi penerapannya di dalam praktek pengadilan. Perkenankan sekarang saya memasuki materi Buku Kesatu Bab I dan II.
BUKU KESATU : KETENTUAN UMUM
Sebagaimana lazimnya di dalam ketentuan perundang-undangan, selalu ditentukan terlebih dahulu asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum, principles, beginselen, yang menurut beberapa ahli hukum terbuka.
Mulder, mengutip pendapat Dworkin :
“Een “principles” is volgens hem : “a standard that is to be observed, not because it will advance or secure an economical, political or social situation deemed desirable, but because it is a requirement of justice or fairness or some other demension of morality”.
yang mengutip juga pendapat Jossef Esser :
“Rechsbeginselen zijn inhoud, in tegenstelling tot de vorm, d.w.z. de norm. Het beginsel is grond , criterium en rechtsvaardiging voor de richtlijn”.
(Asas-asas hukum adalah isinya, yang berbeda dengan bentuknya, yaitu norma. Asas adalah dasar, kriteria, dan pedoman pembenaran).
Notohamidjojo berpendapat :
“Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang tersebut”.
Jika kita perhatikan sistimatika dari Buku Kesatu R KUHP ini, jelas sekali bahwa ajaran tentang pemisahan antara tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana akan menjadi asas hukum pidana kita di masa yang akan datang yang akan menuntut konsekwensi-konsekwensi tertentu di dalam penerapannya selain asas –asas lainnya yaitu waktu dan tempat tindak pidana.
Bab I R KUHP : Berlakunya Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-Undangan
a. Menurut Waktu
Adagium “Nulum delictum noela poena sine praevia lege poenali ‘ tetap merupakan prinsip utama dalam hukum pidana kita yang akan datang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan UUD 1945, perubahan keempat, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada warganya dari perbuatan sewenang-wenang penguasa.
Untuk keperluan tersebut, dan demi kepastian hukum, ditegaskan tentang larangan menggunakan penafsiran analogi (pasal 1 ayat (2).
Walaupun demikian, dari perspektif sejarah hak asasi manusia, bukan lagi hanya hak-hak sipil dan politik saja yang yang dilindungi (generasi pertama hak asasi manusia), tetapi juga harus ditafsirkan lebih jauh yaitu perlindungan terhadap hak ekonomi, social dan budaya, yang merupakan kewajiban negara untuk menyusun dan menjalankan program-programnya bagi pelaksanaan sepenuhnya atas hak-hak tersebut (generasi kedua hak asasi manusia).
Terlebih-lebih lagi apa bila dikaitkan dengan suasana globalisasi, hak asasi manusia generasi ketiga atau hak solidaritas yang merupakan kategori hak yang terbaru, walaupun masih kontroversial, akan menyebabkan asas non-retroaktif ini dikesampingkan. Hak asasi manusia generasi ketiga ini, yang diperjuangkan oleh negara-negara berkembang menginginkan terciptanya tatanan ekonomi dan hukum Internasional.
Tegasnya pengertian hak asasi manusia yang diuraikan di atas, menurut Scott Davidson ”bahwa pengertian hak asasi manusia telah beralih dari, semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu dalam menghadapi kesewenang-wenangan kekuasaan negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan potensinya sampai maksimal”.
Selain hal tersebut, temuan dari yurisprudensi Indonesia tentang masih berlakunya hukum adat, asas legalitas ini dikesampingkan sepanjang tindak pidana adat tersebut tidak mempunyai padanannya dalam KUHP.
b. Tentang Tempat Tindak Pidana
Secara tradisional, tempat terjadinya tindak pidana, sekaligus menjadi yurisdiksi nasional suatu negara, mengenal 4 prinsip, yang juga dianut oleh R.KUHP kita.
Prinsip tersebut adalah :
Prinsip territorial – pasal 3 ;
Prinsip kewarganegaraan –pasal 4, 5, 7, 8, 10, 11;
Prinsip perlindungan / manfaat- -pasal 5, 7, 8, 10, 11;
Prinsip universal – pasal 12
Dihubungkan dengan pasal 13 dan 14, serta berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang sifatnya transnasional terlebih-lebih lagi yang terorganisasi (transnational organized crime), seperti kejahatan siber, pencucian uang, obat-obat terlarang, trafiking, korupsi, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan lingkungan, pornografi, dsb, membuka peluang terjadinya yurisdiksi internasional (pasal 6).
Oleh karena itu, perjanjian internasional yang berkenaan dengan kejahatan internasional, akan menumbuhkan wacana baru tentang locus delicti dalam praktek nanti, sekaligus masalah tentang yurisdiksi pengadilan Indonesia. Teori-teori hukum tentang lex temporis delicti dan lex locus delicti tersebut akan menjadi persoalan baru dalam hukum pembuktiannya.
Bab II RKUHP : Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Bagian Kesatu :Tindak Pidana
Bagian ini menjadi bagian yang baru, yang biasanya strafbaar feit berada di dalam tataran teori, kini telah menjadi normative.
Demikian pula tentang sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, secara normative telah merupakan syarat umum dari tindak pidana. Walaupun dari ayat (2) pasal 15 dapat disimpulkan bahwa R KUHP menganut ajaran sifat melawan hukum materiil, masih perlu dipertanyakan, apakah hilangnya sifat melawan hukum di luar undang-undang, masih dapat diterapkan.
Secara teoritis jawabannya tentu boleh, karena dengan dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiil, maka ketentuan tidak tertulis atau hal-hal di luar ketentuan undang-undang, dapat menjadi alasan hilangnya sifat malawan hukum secara materiil.
