(a). Mempertahankan ketentuan “haatzaai artikelen” (Pasal-pasal penaburan kebencian) dengan versi “demokratisasi”, yang menghapus kalimat “menyatakan rasa permusuhan, kebencian” sehingga tinggal kata “penghinaan” pada Pasal-pasal 284 (ditujukan kepada pemerintah yang sah) dan 286 (ditujukan kepada golongan penduduk), dengan catatan dirumuskan sebagai delik materiil. (yang dilarang dan dipidana adalah perbuatan yang menimbulkan akibat tertentu/akibat konstitutif). Akibat tersebut berupa “terjadinya keonaran dalam masyarakat” dan “timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang”; “Menghina” diartikan sebagai “menyerang kehormatan dan nama baik”. Penegak hukum harus bijak untuk membedakan “social control” demi kepentingan umum” dengan “penghinaan” . Dengan demikian tidak akan menimbulkan multi interpretasi yang dapat mengingkari “freedom of expression”. Freedom of expression” (freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing, or in print, in the form of art, or through any other media of his choise), yang sesuai dengan Article 19 (3) ICCPR, hanya dapat dibatasi atas dasar undang-undang dan diperlukan (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For protection of national security or public orders (ordre public), or of public health or morals”. Khusus terhadap golongan penduduk di samping kemungkinan terjadinya masalah SARA yang berkaitan dengan keamanan nasional dan ketertiban umum, juga terkait dengan latar belakang diskriminasi (Unfair treatment or denial of normal privileges to persons because of their race, age, sex, nationality or religion) yang secara universal sangat tercela;
(b). Tindak pidana berupa “menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang”;(Pasal 292); Yang dipidana di sini bukan “perbuatan menyantet” , tetapi merupakan delik materiil untuk mencegah penipuan, perbuatan main hakim sendiri, perbuatan syirik dan pencegahan secara dini seandainya benar-benar ada orang yang memiliki kemampuan tersebut;
(c). Pasal 293 menampung ketentuan yang diatur dalam UU. No. 1 Drt Th. 1951 apabila tidak ada kaitannya dengan tindak pidana terorisme. Apabila terkait dengan tindak pidana terorisme, akan dikenakan Pasal 240;
(d). Pasal 314 diilhami oleh “kasus Sumadi” yang memakan jenazah (memperlakukan secara tidak beradab jenazah yang digal atau diambil);
(e). Pasal 316 mengatur pemidanaan bagi setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu; Dipidana pula mereka yang secara melawan hukum menggunakannya, termasuk pemidanaan bagi yang memberikannya;
No comments:
Post a Comment