Yurisprudensi Indonesia telah membuktikan bahwa hukum pidana kita menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil (materiele wederrechtelijkheid), yang untuk pertama kali dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.42K/Kr/1965, tanggal 8 Januari 1966.
Bagian Kedua : Pertanggungjawaban Pidana
Di dalam teori hukum pidana yang sudah kita kenal, pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan obyektif kepada pelaku, atau merupakan strafbaar feit dalam arti subyektif. Teori tersebut telah diambil alih oleh R KUHP ini sebagai norma dalam menentukan pertanggungjawaban pidana.
Pasal 32 ayat (1) mengingatkan kita kepada yurisprudensi Belanda yang sangat terkenal: Water en Melk Arrest, tahun 1911, geen straf zonder schuld.
Yang sama sekali baru adalah dikukuhkannya vicarious liability dan strict liability sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana untuk hal-hal tertentu. Hal ini berarti bahwa pemidanaan tidak selalu didasarkan kepada adanya kesalahan, yang berbeda dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam pasal 32 ayat (1) tersebut.
Bentuk pertanggungjawaban pidana yang lainnya adalah pertanggungjawaban fungsional ( functionele daderschap) yang merupakan pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan oleh korporasi, sekaligus menghapus adagium societas delinquere non potes.
Yang akan menjadi persoalan di dalam praktek nanti adalah penerapan pasal 33 ayat (2).
Selama ini bentuk kesalahan berupa sengaja dan alpa selalu menjadi bagian dari perumusan delik (bestand deel ). Sekarang dengan dinyatakan bahwa sengaja adalah syarat umum dari kesalahan, maka unsur sengaja merupakan elemen pertanggungjawaban pidana ( element ) karena tidak dicantumkan dalam perumusan delik ( delictomschriving ), sedangkan alpa tetap dicantumkan secara tegas dalam perumusan delik.
Karena menjadi bagian dari perumusan delik, maka adalah kewajiban Jaksa untuk mencantumkannya dalam surat dakwaan dan membuktikannya, tetapi kewajiban tersebut tidak ada pada unsur sengaja, karena sengaja tidak lagi merupakan bagian dari perumusan delik.
Hal ini akan memberi dampak terjadinya disparitas dalam bentuk putusan hakim. Sehubungan dengan bunyi pasal 181 KUHP, maka apabila unsur sengaja tidak terbukti, terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum, sedangkan apabila unsur alpa tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Hal tersebut akan menjadi persoalan bagi bentuk upaya hukumnya, padahal secara teoritis, baik sengaja maupun alpa, kedua-duanya adalah bentuk dari kesalahan.
Dampak dari Dipisahkannya Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Hasil penelitian Sdr. Chaerul Huda, Kandidat Doktor pada Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa walaupun teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana telah dikemukakan hampir 50 tahun yang lalu, tetapi di dalam praktek hal tetrsebut belum diterapkan. Khususnya mengenai kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, adalah focus dari disertasi Sdr. Chaerul Huda, yang akan memberi sumbang pemikiran kepada khasanah ilmu hukum pidana. Jika kemudian R KUHP ini kelak telah disahkan menjadi undang-undang atau menjadi KUHP kita yang baru, maka perlu diperhatikan tentang perubahan pula di bidang hukum acara pidananya.
Prof. Moeljatno (alm) menyatakan bahwa setelah dapat dibuktikan adanya tindak pidana, berarti pula tidak ada alasan pembenar terhadap perbuatan itu, maka baru kemudian dipersoalkan pertanggungjawaban dari si pembuat dalam arti mampukah pembuat bertanggung jawab, apakah terdapat kesalahan dalam dirinya serta tidak ada alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahannya.
Ini berarti harus ada satu phase pembuktian tentang adanya tindak pidana yang telah dilakukan oleh pembuatnya yang menunjukkan mengenai terbuktinya pasal (pasal-pasal) yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.
Hal ini mengingatkan kita pada sistim peradilan di negara Anglo Saxon yang terlebih dahulu membuka pre trial sebelum terdakwa diajukan ke grand juri untuk ditentukan kesalahannya(guilty or not guilty) sebelum kemudian Hakim menetapkan pidana yang harus dijatuhkan. Di samping itu, karena perkembangan hukum internasional, terutama hukum hak asasi manusia yang begitu cepat, hukum pidana kita tidak dapat dibaca hanya sebatas hukum nasional saja tetapi harus mengikuti kepada apa yang telah dan sedang terjadi pada bidang hukum lainnya secara internasional.
Dicantumkannya pasal 6 dalam R KUHP ini, mewajibkan Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi-konvensi Internasional yang penting, serta mengadakan perjanjian- perjanjian bilateral yang diperlukan, agar Indonesia tidak tertinggal dalam penegakan hukum terhadap kejahatan- kejahatan transnasional. Perangkat hukum ini sangat diperlukan.
Untuk menutup pembahasan Bab I dan II Buku Kesatu R KUHP ini, pembaharuan di bidang hukum acara pidana juga perlu segera dilakukan. Ketika kejahatan transnasinal diadili di Indonesia, baik kejahatan tersebut dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, maupun orang lain yang membawa dampak kerugian bagi negara kita, hukum acara pidana kita belum dapat melayani kebutuhan yang sangat khusus tersebut.
Jakarta, 21 Juli 2004
Disampaikan dalam seminar
Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Hotel Sahid Jaya Jakarta
No comments:
Post a Comment